Monday, January 6, 2014

Kado Feminim Kudus

Bhikkhuni Santacitta



Prinsip-prinsip feminim dan maskulin adalah bagian tak terpisah dalam diri kita semua.

Interaksi dari kedua daya ini membentuk hidup sebagaimana yang kita kenali ini dan kita semua membawa kedua energi ini di dalam tubuh kita. Secara umum, tubuh wanita membawa lebih banyak energi feminim dan tubuh pria membawa lebih banyak energi maskulin, tapi ini tidak selalu terjadi dan ada variasi antara satu orang dengan yang lainnya. Namun, jika energi maskulin dan feminim ini tidak seimbang — ketika seseorang mendominasi dengan merugikan yang lainnya — ketidakharmonisan dan penyakit akan muncul.


Kita dapat menemukan pedoman tentang interaksi ini dalam ajaran-ajaran tantrik Buddhisme Tibet, yang mengibaratkan prinsip feminim dengan ruang dan kebijaksanaan dan mengibaratkan prinsip maskulin dengan tindakan cekatan dan kemurahan hati. Jika kita terlalu terperangkap di dalam aksi, kita cenderung kehilangan ruang dan pikiran kita menjadi kecil dan tegang — kita tak lagi melihat hal-hal dalam konteksnya dan tindakan kita menjadi tidak seirama dengan apa yang dibutuhkan. Di sisi lain, jika kita tidak cukup fokus dan terperangkap dalam ruang, istilahnya “spaced out (bengong)”, kita tak mampu bertindak dengan cekatan dan tak mampu mencapai apapun dalam hidup. 

Untuk kehidupan yang seimbang dan sehat, kita memerlukan keduanya: kebijaksanaan dan ruang dalam prinsip feminim serta kemampuan untuk bertindak secara cekatan dan murah hati dalam prinsip maskulin. Jika kedua prinsip ini bekerja bersama dalam harmoni, mereka mampu mengeluarkan yang terbaik dari satu sama lain — jika dibiarkan sendiri, mereka menjadi tidak terhubung dan tumpul.

Saya pikir jelas terlihat bahwa energi maskulin telah mendominasi masyarakat dan planet kita untuk waktu yang lama. Selama 5.000 hingga 6.000 tahun terakhir, energi maskulin dalam pengertian aktivitas, materialitas, dan pemikiran rasional telah dihargai berlebihan dengan mengorbankan atribut-atribut prinsip feminim yang lebih tak berwujud.

Dapat kita lihat apa yang sedang terjadi pada bumi dan laut kita, habitat alami terus tergerus, dan eksploitasi bumi terjadi dalam skala besar. Kita perlu segera meredefinisi prioritas kita dan melihat hubungan antara opresi terhadap wanita dan prinsip feminim secara umum, dan opresi terhadap alam.


Vandana Shiva, seorang feminis-ekologi terdepan masa ini, menjelaskan hal ini dalam buku terbarunya, Staying Alive. Ia menggambar satu sungai kecil di hutan dan mengatakan bahwa dalam masyarakat kita, sungai kecil ini dipandang tak berguna jika hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat di sana. Tetapi jika para insinyur datang dan mengolah sungai kecil itu, membangun dam di sana, dan menggunakannya untuk membangkitkan listrik, maka sungai itu dipandang produktif. Begitu juga hutan. Bagi banyak orang, hutan dipandang tidak produktif jika tidak memproduksi sesuatu yang diekspor untuk menghasilkan uang. Segalanya dipandang dalam kacamata sumber daya dan perdagangan. Masyarakat kita telah kehilangan pandangan tentang berbagai fungsi-fungsi penting dari ekosistem alami. Sebenarnya, suatu hutan melindungi air bawah tanah, memproduksi oksigen, menyediakan bahan bakar, buah-buahan, dan bahan kerajinan tangan, menjadi rumah bagi para hewan dan, yang melebihi fungsi lainnya, hutan mempertahankan keseimbangan ekologi, yang kesemuanya penting bagi kesejahteraan kita dan kesejahteraan spesies-spesies lain.

Feminim kudus mendorong kita untuk melakukan revisi radikal dari sistem nilai yang tak dapat bertahan lama kita, yang telah terbukti disfungsional dan tak mampu memberikan apa yang mereka janjikan. Masyarakat konsumer masa kita bahkan tak mampu mengatasi hal-hal mendasar: kelaparan dunia membunuh sedikitnya sepuluh juta orang setiap tahun dan hampir 60 persen korbannya adalah anak-anak.

Prinsip feminim berarti keterhubungan dan inklusi, bukannya keterpisahan dan separasi. Prinsip ini berarti bekerja sama, bukan dominasi, dan berarti perwujudan yang penuh ketulusan, bukannya sikap acuh yang dingin. Kekuatan ruang yang memelihara dan menopang adalah kecerdasan halus yang membuat penciptaan terjadi dengan menyediakan tempat bagi itu untuk terjadi. Lihatlah rahim seorang ibu yang melingkupi bayinya selama sembilan bulan hingga ia siap untuk dilahirkan.

Atribut-atribut prinsip feminim yang tidak berwujud menghasilkan kekuatan, gizi dan keajaiban besar, dan sangat vital untuk tidak melewatkan mereka. Banyak sekali kecanduan di dunia kita saat ini karena kita telah kehilangan kontak dengan apa yang benar-benar memberikan nutrisi pada kita. Feminim yang kudus mengekspresikan kasih ibu yang lembut dan menginspirasi kita kualitas-kualitas ini seperti kebaikan, perhatian, dan kelembutan — yaitu kualitas-kualitas yang telah kita acuhkan dan rendahkan karena fokus utama kita pada tujuan-tujuan dengan pandangan maskulin.

Sebuah studi menarik di UCLA menunjukkan bahwa secara umum, wanita cenderung bereaksi terhadap stres dengan cara yang berbeda dengan rekan pria mereka. Bukannya reaksi pria yang “bertempur atau menghindar”, wanita merespon dengan “merawat dan berteman” yang merupakan hasil dari hormon oxytocin, suatu hormon maternal yang menyatukan. Sementara pria menjadi semakin tinggi adrenalinnya dan semakin agresif, wanita secara biologis merawat dan melindungi.

Gerakan-gerakan akbar mungkin mendapat perhatian orang, tetapi belum tentu disanalah kebijaksanaan berwujud. Jika kita hanya menghargai gerakan-gerakan akbar, gedung-gedung tinggi dan pesawat luar angkasa, kita terlalu menekankan prinsip maskulin, sisi energetik dari tindakan, dan kita kehilangan pandangan pada ruang. Bumi kita memerlukan perhatian kita sekarang. Kita perlu bertindak secara sadar bersama bumi ini, bukannya memperlakukannya sebagai bagian terpisah dari kita — sebagai gudang dan selokan.

Yang disebut-sebut sebagai pemikiran “rasional” ternyata cukup tidak rasional, begitu kita membuka mata kita pada konteks besar dan melihat implikasi menyedihkan dari apa yang telah kita jalankan dengan tidak menghiraukan saling-ketergantungan mendalam kita dengan alam natural dan dengan alam semesta. Di titik ini di saat ini adalah kesempatan bagi kita untuk menyadari kita tidak hidup di atas planet, tetapi merupakan bagian integral darinya.

Dapatkan kita mempercayai keagungan besar dari keberlangsungan misterius yang kita sebut alam semesta ini? Kita hanyalah satu bagian dari proses ini, yang telah berjalan teramat lama — para ilmuwan memperkirakan bahwa alam semesta ini berusia empat belas miliar tahun.

Kita perlu memastikan hubungan yang dewasa dengan kehidupan saat ini dan menghadapi perasaan ketakutan dan ketidakberdayaan kita. Seperti yang kita ketahui dari guru kita, Buddha, ketika kita benar-benar menghadapi emosi-emosi yang sulit, emosi-emosi itu menjadi guru spiritual kita, yang berpotensi membuat kita lebih bijak dan welas-asih. Apa yang bisa kita lakukan adalah hadir dan dengan tulus mengatakan “ya” pada apapun itu. Itu adalah sebuah pintu — pintu Dhamma.

Berapa nyamankah kita dengan kegelapan dan dalam ketidaktahuan bagaimana merespon? Dapatkan kita memegang ruang itu atau kita harus segera mengisinya dengan aktifitas? Menyediakan ruang bagi transformasi untuk terjadi adalah kekuatan prinsip feminim, suatu keyakinan pada proses alami dan pada kecerdasan kehidupan itu sendiri.

Guru pertama saya, Ajahn Buddhadasa, sering mengatakan bahwa hukum alami (got dhammajat) akan menjaga kita jika kita berupa untuk bekerja sama, bukannya bekerja melawan mereka. Penekanan disini adalah pada proses itu sendiri daripada pada produk, pada “bagaimana” daripada “apa”. Ini adalah kekuatan lainnya dari prinsip feminim.

Ketika kita menyediakan ruang bagi kebijaksaan untuk muncul dan mengikutinya dengan bertindak sesuai dengan apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, kita menjadi benar-benar hidup. Kreatifitas kita bangkit dan hal-hal yang tak terduga terjadi. Krisis menyimpan potensi untuk membangkitkan transformasi dan inovasi, melepaskan energi yang kuat dan menyatukan orang untuk mencapai apa yang sebelumnya dianggap tidak mungkin tercapai.

Kita perlu mulai dari skala kecil dan membawa pengetahuan mendalam kita ke dalam hidup kita — dengan hidup dan menjadinya, langkah demi langkah, bertindak dengan cara yang kita tahu sebagai kebenaran. Kita perlu kembali ke apa yang mendasar dan sederhana, yang tanpanya kita tak dapat hidup. Bentuk monastik adalah tempat yang apa adanya untuk hal ini, suatu perbandingan gaya hidup sederhana yang berfokus pada mengembangkan potensi terbesar kita.

Simplisitas dan memotong kompleksitas juga adalah kualitas feminim yang hebat dan kita memerlukan kualitas ini terlebih-lebih masa kini. Kita terdesak untuk segera menyadari kenyataan bahwa kita berbagi planet ini dengan 300 juta spesies dan kita perlu menemukan tempat kita yang tepat di dalam jaringan kehidupan, suatu jaringan yang terdiri dari bagian-bagian kecil. Ini adalah pandangan mendalam yang merendahkan hati, tetapi jika setiap orang melakukan hal yang kecil, kita akan menjadi bagian dari solusi. Prinsip feminim yang luhur ini diperlukan untuk membantu kita mendapatkan kembali keseimbangan. Ia harus kembali di dalam pria dan wanita jika kita ingin menciptakan masa depan yang lebih damai dan dapat dipertahankan.

Saya ingin mengakhiri dengan berbagi daftar yang dibuat oleh seorang filosofer-ekologi Joanna Macy untuk membantu kita tetap berjalan sesuai lajur dalam pekerjaan besar ini: Muncul dari rasa syukur Jangan takut kegelapan Berani memiliki visi Sisingkan lengan baju anda Bertindak sesuai usia anda [anda setua alam semesta!]

Semoga kita semua menghadapi terhadap tantangan ini dengan keyakinan dan kepercayaan diri pada kualitas kebaikan kita dan pada kebaikan mendasar dalam diri semua yang hidup.

[Dipaparkan pada acara Outstanding Women in Buddhism Award di Bangkok, Thailand, pada bulan Maret 2012]



Ayya Santacitta: Bhikkhuni

Ayya Santacitta lahir di Austria dan berlatih meditasi sejak 1988. Guru pertamanya adalah Ajahn Buddhadasa, yang menyentil keingintahuannya pada kehidupan monastik Buddhis. Ia telah berlatih sebagai seorang biarawati baik di Timur maupun di Barat sejak tahun 1993, terutama dalam silsilah Ajahn Chah. Sejak 2002, ia juga menggabungkan ajaran-ajaran Dzogchen ke dalam praktek dan pengajarannya. Ayya Santacitta adalah co-founder (pendiri) Aloka Vihara, dimana ia menetap sejak tahun 2009. Ia menerima penahbisan bhikkhuni pada tahun 2011. Untuk informasi, silakan kunjungi www.saranaloka.org.

No comments:

Post a Comment