Monday, May 25, 2015

5 Alasan Mengapa Anda Wajib Datang ke Konferensi Sakyadhita Juni ini:

(1) Guru-guru berbobot kelas dunia
Kapan lagi Anda bisa melihat dan mendengar puluhan guru-guru hebat termasuk Ajahn Brahm, Venerable Tenzin Palmo, Thubten Chodron, Venerable Karma Lekshe Tsomo, Ajahn Sujato, Bhante B. D. Dipananda, Ayya Santini, Ayya Dhammananda, Venerable Thich Nu Nhu Nguyet, Venerable Hyo Seok, dan masih banyak lagi berbagi pengalaman dan membabarkan Dhamma? Langka kan?

(2) Kelas-kelas lokakarya yang beragam
Anda akan dimanjakan oleh berbagai lokakarya untuk apapun yang anda sukai. Dari belajar zen ketika minum kopi, belajar yoga, mendapat tips ketika menerjemahkan teks Buddhis, hingga mengupas seluk beluk Candi Borobodur, dan topik-topik lain yang begitu beragam

(3) Peserta dari lebih dari 40 negara
Ingin bertemu teman manca negara tapi tak bisa bahasa Inggris? Tenang saja! Peserta konferensi bukan hanya yang berbahasa Inggris, tapi juga mandarin, Korea, Vietnam, Thai dan Spanyol dan lainnya. Banyak juga penerjemah yang berliweran yang akan membantu anda.

(4) Topik penting yang mempengaruhi hidup anda
Berita-berita menampilkan kondisi dunia yang memprihatinkan. Jangan hanya berpangku tangan dan mengeluh, kita juga dapat melakukan banyak hal untuk membuat dunia ini lebih indah bagi kita dan anak cucu kita. Anda akan mendapatkan banyak wawasan dan tips untuk mengembangkan diri dan dunia di sekitar anda.

(5) Asyik dan terjangkau!
Kalau teman-teman luar negeri harus merogoh kocek dalam USD, peserta lokal mendapat diskon besar-besaran! Hanya Rp 500,000 untuk menghadiri konferensi termasuk makan 3 kali sehari. Belum termasuk tiket dan tempat nginap ya (banyak tempat menginap yang murah-murah di sekitar sana!)


Isi dan segera email formulir pendaftarannya: 
Download di: http://sakyadhita-indonesia.org/registrasi.pdf 
Email ke  sherly.yuliany@yahoo.com dan info@sakyadhita-indonesia.org

Informasi lebih lanjut dapat mengubungi
Contact Person : Sherly +62.815.9552.552
Elwiana +62.812.1288.122
Pin BB : 7D21CF1E
Mail : info@sakyadhita-indonesia.org/ sherly.yuliany@yahoo.com.

Ceramah Dhamma Ven. Karma Lekshe Tsomo di Riau, Sumatra

Jangan lewatkan kesempatan langka untuk mendengarkan guru besar dalam agama Buddha, yaitu Ven. Prof. Dr. Karma Lekshe Tsomo dari Amerika Serikat.


Monday, April 20, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia : 5

Misteri Dewi Kili Suci – Putri Mahkota Bhikkhuni Petapa Abad Ke-11 dan Goa Selomangleg

Bhikkhunī Ayyā Tathālokā

Image 1: Putrī Sanggramawijaya/
Devi Kili Suci
Di posting kelima dari seri ini, kita menuju ke Borobudor di abad ke-11, di masa ketika adalah hal umum bagi keluarga ningrat melepaskan tahta demi kehidupan monastik, dan pertapaan-pertapaan dan gua-gua di pegunungan Indonesia sering didatangi oleh pertapa pria dan wanita dari berbagai kepercayaan. Buddhisme Mantranāya/Vajrayāna telah tersebar di Jawa sejak akhir abad ke-7 dan berkembang pesat. Mari kita lihat cerita legenda tentang seorang putri yang menjadi kili/wiksuni/bhikkhunī/mahāsiddhā, dan kita kunjungi gua dimana ia tinggal, berlatih dan menghilang secara misterius dari dunia.

Diekstrak dari dari jurnal oleh Ayyā Tathālokā’s berjudul“Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors,” ini adalah bagian kelima dari mini-seri dalam menyambut Konferensi Sakyadhita Ke-14 di Borobudur, Indonesia.

__

Misteri Dewi Kili Suci – Putri Mahkota Bhikkhuni Penyendiri Abad Ke-11 dan Goa Selomangleg

Meskipun dalam catatan-catatan sejarah telah jarang ditemukan cerita-cerita tentang biarawati-biarawati Buddhis di India sejak abad ke-8 dan langka di Sri Lanka setelah abad ke-10, catatan-catatan semacam ini terus ditemukan di Indonesia di abad ke-11.

Gambar2: Prasasti Pucangan atau
"Batu Kalkuta" ditulis dalam bahasa
Jawa Kuno dan Sansekerta
Ada cerita tentang Airlangga yang adalah buah perkawinan ningrat antara dinasti kerajaan Bali dan kerajaan Medang di Jawa Timur. Airlangga (yang namanya berarti Ia yang Melewati Air) diasuh oleh Ibunda Ratu di Bali, dan pulang ke Jawa ketika remaja saat perkawinannya sudah disiapkan. Prasati “Batu Kalkuta” mencatat bahwa pada usia enam belas, di hari pernikahannya, saat pesta sedang berlangsung, adik ibundanya yaitu raja Dharmawamsa dari Medang dan seluruh keluarganya diserang mendadak dan dibunuh, dan istananya dijarah dan dibakar. Entah bagaimana, Airlangga berhasil lolos tanpa luka. Ia menghabiskan beberapa tahun di retret di Pertapaan Hutan Vanagiri, dan kemudian muncul kembali untuk berdamai dengan Srivijaya dan membentuk kerajaan Jawa baru bernama Kahuripan.

Airlangga menikah dengan seorang putri Sriwijaya yang melarikan diri ke Jawa Timur setelah ayahnya dipenjara dan kerajaan mereka dijarah oleh kerajaan Cholas dari India. Menurut prasasti Baru, ia menamai putri ini sebagai Parameśwari—Permaisuri

Monday, April 13, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: 4

Jaringan Buddhis Internasional,  Kepemimpinan  Bhikkhunīs dan Wanita di Laut Indonesia Selatan pada Abad Ke-5 hingga Ke-7

Ayyā Tathālokā Bhikkhunī

Ini adalah artikel keempat dari seri “Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia.” Kali ini kita melihat bagaimana jaringan Buddhis internasional telah berkembang dengan mantap antara India, Indonesia, Sri Lanka dan China. 

Kita akan membahas periode ketika Buddhisme tumbuh di Indonesia, dan jaringan dan pembelajaran Buddhis internasional tumbuh pesat. Pemimpin-pemimpin wanita yang berkuasa telah menyokong beasiswa Buddhis dan Sangha Bhikkhunī tersebar luas dan berdiri kokoh. 

Diekstrak dari jurnal Ayyā Tathālokā’s paper “Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors,” ini adalah bagian dari seri dalam menyambut Konferensi Sakyadhita Ke-14 di Borobudur, Indonesia. 

__

Jaringan Buddhis Internasional,  Kepemimpinan Bhikkhunīs dan Wanita di Laut Indonesia Selatan pada Abad Ke-5 hingga 7

Meskipun sangat besar kemungkinan bahwa ajaran-ajaran Buddhis dan anggota-anggota monastik telah mencapai kepulauan Indonesia hampir 1,000 tahun sebelumnya—karena Jalur Sutera Laut yang aktif dan diketahui bahwa para anggota monastik Buddhis berpergian sepanjang jalur-jalur ini dengan laut—tapi kita baru menemukan bukti visual tentang hal ini yang berpenanggalan dari abad ke-2 hingga ke-5 dari Era Umum dalam bentuk patung-patung dan benda-benda arkeologis Indonesia yang masih ada hingga hari ini.

Gambar 1: Buddha Tembaga dari
Sulawesi Barat dalam gaya Amaravati
atau Anuradhapura dari abad
kedua dan kelima
Patung-patung Buddha yang terbuat dari tembaga dari masa abad ke-2 hingga ke-5 ditemukan di Pulau Sulawesi, yang diduga adalah gaya Amaravati India atau gaya Anuradhapura Sri Lanka.

Patung-patung ini mengilustrasikan dengan lebih jelas hubungan antara Indonesia dengan India Selatan dan Sri Lanka di masa awal, seperti yang disebutkan dalam cerita “Bhikkhuni Manimekhalai Pergi ke Java ” yang sudah kita posting sebelumnya. Tak sulit untuk disadari ketika melihat peta-peta Jalan Sutera Laut, bahwa Indonesia punya hubungan aktif dengan India Selatan, Barat dan Timur Laut, serta Sri Lanka, China dan Korea.

Menurut catatan autobiografi bikshu peziarah dari China bernama Fa-hsien (Fǎxiǎn, 法顯/法显), ketika ia mendarat di suatu tempat di kepulauan Indonesia di awal abad kelima, saat kapalnya keluar jalur akibat tiuapn angin hingga teralihkan dari perjalanan Ceylon (Sri Lanka) dan China, ia hanya bertemu dengan beberapa orang Buddhis—ada tapi tidak banyak. Tidak diketahui pasti pulau mana ia berlabuh, tetapi diduga kemungkinan adalah suatu tempat di Pulau Jawa. Ia mungkin tidak bertemu dengan kerajaan Jawa bernama Tarumanegara (Dharmanagara)[1], yang berdiri sejak abad ketiga hingga kelima di Baturaja (bagian timur Jakarta), dimana ditemukan struktur-struktur berbentuk stupa dan lempeng-lempengan Buddhis.[2]

Monday, April 6, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: 3

Bhikkhuṇī Manimekalai dari India Selatan ke Jawa

Oleh Āyyā Tathālokā Bhikkhunī
Perkenalan ke segmen ini: Tathālokā Bhikkhunī and Ādhimuttā Bhikkhunī

Gambar 1: Manimekalai membagikan makanan
dari mangkuk ajaibnya kepada yang membutuhkan.
Di lukisan-lukisan India kontemporer, yang banyak
tersebar karena beliau adalah tokoh yang melegenda,
beliau hampir selalu digambarkan dalam wujud
sannyāsinī Hindu modern daripada monastik Buddhis.
Artikel ketiga di seri “Sejarah Wanita dalam Buddhisme” menceritakan kisah hidup yang suciwati Buddhis bernama Manimekalai. Kisahnya dramatis dan menginspirasi, bagaikan Bunda Theresa versi Buddhis dari abad kedua India Selatan. 

Artikel ini menganalisa penanda-penanda status dan mobilitas para monastik wanita Buddhis Asia Selatan dan Tenggara, lingkungan dan etika keadilan sosial mereka, hak-hak mereka, hubungan dengan politik, dan bagaimana Buddhisme secara proaktif dibandingkan dalam hal kesetaraan jender dengan kepercayaan, doktrin dan agama lain di masa itu. 

Hingga kini, diadakan perayaan Bak Poya di bulan purnama April untuk mengenang kedatangan Sang Buddha di pulau Manipallavam (Nagadipa), tempat yang penting dalam perjalanan hidup Manimekalai. 


Diekstrak dari jurnal Ayyā Tathālokā’s paper “Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors,” ini adalah bagian dari seri dalam menyambut Konferensi Sakyadhita Ke-14 di Borobudur, Indonesia.


__

Bagian 3: Bhikkhuṇī Manimekalai dari India Selatan ke Jawa

Gambar 2: Sampul buku Manimekalai
Kisah Yang Mulia Manimekalai dicatat dan dipopulerkan di abad ke-2 dan ke-3. Dari cerita itu, kita menyadari bahwa para bhikkhunī (Sansekerta: bhikṣuṇī) dari India bagian selatan dan negara kepulauan zaman dulu tidak hanya menikmati kebebasan mobilitas internasional, mereka juga mendapatkan penghormatan, dimana banyak diantara mereka yang adalah guru pembimbing monastik, praktisi dengan pencapaian, dan orang suci.

Manimekalai (Maṇimēkalai, Tamil: மணிமேகலை) adalah salah satu puisi Buddhis berbahasa Tamil yang paling terkemuka di antara epik-epik Literatur Tamil. Puisi ini juga adalah satu-satunya yang masih tersisa dari koleksi tulisan Buddhis berbahasa Tamil dari masa itu yang dulunya tersebar luas.

Friday, April 3, 2015

Konferensi Sakyadhita: Tema Konferensi

Sakyadhita
Konferensi Internasional ke-14
Yogyakarta, Indonesia | 23-30 Juni 2015


Conference Theme: “Compassion & Social Justice”
Tema Konferensi: "Welas Asih & Keadilan Sosial"

Compassion & Inner Transformation
Welas Asih & Transformasi Batin

Yuanwu Keqin’s Chan Praxis: Teaching for Women
Yuanwu Keqin: Chan Praxis - Pendidikan untuk Wanita
            Fen-Jin Wu

The Rearranged Roles of Buddhist Nuns in the Modern Korean Sangha: A Case Study of Practicing Compassion
Pengaturan Ulang Peran-peran Biarawati Buddhis dalam Sangha Korea Moderen: Sebuah studi kasus mengenai Pelatihan Welas Asih
            Hyo Seok Sunim

Vipassana & Pain: A Case Study of Taiwanese Female Buddhists Who Practice Vipassana
Vipasana & Rasa Nyeri: Studi Kasus Wanita Buddhis Taiwan yang Berlatih Vipasana
            Shiou-Ding Shi

Buddhist and Living with HIV: Two Life Stories from Taiwan
Buddha dan Hidup bersama dengan HIV: Dua Cerita Kehidupan dari Taiwan
            Wei-yi Cheng

Teaching Dharma in Prison
Melatih Dharma di Lembaga Pemasyarakatan
            Robina Courtin

Monday, March 30, 2015

RAIN: Bekerja dengan Kesulitan

Tara Brach

Sekitar 12 tahun yang lalu, beberapa guru Buddhis mulai berbagi tentang cara kewaspadaan baru yang membantu secara langsung untuk bekerja dengan emosi yang intens dan sulit. Alat ini disebut RAIN (akronim dari proses empat langkah), yang dapat diterapkan di berbagai tempat dan situasi. RAIN mengarahkan perhatian kita secara sistematis dan jelas sehingga memotong kekacauan dan stres.

Langkah-langkah ini memberi kita ruang saat muncul momen yang menyakitkan; dan begitu kita sering mengulangnya, langkah-langkah ini memperkuat kapasitas kita untuk kembali pada kebenaran diri yang terdalam. Seperti langit yang jernih dan udara yang bersih setelah hujan yang dingin, latihan kewaspadaan ini membawa suatu pembukaan yang baru dan menenangkan kehidupan kita sehari-hari.

Sekarang aku telah mengajarkan RAIN kepada ribuan siswa, klien, dan profesional kesehatan mental, sambil terus mengadaptasi dan mengembangkannya menjadi versi yang dapat ditemukan di bab ini. Aku menjadikannya sebagai latihan inti dalam kehidupanku sendiri. Inilah empat langkah RAIN yang disajikan dengan cara yang kuanggap paling bermanfaat:

R   Recognize what is happening (mengenali apa yang sedang terjadi)
A  Allow life to be just as it is (mengizinkan hidup seperti apa adanya)
I   Investigate inner experience with kindness (menginvestigasi pengalaman batin dengan kebaikan)
N  Non-Identification (tanpa identifikasi).

RAIN secara langsung mengkondisi-ulang kebiasaan-kebiasaan dimana Anda menolak pengalaman pengalaman momen ke momen. Tidak perduli apakah Anda menolak “hal tersebut” dengan mencaci dalam kemarahan, dengan merokok, atau membenamkan diri dalam pikiran obsesif. Upaya Anda untuk mengendalikan kehidupan di dalam diri dan di sekitar Anda yang sesungguhnya memotong Anda dari hati Anda sendiri dan dari kehidupan ini. RAIN mulai untuk memangkas pola-pola tanpa-sadar segera setelah kita mengambil langkah pertama.

Monday, March 23, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: 2

Bhikkhuṇīs dan Pertapa Perempuan Indonesia: Kilasan Sejarah dan Survei Terminologi

Artikel oleh Tathālokā Bhikkhuṇī  
Pengantar oleh Ādhimuttā Bhikkhuṇī

Ini adalah bagian kedua dari seri Sejarah Wanita dalam Buddhisme yang merupakan ekstrak dari jurnal oleh Ayyā Tathālokā’s berjudul“Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors.” Tulisan ini memberikan ringkasan terminologi dan sejarah, mengupas tentang monastik Buddhis wanita dan pertapa wanita zaman dulu di kepulauan Inodnesia yang digali  lewat catatan perjalanan, tradisi oral, prasasti, monumen dan patung-patung yang membawa konteks kultul dan sejarah. 

__

Para Wikuni dan Kili: Rangkuman Terminologi Indonesia untuk Pertapa, Guru dan Orang Suci Wanita 

Kata wikuni dalam Bahasa [1] mempunyai akar bahasa dari kata bahasa India bhikkhuṇī dalam bahasa Pali dan bhikṣuṇī dalam bahasa Sansekerta. Bentuk maskulin dari kata ini adalah wiku,[2] bhikkhu/bhikṣu. Dalam teks-teks bahasa Indonesia, seperti dalam teks India, [3] kata ini juga untuk merujuk pada pertapa monastik pria dan wanita secara kolektif.
Wikuni kini diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai pendeta Buddha (seorang “pandita Buddhis”), yang kali ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “pastor Buddhis” atau “penginjil.”

Photo 1:  Bhikkhuṇī-bhikkhuṇī dipahat di batu
Bahasa Indonesia kuno dan teks-teks kuno penuh dengan kata-kata yang mendeskripsikan pertapa religius wanita. Kata kili mungkin adalah kata yang paling terkenal di antaranya. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata diulang untuk menyatakan bentuk jamaknya, sehingga dikenal sebagai kili-kili.

Beberapa cendikiawan mengatakan bahwa kili adalah murni bahasa Indonesia. Yang lainnya mengatakan mungkin kata ini berasal dari bahasa India giri yang berarti “gunung,” dan juga digunakan dalam bahasa Sansekerta untuk merujuk pada pertapa di India. Gunung, formasi gunung, dan goa-goa punya sejarah panjang sebagai yang disucikan, dan dalam kosmologi kuno, gunung adalah wanita. Kili-kili sering diasosiasikan dengan retret pertapa-pertapa di gunung-gunung, sehingga mereka sering disebut pertapa wanita.

Monday, March 16, 2015

Apakah Kewaspadaan Membuatmu Lebih Welas Asih?

Shauna Shapiro

Aku mengikuti retreat meditasi pertamaku 17 tahun yang lalu di Thailand. Saat tiba, aku kurang memahami tentang kewaspadaan dan tentunya aku tidak bisa berbahasa Thai.

Di vihara, aku samar-samar memahami ajaran bhikkhu Thai yang indah, yang mengajarkanku untuk memperhatikan nafas yang masuk dan keluar melalui lubang hidung. Tampaknya cukup mudah. Maka aku duduk dan mencoba memperhatikan, [dengan target] enam belas jam sehari, dan dengan cepat aku mendapatkan realisasi besar pertama: aku tidak dapat mengendalikan pikiranku.

Aku putus asa dan agak terganggu dengan banyaknya pikiran yang mengembara tersebut. Aku perhatikan satu, dua atau tiga nafas – lalu pikiranku pergi, melamun, meninggalkan tubuhku duduk di sana, dalam kerangka kosong. Putus asa dan tidak sabar, aku mulai bertanya-tanya, “Mengapa aku tidak dapat melakukannya? Orang lain tampaknya sedang duduk dengan tenang. Apa yang salah denganku?”

Monday, March 9, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: Pengantar

12 Monumen & Situs di Jawa yang Berhubungan dengan Wanita Buddhis & Bhikkhuni


Ekstrak Artikel Tempat Bersejarah: Tathālokā Bhikkhuṇī, 
Peta: Ānandajoti Bhikkhu, 
Pengantar: Ādhimuttā Bhikkhuṇī and all, 
Layout: Ānagarikā Michelle 

Komunitas monastik dan umat awam Buddhis dari seluruh dunia tengah bersiap-siap berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri Konferensi Sakyadhita ke-14 di Yogyakarta. Bagi yang tertarik pada sejarah wanita Buddhis dan Sangha Bhikkhuṇī/Bhikṣuṇī masa lampau di Indonesia, kami akan berbagi info tentang beberapa tempat-tempat bersejarah yang layak dikunjungi.

Ini akan memperkaya pengalaman para peserta Konferensi melalui pembelajaran intelektual maupun melalui pengalaman langsung, dan agar orang-orang yang tidak dapat hadir dapat pula belajar dan meningkat pengetahuannya dan mendapatkan manfaat dari jauh.

Bulan-bulan sebelum Konferensi di Borobudur di bulan Juni nanti, yaitu dari Maret hingga Mei, kami akan meluncurkan serangkaian post yang diringkas dari jurnal karya Ayyā Tathālokā's "Light of the Kilis: Our Ancient Bhikkhuṇī Ancestors", yang diriset dan dipersiapkan untuk Konferensi Sakydhita-Borobudur.

Post yang berisi ekstrak ini akan memberikan informasi mendalam tentang berbagai aspek Sejarah Wanita dalam Buddhisme di Indonesia, banyak yang berhubungan dengan tempat-tempat bersejarah yang dibicarakan di sini.

Lokasi terakhir, Borobudur dan sekitarnya, akan diangkat dan dipresentasikan di Konferensi itu sendiri, dan para peserta akan mengunjungi Candi Borobudur. Saat Konferensi, kami berharap untuk menawarkan panduan dalam bentuk pdf yang dapat diunduh yang berisi sejarah dan seni dari tempat-tempat bersejarah yang berhubungan dengan para wanita Buddhis Indonesia yang kita bicarakan di blog post yang disajikan di serial ini.

Peta dan informasi di sini memberikan pengantar singkat tentang beberapa lokasi di Jawa yang kami rasa akan bermanfaat untuk diketahui terlebih dahulu, dan mungkin dapat direncanakan untuk dikunjungi. 

Thursday, March 5, 2015

Konferensi Sakyadhita ke-14: Kasih Sayang & Keadilan Sosial

Setiap dua tahun, Sakyadhita mengadakan pertemuan untuk berbagi riset dan pengalaman dan proyek-proyek untuk meningkatkan taraf kehidupan perempuan buddhis khususnya perempuan di negara berkembang. Konferensi tahun 2015 ini memilih tema penting Kasih Sayang dan Keadilan Sosial.

Selama ratusan tahun, wanita-wanita Buddhis berkontribusi pada kesejahteraan spiritual dan sosial komunitas mereka. Tapi mereka jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan kontribusi mereka dilupakan.

Konferensi di Indonesia ini akan menjadi ajang bagi para wanita (dan pria) untuk berdiskusi dan membangun koneksi yang lebih baik lagi antara Dharma dan kesejahteraan sosial dan politik para wanita. Bersama-sama, kita mengeksplorasi bagaimana kasih sayang dan keadilan sosial serta perkembangan spiritual dapat membantu membentuk dunia yang lebih damai dan sejahtera.

Pendaftaran telah dibuka untuk peserta dari Indonesia dan internasional. Early bird akan mendapatkan harga spesial. Silakan isi dan email formulir pendaftaran ini


Tentang Sakyadhita
Sakyadhita International Association of Buddhist Women Sakyadhita berarti “puteri Buddha”, Asosiasi Wanita Buddhis Internasional, didirikan atas kesepakatan Konferensi Wanita Buddhis Internasional yang pertama kali diselenggarakan di Bodhgaya, India, pada tahun 1987 atas prakarsa Dalai Lama. Konferensi ini terlaksana atas inisiatif dari Ayya Khema dari Jerman, Bhiksuni Karma Lekshe Tsomo dari Amerika, dan profesor dari Thailand yakni Chatsumarn Kabilsingh (sekarang Bhiksuni Dhammananda).

Tujuan organisasi ini menggabungkan perempuan Buddhis dari negara dan tradisi yang berbeda, untuk mempromosikan kesejahteraan mereka dan untuk memfasilitasi pekerjaan mereka untuk membawa manfaat bagi kemanusiaan. Anggota Sakyadhita sekarang hampir 2.000 anggota di 45 negara di dunia.


Detil
Lokasi: Sambi Resort Jl. Kaliurang km 19.2 Desa Wisata Sambi Pakembinangun - Sleman, Yogyakarta
Telp : +62.274.4478.666
Fax : +62.274.4478.777

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Sherly   :  +62.815.9552.552
Elwiana : +62.812.1288.122
Pin BB   : 7D21CF1E
Mail      : info@sakyadhita-indonesia.org
Site       : www.sakyadhita-indonesia.org, www.sakyadhita.org


Mau Membantu? 
Dibuka kesempatan untuk menjadi sukarelawan (volunteer). Anda akan bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai negara dan membuka wawasan serta pertemanan. Anda bisa membantu di bidang interpreter/terjemahan, tour guide, logistik, ketua sukarelawan, kesehatan/kesejahteraan, konsumsi, kebersihan, jasa bagi penyandang cacat.

Silakan isi dan email formulir sukarelawan ini.
Info lengkapnya di sini.

Wednesday, March 4, 2015

Kesempatan Sukarelawan di Konferensi Sakyadhita Ke-14

Indonesia mendapatkan kehormatan sebagai tuan rumah Konferensi Internasional Sakyadhita ke-14 tahun 2015. Konferensi kali ini mengambil tema Compassion & Social Justice (Kasih Sayang & Keadilan Sosial) dan akan diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 23-30 Juni 2015, dilanjutkan dengan temple tour pada tanggal 1-2 Juli 2015. Konferensi ini akan dihadiri peserta dari lebih dari 40 negara dengan latar belakang tradisi yang berbeda.

Untuk itu, dibuka kesempatan untuk menjadi sukarelawan (volunteer) di berbagai pos! Bagi yang berminat, silakan baca info selengkapnya di poster berikut:


Monday, March 2, 2015

Ketakutan Terhadap Dunia: Menyalahartikan Welas-asih dengan Keputus-asaan

Bhiksuni Thubten Chodron

Banyak sekali berita akhir-akhir ini, yang mengarahkan orang-orang yang peduli untuk merefleksi keadaan dunia saat ini. Namun umumnya kita tidak melakukannya dengan cara yang bijak. Bagi banyak orang, refleksi ini menciptakan penderitaan mental, dan pikiran kita menjadi ketat dan ketakutan.

Di dalam ketakutan itu terdapat banyak “I-grasping” atau “kemelekatan-saya”, yang kadang-kadang kita salah-artikan sebagai welas-asih. Kita pikir, “Ketika saya melihat dunia, dan melihat begitu banyak penderitaan [artinya] saya merasa welas-asih pada orang-orang.” Tapi sebenarnya kita sengsara, kita merasakan suatu rasa putus asa, takut, depresi dan sebagainya. Ini bukanlah welas-asih sungguhan. Dengan tidak mengenali ini, ada orang yang takut merasa welas-asih karena mereka menyangka welas-asih hanya membuat kita merasa sengsara. Ini adalah pemikiran yang berbahaya karena dapat membuat kita menutup hati terhadap orang lain.

Welas-asih berfokus pada penderitaan orang lain, tetapi kita merasa putus-asa dan ketakutan, kita berfokus pada penderitaan kita sendiri. Oleh karena itu, merasa depresi ketika melihat penderitaan di dunia bukanlah indikasi dari welas asih. Melainkan kita jatuh dalam kesengsaraan pribadi. Sangat berguna untuk menyadari hal ini ketika kita sepertinya masuk ke dalam kondisi putus-asa.

Monday, January 19, 2015

Mengatasi Keraguan Melalui Pengalaman Langsung

Shaila Catherine

Apakah anda pernah dapati diri sendiri menolak—atau mungkin meragukan—realita dari hal-hal yang belum anda alami sendiri?

Dalam Majjhima Nikaya, ada satu cerita tentang orang yang terlahir buta yang tidak bisa melihat gelap maupun terang, bentuk-bentuk berwarna, atau bintang, matahari, maupun bulan, dan dia bilang: “Saya tidak mengenal mereka. Saya tidak melihat mereka. Oleh karena itu, mereka tidak ada.”

Orang buta ini menolak apa pun yang di luar pengalamannya sendiri. Tendensi ini—untuk meragukan apa yang belum dialami—adalah hal yang cukup umum di lingkungan Dhamma Barat. Contohnya, saya mendengar orang mendiskon potensi stabilitas jhana—bersikukuh bahwa tidak mungkin untuk terampil dalam kondisi-kondisi konsentrasi stabil seperti itu di zaman sekarang ini. Saya juga mendengar orang-orang menyatakan keraguan terhadap kemungkinan terbebaskan dari keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan.

Beberapa orang, meskipun tertarik pada Dhamma, berpikir bahwa pencerahan sempurna hampirlah tidak mungkin di dunia saat ini. Tetapi hanya karena kita tidak menemukan orang-orang yang tercerahkan di lingkaran teman-teman kita tidaklah berarti kita harus melepaskan harapan untuk pencerahan dapat terjadi pada orang-orang seperti kita.