Monday, January 13, 2014

Mengapung di Tengah Penderitaan

Jacqueline Kramer

Topan menghancurkan kota dan membunuh ribuan orang di Filipina, Haiti yang telah terkepung kesengsaraan mengalami kehancuran parah, ribuan pria, wanita dan anak-anak mengungsi dari rumah mereka di Suriah, anak-anak di Sudan diperbudak sebagai tentara dan pelacur—penderitaan tersebar luas di berbagai belahan dunia—pembunuhan antar ras, perampasan tanah, pemerkosaan dan bencana alam —sejak mulai berjalannya waktu.

Tetapi dulu manusia tidak terekspos pada penderitaan orang lain di luar komunitas kita sendiri sebanyak yang kita sekarang. Apakah hati kita manusia dirancang untuk menampung kesadaran akan penderitaan yang luas dan konstan yang dipasok setiap hari di dunia kita yang terhubung-berita? Apa yang manusia yang berhati harus lakukan? Kita tidak ingin menutup pintu hati kita. Kalaupun mungkin menutup pintu itu, hati kita sepertinya merembes melalui celah-celah sistem kontrol kita. Jika kita menutup rasa sakit, kita juga menutup kegembiraan. Hati yang tertutup tak peka terhadap perasaan. Namun tetap saja, kita tidak ingin terbenam oleh kesedihan. Kita tidak berguna bagi diri kita sendiri atau orang lain ketika kita dilumpuhkan kesedihan.

Joanna Macy berbicara tentang perlunya merasakan kesedihan kita agar kita dapat secara efektif merespons penderitaan di sekitar kita. Saya temukan bahwa berhubungan dengan kesedihan serupa seperti mengupas bawang. Hati kita bijaksana dan hanya akan mengambil sebanyak yang bisa ia atasi pada saat itu. Dengan lembut, dengan sensitif, kita kupas lapisan demi lapisan sebanyak yang mampu kita rasakan, dengan mengingatkan diri bahwa kesedihan bukanlah hal yang buruk. Adalah bagian dari sifat manusia untuk merasa kehilangan dan merindukan apa yang telah hilang. Tidak ada jalan pintas untuk hal ini, tak peduli betapa banyaknya meditasi yang telah kita lakukan atau betapa mendalamnya pemahaman kita akan kehidupan.

Guru Zen Issa, pada kematian anak bayinya, menulis:
Adalah suatu dunia berembun,
Walau begitu…
Karena beliau adalah seorang guru, dengan pemahaman mendalam tentang kehidupan, orang berharap ia berada di luar kesedihan. Jawaban beliau adalah, tak peduli betapa mendalamnya pemahaman saya, saya masihlah manusia, saya masih bersedih. Daripada membayangkan utopia-utopia dan dunia di mana kita tidak lagi merasakan pengkhianatan hidup, ketidakadilan, dan kehilangan, kita memiliki pilihan untuk merangkul kerentanan indah kita sebagai manusia. Lagi pula, tanpa rasa sakit, tidak akan ada belas kasihan. Hati yang terluka dapat menjadi hati yang terbuka.

Buddha mengajarkan kebenaran tentang penderitaan dan jalan keluar dari penderitaan. Sangat mudah untuk membaca ini dan membayangkan bahwa pencerahan akan mengakhiri semua emosi tidak nyaman. Tetapi, meskipun ajaran Buddha menjanjikan jalan keluar dari penderitaan, mereka tidak menjanjikan berakhirnya rasa sakit. Sementara rasa sakit merupakan bagian dari menjadi manusia, penderitaan adalah  bayangan rasa sakit yang diciptakan diri sendiri. Ketika kita menggolongkan hal-hal menjadi baik dan buruk, ketika kita menjadi melekat pada hal-hal dan ide-ide serta ketika kita tidak melihat kehidupan dengan jelas, kita menderita. Jalan keluar dari penderitaan ini adalah dengan mengingat siapa kita sebelum orangtua kita dilahirkan. Siapa yang merasakan sakit?

Meskipun konsep pencerahan telah dibangun hingga proporsi manusia super, seluruh makhluk hidup mengalami pencerahan. Kita semua memiliki sifat Buddha yang sama; itulah diri kita, siapa kita sesungguhnya, jadi kita pasti akan bertemu dengan sifat itu lagi dan lagi. Biasanya momen-momen pencerahan kita hilang tanpa tanpa diketahui dan memudar seperti gumpalan asap. Untungnya, Buddhisme memberikan kita suatu konteks untuk memperhatikan dan membangun benang-benang berkabut ini. Sejalan dengan latihan kita menjadi lebih mendalam, pengalaman sifat Buddha kita menjadi lebih luas. Akhirnya, tiada tempat lagi bagi penderitaan untuk mengcengkeram.

Seiring kita mengembangkan pencerahan kita yang masih awal, kegembiraan sederhana dari kehidupan sehari-hari bisa bertindak sebagai penawar dari pengalaman menderita. Jika seseorang kelaparan di India, membuat diri kita sendiri kelaparan tidak akan mengurangi rasa lapar mereka. Bahkan, tidak menikmati karunia setiap hari—mandi air hangat, makanan lezat, orang-orang tercinta, pohon yang sedang berbunga—hanya membuat kita kurang siap untuk mengangkat orang lain. Dengan hadir dalam kehidupan kita saat ini, merasa bersyukur atas apapun yang sedang terjadi, kita menguatkan diri kita sendiri. Mengenakan baju berkabung dan penuh abu sama sekali bukanlah strategi yang efektif.

Dalam Zen kita mengambil sumpah Bodhisattva, makhluk hidup yang tak terhitung jumlahnya, aku bersumpah untuk menyelamatkan mereka semua. Ini bukanlah hanya suatu sumpah untuk menjalani kehidupan dengan hati terbuka, tetapi juga mengundang kita untuk berpikir dengan cara-cara baru tentang pelayanan. Mencoba memahami karma dan bagaimana atau mengapa rasa sakit diciptakan merupakan pekerjaan orang bodoh. Buddha berkata bahwa hasil-karma merupakan salah satu dari empat yang “tidak bisa dipikirkan,” dan memperingatkan untuk tidak mencoba mencari tahu bagaimana dan mengapa hal-hal terjadi seperti demikian. Alih-alih mencoba untuk mencari alasan kedalaman dan luasnya peradilan manusia, kita bisa menyerah  pada tidak mengetahui. Daripada melabel kesenangan adalah baik dan rasa sakit adalah buruk, atau kesenangan adalah buruk dan rasa sakit adalah baik, kita dapat mengamati perasaan dan sensasi-sensasi yang bebas muncul dan memudar. Ketika kemelekatan dan penolakan dilepaskan, suatu respons otentik terhadap penderitaan dunia muncul di dalam kekosongan yang terbentuk. Kita menyerah ke dalam ketidaktahuan. Dari sana, kita dapat meminjamkan tangan yang tidak terbebani.  

Nenek moyang kita mewarisi kita sangat banyak hadiah untuk mendukung kita sebagai aktivis-aktivis yang meringankan penderitaan di dalam komunitas kita dan di seluruh dunia. Salah satu warisannya adalah kesenangan luar biasa dalam memahami, betul-betul memahami, bahwa masing-masing dari kita, di luar segala penampilan, tidak bisa disakiti dengan cara apapun. Pemahaman ini bisa membantu meringankan rasa tak berdaya atas karma yang berjalan. Kegembiraan yang muncul dari kontak dengan diri sejati kita membuat kita mengapung selama masa-masa sulit. Warisan lain adalah bimbingan untuk mengamati momen kini tanpa penghakiman. Kita tidak lagi berpikir bahwa kita perlu melakukan lebih atau menjadi lebih baik, diri kita sekarang sudahlah cukup. Momen kini memberitahu  apa langkah kita selanjutnya. Warisan praktik dan ritual sehari-hari bisa membantu kita dengan mengingatkan kita akan gambaran yang lebih besar. Mereka membuat kita lebih dekat pada pencerahan. Lebih penting lagi, Sangha kita dapat membantu mengingatkan kita akan sifat sejati kita ketika kita secara tak terelakkan lupa dan terjebak dalam detail-detail kehidupan. Ketika salah satu dari kita merasa lemah dan lupa, seorang sahabat Dharma mungkin merasa lebih kuat hari itu dan mampu membantu  kita untuk ingat. Mungkin itulah sebabnya Buddha menjawab pertanyaan Ananda “Apakah sangha penting bagi kehidupan spiritual?” dengan berkata,”Tidak, sangha-lah kehidupan spiritual.” “Aku” kita yang kecil tidak mampu menyelesaikan tugas menyelamatkan seluruh makhluk hidup. “Aku” yang besarlah yang merupakan segalanya, yang menyelamatkan segala makhluk. Kita menyentuh “Aku” yang lebih besar di dalam kekosongan.    

Bunda Teresa mampu berjalan melewati neraka dan melayani tanpa kenal lelah, terutama karena suatu hubungannya yang mendalam dan dekat kepada Tuhan-nya. Dengan suatu koneksi yang mendalam dan otentik dengan sifat Buddha kita, hati kita bisa tetap bebas dan terbuka selagi berjalan melalui surga dan neraka. Kita merasakan kesedihan tanpa menarik diri darinya. Kita merasakan kesenangan tanpa merasa bersalah. Dari situlah kita bisa berguna bagi orang lain.


Jacqueline Kramer: Penulis

Jacqueline Kramer, pengarang buku Buddha Mom: The Path of Mindful Mothering dan 10 Spiritual Practices for Busy Parents, telah mempelajari dan memraktikkan Buddhisme selama lebih dari tiga puluh tahun dalam tradisi Theravada Sri Lanka, dan Zen selama delapan tahun.  Ketika ia hamil, ia mengaplikasikan prinsip-prinsip Buddhis pada kehamilannya, melahirkan dan merawat putrinya dengan hasil yang baik. Hal ini menuntunnya menghasilkan buku-buku dan ajaran-ajarannya. Di tahun 2008 Jacqueline menerima Penghargaan Wanita Luar Biasa Dalam Buddhisme pada hari wanita PBB di Thailand atas karyanya mengajarkan Buddhisme kepada para ibu. Ia adalah direktur dari Yayasan Hearth, yang menawarkan kelas-kelas praktik umat Buddha awam online yang dirancang bagi para ibu, newsletter bulanan dan sumber-sumber lainnya bagi para ibu masa kini yang ingin mencari dukungan spiritual dan inspirasi. Hearth memiliki siswa-siswi di Australia, Argentina, Selandia Baru, Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan di seluruh dunia. Jacqueline adalah mantan presiden Alliansi Bhikkhuni, duduk di  jajaran dewan editorial mereka, dan secara aktif mendukung kehidupan monastik bagi perempuan. Ia telah belajar koan kepada John Tarrant, menulis tentang feminimisme dan Buddhisme bagi majalah Turning Wheel dan majalah lainnya, serta mengembangkan ajaran-ajaran bagi umat awam wanita yang memahami spiritualitas feminim. Jacqueline tinggal di Sonoma County, California.

No comments:

Post a Comment