Susmita Barua
Semua pengetahuan sains itu provisional. Segala yang “diketahui” oleh sains, bahkan fakta-fakta paling umum dan teori-teori yang telah lama ada, tetap terpapar pada studi ulang ketika informasi-informasi baru muncul.
—editorial Scientific American, Desember 2002
Kebanyakan pendidikan kontemporer kita didominasi oleh pandangan dunia sains materialistik Barat. Pandangan dunia ini menjadi landasan orientasi kognitif perorangan, kelompok, ataupun masyarakat. Pandangan dunia ini melingkupi seluruh pengetahuan masyarakat dan sudut pandang masyarakat termasuk filosofi alam, Dhamma, etika, dan tata krama. Pandangan dunia berkembang dalam konteks bahasa, kultur, dan niaga. Ia mengkondisikan pola pikir umum, model mental, persepsi, dan kebiasaan manusia dalam membuat pilihan.
Oleh karena itu, menamai jalan kuno yang ditemukan oleh Buddha yang telah memutar Roda Dhamma sebagai Jalan Tengah menjadi penting maknanya. Jalan yang moderat dan bijaksana ini Jalan Mulia Berunsur Delapan: “Menghindari kedua ekstrim [dari pemanjaan-diri dan dari penolakan-diri, dan dari segalanya-ada dan segalanya-tak-ada]. Jalan Tengah yang diketahui oleh Tathagata—menghasilkan visi dan pengetahuan—mengantar pada ketenangan, pada pengetahuan melalui pengalaman sendiri, pada pengertian langsung [melalui pengalaman sendiri], pada pencerahan diri, pada ketidakmelekatan.”(1) Tulisan ini mengadvokasi pandangan bahwa Jalan Tengah dapat ditemukan kembali saat ini sebagai jalan menuju pengetahuan yang dapat menjembatani jurang antara pandangan sains material and sains spiritual.