Monday, February 24, 2014

Zen dan Dunia Nyata

Kanja Odland Roshi

Tidak ada yang dapat dipastikan saat mempraktikkan Zen. Oke, saya hampir dapat menjamin jika Anda melakukan zazen (meditasi yang merupakan pondasi dalam Zen), terkadang anda akan merasa sakit di kaki, dan sangat mungkin anda akan merasa mengantuk saat melakukannya di pagi hari; ada momen-momen keputusasaan dan momen-momen mudah dan bahagia. Ada banyak kemungkinan, tetapi untungnya tidak ada yang pasti selain ini: jika praktek ini bergema dengan anda, anda tidak dapat melarikan diri dan pikiran anda mencari penyatuan dengan segalanya. Seluruh keberadaan anda berpindah menuju area tak-tersekat, dan terdapat daya tarik mutlak dalam menyelami realita tersebut. Mengutip balapan cybernetic dalam film Star Trek yang disebut Borg, “Perlawanan adalah sia-sia; anda akan berasimilasi.” Menurut beberapa orang, ide “penyatuan” adalah ide romantis pada jaman New Age (Era Baru) atau sesuatu yang begitu alami sehingga kita tidak perlu melakukan apapun selain berada begitu saja.

Bukankah lebih baik menggunakan waktu melakukan sesuatu yang menghasilkan dalam dunia nyata daripada membuang waktu dalam meditasi? “Beberapa orang mengatakan, “Pergi dan membantu sesama dalam dunia nyata,” Atau,” Jangan hanya duduk—lakukanlah sesuatu!“ Namun dalam Zen kami menemukan pendekatan berbeda. Guru pertama saya, Philip Kapleau, memakai topi baseball yang berbunyi,” Jangan hanya melakukan sesuatu—duduk di sini!”

Monday, February 17, 2014

Jalan Sepi: Seorang Biarawati Menggali Relungnya Sendiri di Daerah Kumuh di India

Ayya Yeshe Bodhicitta

Ayya Yeshe

Saya menemukan Buddhisme di India pada usia 17 tahun dalam perjalanan hippie mencari makna kehidupan. Saat saya 14 tahun, papa meninggal, membuat saya jadi depresi berat. Saya meninggalkan rumah di usia 15, dengan pemikiran bahwa pasti ada sesuatu di kehidupan yang melebihi membayar cicilan rumah sepanjang hidup saya.

Saya jatuh cinta pada Buddhisme Tibet karena secara intelektual Buddhisme Tibet meyakinkan saya tentang kebenaran hidup. Kebenaran-kebenaran Dharma adalah berdasarkan kenyataan dan untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menemukan kebahagiaan yang membuka hati saya dan mendalam. Setelah melakukan “meditasi tentang kebaikan hati ibu”, jelas bagi saya bahwa tujuan hidup saya adalah berlatih untuk pencerahan dan bekerja untuk kebaikan bagi semua makhluk, dan hal-hal lain—kepemilikan dan kekuasaan—tak berarti apapun. Saya menyaksikan betapa majunya masyarakat saya, tapi begitu sedikit kebahagiaan yang kami punya, tidak punya waktu dan terjebak di jala kompleksitas dan konsumerisme kami sendiri. Saya juga menyadari dari pengalaman bahwa hubungan yang indah tidaklah stabil.

Monday, February 10, 2014

Wawancara Wanita Buddhis: Miskaman Rujavichai

Brooke Schedneck

Miskaman Rujavichai di Wat Pa Baan Taad

Miskaman Rujavichai adalah murid bikkhu Thailand terkenal, almarhum Luang Ta Maha Boowa [1] (1913-2011). Sejak tahun 1982, Miskaman tinggal di biara Wat Pa Baan Taad [Biara Hutan Baan Taad], yang didirikan oleh dan di mana Luang Ta Maha Boowa adalah kepala biara selama bertahun-tahun. Saya bertemu Miskaman saat melakukan riset untuk disertasi saya tentang komunitas meditasi internasional di Thailand. Di biara tersebut, satu grup internasional akan bertemu seminggu sekali untuk mendengarkan ceramah Dhamma dari bhikkhu-bhikkhu yang berbahasa Inggris. Miskaman adalah salah satu wajah ramah di grup ini yang membantu para pengunjung internasional. Saya membuat website penelitian yang dinamai Wandering Dhamma untuk hasil temuan saya, dan Miskaman terus berhubungan dengan mengomentari situs dan mengirimkan email ketika ada perkembangan baru di kelompok internasional di Wat Pa Baan Taad. Aku meminta Miskaman untuk bercerita lebih banyak tentang kenangannya dari Luang Ta Maha Boowa dan bagaimana ia datang untuk tinggal di biara itu. Pada awalnya dia tidak ingin mengungkapkan informasi ini, menyebutkan wanita-wanita lain ia dianggap sebagai praktisi-praktisi yang lebih baik. Aku akhirnya berhasil meyakinkannya bahwa ceritanya menarik bagi pembaca blog Sakyadhita.

Monday, February 3, 2014

Urusan di Balik Jubah Perca

Ryūmon Hilda Gutiérrez Baldoquín Sensei


Hari ini saya jalan-jalan sore di jalan yang dinamai Cemetery Road (Jalan Kuburan). Jalan ini tidak panjang—hanya seperempat mil [sekitar 400 meter]. Jika anda jalan ke arah utara, jalannya meliuk ke kanan, menurun ke  South Road, jalan utama yang memotong pusat kota. Jalan Kuburan berakhir di sana dan bertemu South Road, dimana jalan ini lagi-lagi meliuk naik sepanjang sekitar 600 meter, seperti tanpa kurung yang menghadap ke atas, atau sebuah senyum. Di kota kecil dan sangat pedesaan di New England ini—tanpa lampu jalan, tanpa kantor pos, salah satu dari 18 kota-kota kering di Commonwealth—dimana saya tinggal empat tahun belakangan ini, sangat umum ditemukan jalan seperti ini.

Kota ini adalah “komunitas berhak-untuk-bertani dan ada hukum hak-untuk-bertani yang berlaku,” seru pengumuman di Kantor Pajak di kota itu. Saya tidak pernah merasa diri sendiri seorang petani, karena berasal dari silsilah keturunan pembantu, pembuat roti, juru masak, buruh, pekerja bangunan, petugas pom bensin, pemiliki kios, penjahit, dan ahli kecantikan. Namun, dengan tinggal di sana, saya merasakan kebahagiaan dan kepuasan mendalam bahwa tiga gundukan kebun sayuran—berukuran 1,8 meter kali satu meter—dan kebun herbal kecil yang pasangan saya dan saya tanam setiap musim semi adalah bagian konstelasi manusia yang menghargai, merawat, dan bekerja dengan bumi yang telah berlangsung ribuan tahun, bukan hanya suatu tren urban.