Monday, October 13, 2014

Menemukan Buddhisme di Bangladesh

Stav Zotalis

Stav bersama ayahnya
Perjalanan saya ke Buddhisme sungguh tak disangka. Saya lahir di keluarga migran Yunani Ortodoks 48 tahun lalu. Meskipun dilahirkan di Sydney, Australia, rasanya seperti tinggal di desa Yunani. Saya berbahasa Yunani di rumah, kebanyakan teman saya adalah orang Yunani, saya menghadiri sekolah Yunani (sesudah sekolah berbahasa Inggris reguler), menghadiri sekolah minggu Yunani Ortodoks, menari tarian Yunani, makan makanan Yunani, memimpikan impian Yunani (yaitu menikah dengan pria profesional Yunani, dua anak, pekerjaan dengan gaji tinggi, dan rumah dua lantai di daerah bagus). Pendeta Yunani Ortodoks memainkan peranan penting dalam hidup saya, meskipun pengaruhnya lebih pada moral dan sosial daripada spiritual. Ia membaptis saya, mendirikan sekolah Yunani yang saya hadiri, dan selalu hadir dalam acara penting seperti Natal, Paskah, pernikahan dua kakak perempuan saya kepada pria profesional Yunani, dan sayangnya, juga pada penguburan ayah saya ketika saya berusia 29 tahun.

Monday, September 29, 2014

Waktu, Mereka adalah Sebuah Perubahan

Venerable Damchö Diana Finnegan

Yang Mulia Dalai Lama memberikan ceramah utama pada pembukaan acara “Sebuah pertemuan tradisi spiritual yang beragam di India” di New Delhi, India pada tanggal 20 September 2014. Foto oleh Tenzin Choejor/OHHDL
Pada tanggal 20 September 2014, selama diskusi meja bundar pertama konferensi antar agama dengan judul “Sebuah Pertemuan Beragam Tradisi Spiritual di India – Mempromosikan Nilai Kemanusiaan dan Keharmonisan Antar Agama,” yang diadakan di Delhi, India, Yang Mulia Dalai Lama berbicara untuk mendukung perevisian aturan yang menyatakan bahwa biarawati harus duduk di belakang biarawan, bahkan jika biarawati tersebut telah ditahbiskan sebagai Bhikkuni, dan biarawan tersebut masih pemula [samanera]. Pertemuan Beragam Tradisi Spiritual di India, yang diinisiasi oleh Yang Mulia Dalai Lama sendiri, berlangsung selama dua hari, termasuk rapat paripurna tentang “Pemahanan Antar Agama dan Nilai Kemanusiaan” dan “Lingkungan, Pendidikan, dan Masyarakat.”

Monday, September 15, 2014

Pulang

Anja Tanhane


 "Pulang itu seperti mengecilkan volume, sehingga saya bisa mendengar diri sendiri lagi."
Steve Jampijinpa, dari dokumenter, Milpirri, Winds of Change

Monday, September 1, 2014

Ikut Aku

Stephanie Mohan

 
Tanpa tubuh

bergetar

di luar

sana.

Makhluk kosong ini

telah melihat segala.

Pikiran dan rupa berlabel

dikondisikan karma.

Tak mengetahui penyebab lampau

menderita sekarang.

Tak tahu, tak lihat, tak di sini, tak di sana.

Bukan ini, bukan itu.

Monday, August 4, 2014

Revolusi Bhikkhuni: Feminisme Religius dalam Buddhisme Thai

Tanaporn Pichitsakulchai


Brisbane, 15 Juni 2014 (Alochonaa): Karena sebagian besar masyarakat Thailand menganut Buddha Theravada, agama di Thailand tidak diragukan lagi berperan besar untuk identitas Thailand dan kehidupan sehari-hari. Dalam lingkup agama, wanita Thailand dibatasi secara tradisional ke peran umat awam wanita (upasika) dan Mae chi (biarawati Buddhis delapan sila) dalam konteks umat Buddha Thailand. Di luar Buddhisme, secara tradisional peran wanita dibatasi sebagai istri dan ibu. Dalam beberapa dekade terakhir telah ada upaya untuk menghidupkan kembali penahbisan bhikkhuni (biarawati) dalam Buddhisme Theravada Thai, meskipun upaya ini ditentang oleh Sangha Thailand dan komunitas agama yang lebih luas.

Monday, July 21, 2014

Merayakan sebuah kehidupan yang dijalanin dengan baik: Kenangan Saudari se-Dharma Mettapanna Nancy Gil

Semua yang berkondisi adalah tidak kekal,
muncul dan lenyap;
 ketika kebangkitan dan kehilangan juga berakhir,
ini kemudian, adalah kebahagiaan dari kedamaian sejati.
***

Teman-teman tercinta,

Saya tidak menulis kepada Anda untuk waktu yang lama tampaknya. Kepada Anda yang tidak saya temui belakangan ini, saya berharap perubahan dari musim semi ke musim panas membuat Anda baik-baik saja, jalan membentang dimana pun Anda berada, indah, dengan cara yang tepat untuk Anda.


Monday, June 23, 2014

Dipa Ma: Seorang Guru Wanita Buddhis Luar Biasa di Abad Kedua Puluh

Yang Mulia BD Dipananda

Sangat jarang cerita mengenai seseorang begitu menyentuh hati. Setelah membaca Dipa Ma, Anda akan merasa telah bertemu dengannya -- dan anda tidak akan pernah melupakannya.
— Paul Hawken, co-author dari Natural Capitalism

Dipa Ma
Di India beberapa tahun lalulah, saat saya mendengar namanya: “Dipa Ma.” Saya tidak tahu siapa dia, tapi namanya terdengar keibuan. Rupanya, dia adalah seorang Guru  perempuan Buddhis yang terkemuka di Asia dan di seluruh dunia, tapi aku masih belajar dan tidak punya waktu untuk lebih mengenalnya

Sebagaimana karma mengaturnya, beberapa minggu yang lalu saya meminjam sebuah buku di perpustakaan Vihara Wang Fat Ching She. Buku itu dikarang oleh Amy Schmidt dan berjudul, Dipa Ma: Kehidupan dan Warisan dari Guru Buddhis. Saya membacanya beberapa kali dan meninjau kembali wawancara dengan Dipa Ma yang disebut "Pencerahan di Kehidupan Ini: Pertemuan dengan Wanita Luar Biasa" yang diterbitkan oleh Tricycle tahun 2004. Wawancara itu dilakukan oleh Jack Engler di berlangsung di Kalkuta pada tahun 1977. Menggali lebih dalam, saya menelepon yang Mulia Shilananda, salah satu guru saya di Bangladesh, dan bertanya tentang Dipa Ma. Aku tercengang ketika dia mengatakan kepada saya bahwa ia dilahirkan di desa tetangga dekat dengan saya, Padua, di Chittagong. Aku tidak pernah bertemu wanita ini dan dia telah lama hilang. Tapi kedekatan dirinya dengan rumah dan hati saya membawa saya merasa bahwa saya benar-benar bertemu dengannya, dan bahwa saya tidak akan pernah melupakannya.

Monday, June 16, 2014

Buddhisme Theravada dan Tujuan Pembangunan Milenium 3: Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Wanita dalam Buddhisme Theravada

Jurnal berikut ditulis oleh Ajahn Brahm untuk menginspirasi para Buddhis untuk berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Milenium PBB, terutama tujuan ketiga “Mempromosi Kesetaraan Jender dan Memberdayakan Wanita.”

Ajahn Brahm menjelaskan bahwa Sang Buddha menempatkan monastik wanita di tempat utama dalam Dhamma, dan mereka telah membuat kontribusi luar biasa untuk Dhamma dan untuk kesejahteraan semua orang. Meskipun ada argumen-argumen yang berbeda pandangan, namun sejarah Buddhisme, prinsip-prinsip Buddhis, dan Vinaya tidak memberikan basis logis apapun untuk menolak legalitas penahbisan bhikkhuni Theravada masa ini. Ajahn Brahm mendorong anggota monastik dan umat untuk membuka mata pada fakta-fakta ini. Ia juga meminta pemimpin-pemimpin agama, terutama pemimpin Buddhis Theravada, untuk memimpin melalui tindakan, mulai dari tradisi agama mereka sendiri sehingga mereka dapat benar-benar menginspirasi pengikut Buddhis untuk bekerja untuk kesetaraan jender dan dunia yang lebih baik.

Tulisan ini seharusnya dipaparkan dalam International Committee for the United Nations Day of Vesak, tanggal 8 Mei 2014, yang mengangkat tema “Perspektif Buddhis terhadap Mencapai Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium PBB.” Namun, pemaparan itu dibatalkan oleh pihak penyelenggara beberapa saat sebelum presentasi tanpa cukup penjelasan dan sejak itu telah mendapatkan banyak respon dari Buddhis di seluruh dunia.



 *   *   *   *

Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Wanita dalam Buddhisme Theravada


Oleh Ajahn Brahm

Ajahn Brahm
Pada tanggal 1 Desember 1955, di Montgomery Alabama, seorang wanita Afrika-Amerika menolak untuk mengikuti perintah seorang supir bus untuk memberikan tempat duduknya kepada seorang penumpang kulit putih. Tindakan penentangan sederhana untuk tujuan keadilan sosial ini menjadi salah satu dari beberapa simbol penting dalam Gerakan Hak Asasi Manusia modern di Amerika Serikat. Orang itu adalah Rosa Parks. Kongres Amerika Serikat memberikannya julukan “perempuan hak asasi manusia pertama” dan “bunda pergerakan kebebasan”. Tanggal 1 Desember dirayakan di Negara Bagian California dan Ohio sebagai “Hari Rosa Parks”. Rosa Parks menjadi seorang Buddhis sebelum ia meninggal pada tahun 2005 di usia 92. Kita bisa berspekulasi bahwa ikon perempuan terhadap diskriminasi ini memilih Buddhisme karena Buddhisme sangat sesuai untuk memajukan isu-isu keadilan sosial. 

Di tulisan ini, saya akan mendiskusikan bagaimana Buddhisme mungkin memajukan isu keadilan sosial khusus dalam Tujuan Pembangunan Milenium Ketiga: Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Perempuan (Millennium Development Goal No. 3: Gender Equality and the Empowerment of Women). Saya juga akan berfokus pada perlunya bagi kepemimpinan laki-laki Theravada Buddhisme saat ini untuk dengan jelas mendemonstrasikan menunjukkan komitmennya sendiri pada MGD 3 dengan menerima penahbisan (ordinasi) bhikkhuni. Hanya dengan begitulah cara itulah ia dapat menggunakan pengaruh besarnya untuk membuat dunia kita menjadi lebih adil, di mana orang-orang dinilai berdasarkan karakternya dan bukan berdasarkan jendernya. 

Monday, June 9, 2014

Kematian yang Intim

Leila Bazzani

Waktu kematian: 09:21 pada 19 Januari 2014, hanya dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-69. Ibuku membesarkan dua anak yang cantik, adalah istri dari seorang pria yang paling manis dan lembut yang pernah saya kenal, dan di kalangan banyak teman ia juga terkenal jujur dan baik hati. Dia hidup dengan penuh pengalaman selama 68 tahun dan melakukan perjalanan jauh, baik di dalam maupun luar batin. Dan, dia juga punya kehidupan yang susah—diisi dengan banyak hari-hari sepi dan impian yang tak terpenuhi. Berkata jujur tentang orang, baik yang hidup maupun mati, adalah hal yang baik.

Saya percaya rasa tak-nyamannya mulai ada saat dia masih sangat muda, ketika ibunya meninggal di bangsal bersalin di Glouster, Massachusetts di mana dia dibesarkan. Dia bercerita bahwa tidak seorangpun di keluarganya mendatanginya dan menceritakan apa yang telah terjadi, bahwa dia harus mencari tahu banyak hal sendiri saat itu. Jadi dia meratapi kehilangannya sebagai anak lima tahun tanpa bimbingan atau penjelasan, meratap sebisa mungkin.

Monday, June 2, 2014

Melepas: Sebuah refleksi oleh Ajahn Candasirī

Ajahn Candasirī

Berjalan di Dunruchan Stone, Perthshire,
Scotland
Hidup ini tidak pasti. Refleksi inilah yang mendorong Siddhartha Gotama, seorang pangeran muda, untuk meninggalkan perlindungan semu keluarga dan istananya di mana ia dibesarkan untuk mencari keamanan dan kedamaian batin yang lebih handal. Banyak orang mungkin merasa apa yang ia temukan selama pencarian itu lebih mengejutkan lagi.

Ia melepaskan posisinya, relasinya, dan kenyamanan materinya, dan membuat upaya begitu besar untuk menundukkan dorongan nafsu keinginan, semua dalam upaya untuk menemukan ketenangan pikiran—hanya untuk menemukan bahwa pikiran pun bukan 'miliknya' sama sekali! Setelah enam tahun berusaha keras, ketika ia mencapai pemahaman itu, yang tersisa adalah kedamaian yang tak tergoyahkan. Dia tidak lagi memiliki apapun yang perlu dikhawatirkan atau dilindungi. Tidak ada lagi alasan untuk menganggap dirinya sebagai diri dengan 'kepribadian' yang harus dipertahankan berapapun juga harganya. Ia bebas.

Menghargai kemungkinan kita masing-masing untuk menemukan dan mengetahui hal ini untuk diri kita sendiri sangat menarik bagi saya dan melihatnya secara sepintas—meskipun sekilas—adalah sesuatu yang membuat saya tetap berjalan di jalan ini. Kejadian eksternal dapat terjadi tiba-tiba, mengganggu, dan dramatis; dapat juga tragis dan membingungkan. Mereka juga memberikan peringatan keras, dan dapat membantu kita untuk menyadari kerapuhan 'dunia kita'; mereka dapat menjadi dorongan untuk terus mencondongkan kita menuju keadaan stabilitas batin. Pertanyaan-pertanyaan muncul: "Tapi bagaimanakah cara kita melakukannya?”, “Bagaimana cara kita dapat mencapai keadaan itu untuk diri kita sendiri?”.

Monday, May 26, 2014

Duduk, Bubu, Ayo Duduk

Sakula Mary Reinard

Photo oleh Jennagu
Salah satu hal yang saya sadari ketika pertama kali mencoba meditasi (seperti banyak orang lain) adalah pikiran mengoceh tanpa henti. Saya sangat terkejut dan kecewa pada bagaimana pikiran biasa, perasaan, atau sensasi bisa berhembus melalui pikiran saya dan tanpa ragu menggoda perhatian saya melalui bukit dan lembah, dan saya bertanya-tanya apakah pikiran dapat dilatih untuk duduk diam dan rileks?

Saya telah mempraktekkan meditasi sejak 1996, selama 18 tahun. Di tahun pertama latihan saya (saya tidak ingat siapa guru pada waktu itu) saya mengikuti petunjuk meditasi terpimpin yang menggunakan gambaran yang masih saya gunakan hingga hari ini. Gambar ini sungguh berhasil saat itu karena ia mendorong suatu sikap yang teguh, namun lembut—yang berlawanan dengan pikiran saya yang terbiasa menghakimi. Ini masih bekerja untuk saya karena latihan saya belum selesai. Saya akan melatih dengan cara ini...

Monday, May 19, 2014

Kontribusi Wanita Pada Buddhisme

Nona Sarana Olivia

Kelahiran Buddha, Pakistan (Gandhara) Abad ke-2 setelah masehi

Jurnal berjudul Sati Journal adalah publikasi oleh Sati Center for Buddhist Studies [di Amerika Serikat]. Pusat ini mendukung studi ajaran-ajaran Buddhis dengan perspektif yang menyeimbangi penyelidikan ilmiah dengan praktek meditasi serius. Dengan keyakinan bahwa studi dan praktik bekerja bersamaan dalam memperdalam latihan seseorang dan menunjang pencerahan, tujuan Sati Center adalah untuk membantu para peserta mengekslorasi teks-teks Buddhis asli dan mengapresiasi kekayaan tradisi dan ordo.

Pada musim gugur tahun 2011, saya sangat gembira ketika Gil Fronsdal dan Jeff Hardin meminta saya untuk menjadi editor tamu untuk satu edisi yang didedikasikan untuk para wanita di Buddhisme. Berikut ini adalah sinopsis dari pendahuluan di edisi ini. Dalam memilih tulisan [untuk dimuat], saya memutuskan untuk melakukan pendekatan pada topik wanita Buddhis melalui lensa tiga tema yang saling berhubungan: cendikia Buddhis zaman dulu, representasi simbolis tentang jender, dan pemimpin-pemimpin kontemporer yang penuh inspirasi. Edisi ini memuat esai-esai oleh Rita Gross, Noa Ronkin, Dawn Neal, Jetsunma Tenzin Palmo, Ajahn Amaro, dan Bhikkhu Analayo.

Monday, May 12, 2014

Jalan Tengah Buddha Menuju Pengetahuan: Menjembatani Sains & Spiritualitas

Susmita Barua

Semua pengetahuan sains itu provisional. Segala yang “diketahui” oleh sains, bahkan fakta-fakta paling umum dan teori-teori yang telah lama ada, tetap terpapar pada studi ulang ketika informasi-informasi baru muncul.
—editorial Scientific American, Desember 2002

Kebanyakan pendidikan kontemporer kita didominasi oleh pandangan dunia sains materialistik Barat. Pandangan dunia ini menjadi landasan orientasi kognitif perorangan, kelompok, ataupun masyarakat. Pandangan dunia ini melingkupi seluruh pengetahuan masyarakat dan sudut pandang masyarakat termasuk filosofi alam, Dhamma, etika, dan tata krama. Pandangan dunia berkembang dalam konteks bahasa, kultur, dan niaga. Ia mengkondisikan pola pikir umum, model mental, persepsi, dan kebiasaan manusia dalam membuat pilihan. 


Oleh karena itu, menamai jalan kuno yang ditemukan oleh Buddha yang telah memutar Roda Dhamma sebagai Jalan Tengah menjadi penting maknanya. Jalan yang moderat dan bijaksana ini Jalan Mulia Berunsur Delapan: “Menghindari kedua ekstrim [dari pemanjaan-diri dan dari penolakan-diri, dan dari segalanya-ada dan segalanya-tak-ada]. Jalan Tengah yang diketahui oleh Tathagata—menghasilkan visi dan pengetahuan—mengantar pada ketenangan, pada pengetahuan melalui pengalaman sendiri, pada pengertian langsung [melalui pengalaman sendiri], pada pencerahan diri, pada ketidakmelekatan.”(1) Tulisan ini mengadvokasi pandangan bahwa Jalan Tengah dapat ditemukan kembali saat ini sebagai jalan menuju pengetahuan yang dapat menjembatani jurang antara pandangan sains material and sains spiritual. 

Monday, May 5, 2014

Bagaimana Kami Tampil : Bercerita, Membangun Pergerakan, dan Kesunyataan Mulia Pertama

Mushim Ikeda

Proyek Keterlibatan Komunitas yang didirikan oleh Yemi Olu berusaha untuk membawa perubahan di dunia
dengan menjangkau orang-orang. Mereka mengumpulkan kisah-kisah di luar Chinatown Metro di DC.
Foto oleh Victoria Pickering.

Bagi saya, sering ada potongan gambar (puzzle) yang penting hilang dalam dialog-dialog Buddhis yang terlibat secara sosial, dalam kedua dialog baik tatap muka maupun terutama secara online saat dimana kita menyuarakan pendapat kita. Sekarang ini saya sangat merasakan bahwa ada penderitaan yang rupanya tak terlihat dikarenakan oleh linearitas dan ketidak-berwujudan di forum-forum aktivis online,  dan saya bertanya-tanya adakah strategi-strategi pengaturan dan metode-metode pembangunan – gerakan yang dapat menyikapinya. Bagaimana kita bisa saling  melihat, mendengar dan merasakan satu sama lain dengan lebih jelas dikala kita berusaha mencari tahu bagaimana memulai gerakan perubahan sistematis dalam kekuasaan dan dominasi  sistem global yang rumit? Jadi  bagaimana kita tampil dan berhadapan satu sama lain ketika kita mengekspresikan pandangan-pandangan kita? Adakah waktu dan ruang serta dukungan untuk pilin mendongeng dan berbagi?

Monday, April 28, 2014

Kontemplatif Awam Menjalani Hidup Seperti Monastik di Tengah Kehidupan Urban Aktif

Tuere Sala

Kiri ke kanan: Ruby Phillips, Devin Berry, Joan Lohman and Jenn Biehn

Seorang “kontemplatif”, dalam Buddhisme tradisional, adalah seseorang yang meninggalkan kehidupan awam untuk menjadi seorang monastik [anggota Sangha]--pengelana yang meninggalkan kehidupan perumah tangga[i] untuk menjalani kehidupan suci tanpa rumah[ii]. Cara hidup komunitas monastik berbeda dari komunitas awam, tetapi ada hubungan simbiosis diantara keduanya dimana satu tak akan dapat berlangsung tanpa yang lainnya.

Namun di Barat, Buddhisme Theravada tetaplah latihan yang, secara umum, berorientasi pada umat awam, terutama yang berkegiatan di pusat-pusat Dharma dan pusat-pusat retret jangka pendek/panjang[iii]. Tak terlihat aspek-aspek religius yang identik dengan Buddhisme tradisional dalam praktek orang-orang non-Asia di Barat. Beberapa orang Barat memasuki kehidupan monastik tradisional, namun kebanyakan mempraktekkan Buddhisme sebagai filosofi sekuler, sebagai cara hidup, sebagai latihan spiritual, bahkan sebagai terapi penyembuhan.[iv]

Monday, April 21, 2014

Makan dengan Waspada, Sesendok Demi Sesendok

Judith Toy

Foto oleh  Jamain
Makan dengan kewaspadaan perlu latihan. Awalnya terasa seperti terpaksa, namun anda harus akui bahwa makanan terasa lebih lezat daripada sebelumnya ketika anda meletakkan garpu anda dan mengunyah setiap suapan 30 kali atau lebih, atau hingga makanan itu menjadi “lembut,” sambil memikirkan apa yang anda kunyah, menamainya—misalnya, kacang hijau.

Anda membayangkan kacang itu dulunya adalah benih yang ditanam di tanah hangat, kemudian tunas dan daun muncul berlilitan, kemudian bunga kecil seperti anggrek dengan empat kelopak, atau mekaran kelopak putih berbentuk bintang-lima dengan tengah kuning, tergantung jenis kacang itu. Anda membayangkan gambaran mental tentang sinar mentari yang jatuh pada bunga itu, bagaimana bunga itu memutar wajahnya menghadap ke cahaya, mengintip dari balik kehijauannya. Kemudian dengan perlahan dan ajaib terjadi transformasi dari bunga menjadi polong putih kecil yang berubah menjadi hijau sembari mengembang dan tumbuh di bawah sinar hangat dan siraman hujan. Dalam kacang ini, kosmos hadir.

Monday, April 14, 2014

Bertemu Biarawati-biarawati dari Zanskar

Dominique Butet
Fotografi oleh Olivier Adam
Untuk membaca versi original dalam bahasa Perancis (dengan foto-foto), klik disini.


Zanskar, yang terletak di ujung barat laut India di propinsi Jammu dan Kashmir, adalah suatu lembah yang terisolasi di ketinggian lebih dari 3.900 meter. Daerah itu adalah salah satu daerah ketinggian tertinggi yang berpenghuni di Himalaya. Di sana, di tengah panasnya musim panas di jalan-jalan yang berangin dan berdebu, tidaklah aneh untuk bertemu dengan lambaian riang kain-kain merah, ditutupi topi jingga berbahan felt— dan juga para biarawati berlalu-lalang! Banyak biara-biara perempuan yang telah didirikan di sana, bertengger tinggi di lembah.

Saat ini, Zanskar memiliki sepuluh biara perempuan, sembilan diantaranya bernaung pada ordo Gelugpa. Beberapa, seperti Karsha dan Dorje Dzong, terletak dekat Padum, yang merupakan ibukota wilayah, sementara lainnya seperti Pishu lebih terisolasi. Beberapa didiami hingga 20 biarawati, sementara lainnya didiami tujuh atau delapan. Beberapa punya sekolah, yang lainnya tidak—atau belum. Di musim dingin, ketika semua pipa membeku, para biarawati berjalan jauh ke sungai untuk mengambil air, memecahkan es dan kemudian mendaki lagi dengan cepat untuk mendapatkan perlindungan di kamar-kamar di mana atap-atapnya tidak begitu terinsulasi sehingga salju dan dingin meresap masuk. Tetapi adalah isolasi mendalam itulah yang seseorang perlukan untuk bertahan hidup, suatu isolasi yang hanya ritual-ritual panjang yang dapat melampauinya. Namun, semuanya memiliki tekad tanpa-kompromi untuk terus dan berkembang, mengaduk semangat spiritual dengan rasa kehidupan kolektif yang luar biasa dimana semua [orang] dari berbagai usia hidup bersama, dari usia sembilan hingga lebih dari 84 tahun!

Monday, April 7, 2014

Teror di Dalam Diri

Zenju Earthlyn Manuel


Sebagai seorang gadis kecil berusia 10 tahun, dengan pita satin di rambut dan mengenakan gaun yang baru dikanji, saya memiliki tempat duduk khusus di gereja setiap minggu, yaitu di sebelah ayah saya, Lawrence Manuel Jr. Bersama adik perempuan saya dan ibu saya di sisi lainnya, saya duduk berdempetan dengan ayah saya sambil mengapresiasi hubungan spesial kami di seputar kata Tuhan. Pada Sabtu malam, di tengah hiruk pikuk kota Los Angeles dimana saya lahir dan dibesarkan, saya akan membacakan ayah saya pelajaran sekolah minggunya. Saat saya membacanya, beliau membuat simbol-simbolnya sendiri di pinggiran kertas yang merepresentasikan bunyi suara itu. Beliau melakukan ini karena ia buta huruf. Sebagai anak seorang petani penyewa lahan yang lahir pada tahun 1898 di Opelousas, Louisina, beliau hanya berbicara bahasa Creole, sehingga bahasa Inggrisnya sulit dimengerti. Meskipun beliau tidak dapat membaca, ia tidak membiarkan hal tersebut menjadi penghalang untuk berpartisipasi di sekolah minggu. Dengan simbol-simbol yang beliau kembangkan sendiri, ia akan “membaca” sebagian pelajaran itu di kelas yang terdiri dari pria-pria berkulit hitam yang lebih tua. Saya tidak akan pernah sebegitu berani untuk melakukan hal seperti itu. Tetapi ayah saya adalah pria yang berbakat dan pemberani; dibesarkan di daerah terpencil, beliau belajar untuk melakukan apapun untuk bertahan hidup. Beliau adalah apa yang saya sebut sebagai “tanpa rasa takut”, dan, ketika saya duduk di sampingnya di gereja, saya berdoa untuk menjadi pemberani seperti beliau.

Monday, March 31, 2014

Pembangun Jembatan: Wawancara dengan Gloria Taraniya Ambrosia

Barre Center for Buddhist Studies
Saya akan mulai dengan pertanyaan kentara, Taraniya: Bagaimana anda mulai terlibat dalam semua ini? 
Sepanjang ingatan saya, saya selalu tertarik dengan apa yang kita sebut jalan spiritual. Hal itu terwujud dalam banyak bentuk di tahun-tahun awal keterlibatan saya, tetapi saya dapat memberitahu anda apa yang mengarahkan minat saya pada Buddhisme dan bagaimana saya awalnya berhadapan dengannya.

Saat berusia dua puluhan tahun dan awal tiga puluhan tahun, saya tertarik untuk melakukan perubahan melalui sistem politik, sosial dan ekonomi. Saya ingin bekerja di bidang yang membantu orang-orang dalam secara positif. Di usia awal tiga puluhan, saya bahkan kembali bersekolah untuk mengambil gelar master dalam bidang administrasi publik dan segera setelah itu bekerja bagi penasehat pemerintah di bidang Sains di Carolina Utara.  Saya tertarik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan posisi ini menawarkan sesuatu yang berhubungan dengan sains serta kebijakan publik. Melalui kantor ini dan agensi lainnya, yang merupakan perpanjangan dari kantor kami, saya bekerja untuk mempromosikan bioteknologi sebagai suatu teknologi baru bagi Carolina Utara.

Thursday, March 27, 2014

Undangan Menulis Jurnal: Konferensi Internasional Sakyadhita ke-14


14th Sakyadhita International
Conference on Buddhist Women
Yogyakarta, Indonesia
23-30 Juni, 2015

"Compassion and Social Justice"

Para wanita Buddhis telah membuat banyak kontribusi bagi kehidupan spiritual dan sosial di dalam masyarakat mereka. Akan tetapi, wanita Buddhis seringkali dikucilkan dari proses-proses yang membentuk komunitas mereka, seperti negosiasi antara pemerintah, mahasiswa, pemimpin agama, dan struktur sosial. Pengambil keputusan dan gerakan keadilan sosial mungkin belum terbiasa dengan kontribusi wanita Buddhis, sedangkan wanita Buddhis mungkin tetap terlepas dari isu-isu besar yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Konferensi Sakyadhita ke-14 akan menjadi suatu kesempatan dialog dalam menciptakan hubungan yang lebih baik dan mengeksplorasi bagaimana kasih sayang dan pengembangan spiritual dapat membantu membentuk dunia yang lebih adil dan damai.

Proposal yang diterima untuk panel presentasi dan lokakarya tentang topik-topik ini (tercantum disini) berhubungan dengan wanita dan agama Buddha. 



  • Proposal (250-500 kata) dikirimkan paling lambat tanggal 15 April 2014.
  • Proposal yang diterima akan diumumkan pada tanggal 15 Mei 2014.
  • Jurnal akhir (maksimum 2500 kata) diterima paling lambat tanggal 15 Juni 2014, untuk diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Proposal yang dikirimkan harus menyertakan nama pengirim, institusi keanggotaan, dan informasi kontak. Seluruh proposal dan jurnal merupakan karya asli yang tidak pernah diterbitkan oleh penulis.

Untuk informasi selanjutnya, silahkan klik link ini

Monday, March 24, 2014

Sangha adalah Kata Kerja: Membudayakan Praktek Relasional untuk Memupuk Inklusivitas

Sebene Selassie 

Belakangan ini, ada perhatian, diskusi — dan kontroversi — di sangha konversi US tentang tentang keanekaragaman di masyarakat kita. Kebanyakan anggota sangha terdiri dari masyarakat berkulit putih, kelas menengah dan menengah-ke-atas dan mereka mengakui adanya aspirasi untuk menjadi lebih beragam, tetapi adalah sebuah tantangan untuk bagaimana mengaktualisasikannya di kota-kota di mana terjadi segregasi rasial, ekonomi, dan budaya. Harapan bahwa komunitas-komunitas kita untuk mencerminkan kekayaan negara dan dunia kita adalah bagian dari upaya mulia untuk mewujudkan cinta kasih sepenuhnya. Selama dharma berkembang dalam masyarakat multicultural kita, kita memiliki kesempatan — bahkan kewajiban — untuk memahami dan mengubah pemisahan yang terus berlangsung dalam identitas relatif ini.

Monday, March 17, 2014

Membangkitkan Para Wanita Buddhis, Sekarang

Karma Lekshe Tsomo

Upacara pembukaan pada the 13th Sakyadhita International Conference on Buddhist Women
Satu tahun membawa perbedaan apa! Tak pernah dalam sejarah dunia tercatat adanya blog wanita Buddhis dan inilah dia! Hingga hari ini, 33.831 orang telah mengunjungi blog Awakening Buddhist Women. Siapa sangka wanita-wanita Buddhis bisa menciptakan kehebohan seperti ini? Tidak hanya jumlah yang mengesankan, tapi juga keragaman post di blog ini—penulisnya, pembacanya, dan isinya–sungguh mengagumkan. Spektrum luas topik, perspektif, dan kultur yang ditulis oleh para wanita dari beragam latar belakang—cendikia, praktisi, cendikia/praktisi, aktivis, seniman, ibu, dan biarawati–blog Awakening Buddhist Women telah menjadi salah satu fenomena kontemporer yang seru di dalam Buddhisme lintas negara.

Monday, March 10, 2014

Tidak Ada Selfie

Jenna Vondrasek

Jenna Vondrasek di Big Sur, California - tempat yang paling disukainya di dunia

Potret diri sendiri, yang pernah dianggap sebagai representasi dari suatu karya seni, telah berevolusi menjadi konsep terobosan baru: selfie [mengambil foto diri sendiri]. Selfie menjadi sangat populer dengan adanya teknologi ponsel pintar. Mengambil selfie melibatkan membalik kamera dan mengambil foto diri kita sendiri–sering kali dengan posisi yang membuat kita terlihat lebih menarik. Bertambahnya jumlah selfie dengan pesat dan memenuhi media sosial seperti Facebook dan Instagram, kita harus mempertanyakan alasan di balik kehebohan ini. Kepentingan dasar dari suatu selfie mengkomunikasikan pengenalan diri dan identitas dan juga rasa berlebih-lebihan dan obsesi terhadap diri.

Monday, March 3, 2014

Mempelajari Penahbisan Para Biksuni: Bagaimana Monastik di Akademi Bisa Membawa Perubahan di Dunia Nyata

Raymond Lam

Raymond Lam (kiri) dengan Tam Po Shek, musisi dan kaligrafer dari China
Di beberapa komunitas Buddhis, penghargaan kepada mereka yang memperoleh gelar di bidang studi Buddhis semakin tinggi. Para biksu dan biksuni yang memperoleh gelar PhD dalam bidang penelitian mereka (dan jumlahnya terus bertambah) secara khusus disambut. Studi akademis merupakan suatu perubahan sosio-ekonomi luar biasa di dalam dunia Buddhis, terutama karena gagasan mengenai Buddhologi adalah fenomena baru yang dimulai tidak lebih daripada tahun 1800-an (ketika Indologi dan studi oriental menjadi populer di universitas-universitas). Bagi Yang Mulia Analayo dari Pusat Studi Buddhis Numata di Universitas Hamburg, para siswa akan selalu mengemban tugas untuk membuat informasi akademik lebih mudah diakses oleh masyarakat luas. Jika panggilan dasar ini bisa dipenuhi, manfaat dari pendekatan intelektual yang cermat terhadap Buddhisme ini akan sangat besar.

Monday, February 24, 2014

Zen dan Dunia Nyata

Kanja Odland Roshi

Tidak ada yang dapat dipastikan saat mempraktikkan Zen. Oke, saya hampir dapat menjamin jika Anda melakukan zazen (meditasi yang merupakan pondasi dalam Zen), terkadang anda akan merasa sakit di kaki, dan sangat mungkin anda akan merasa mengantuk saat melakukannya di pagi hari; ada momen-momen keputusasaan dan momen-momen mudah dan bahagia. Ada banyak kemungkinan, tetapi untungnya tidak ada yang pasti selain ini: jika praktek ini bergema dengan anda, anda tidak dapat melarikan diri dan pikiran anda mencari penyatuan dengan segalanya. Seluruh keberadaan anda berpindah menuju area tak-tersekat, dan terdapat daya tarik mutlak dalam menyelami realita tersebut. Mengutip balapan cybernetic dalam film Star Trek yang disebut Borg, “Perlawanan adalah sia-sia; anda akan berasimilasi.” Menurut beberapa orang, ide “penyatuan” adalah ide romantis pada jaman New Age (Era Baru) atau sesuatu yang begitu alami sehingga kita tidak perlu melakukan apapun selain berada begitu saja.

Bukankah lebih baik menggunakan waktu melakukan sesuatu yang menghasilkan dalam dunia nyata daripada membuang waktu dalam meditasi? “Beberapa orang mengatakan, “Pergi dan membantu sesama dalam dunia nyata,” Atau,” Jangan hanya duduk—lakukanlah sesuatu!“ Namun dalam Zen kami menemukan pendekatan berbeda. Guru pertama saya, Philip Kapleau, memakai topi baseball yang berbunyi,” Jangan hanya melakukan sesuatu—duduk di sini!”

Monday, February 17, 2014

Jalan Sepi: Seorang Biarawati Menggali Relungnya Sendiri di Daerah Kumuh di India

Ayya Yeshe Bodhicitta

Ayya Yeshe

Saya menemukan Buddhisme di India pada usia 17 tahun dalam perjalanan hippie mencari makna kehidupan. Saat saya 14 tahun, papa meninggal, membuat saya jadi depresi berat. Saya meninggalkan rumah di usia 15, dengan pemikiran bahwa pasti ada sesuatu di kehidupan yang melebihi membayar cicilan rumah sepanjang hidup saya.

Saya jatuh cinta pada Buddhisme Tibet karena secara intelektual Buddhisme Tibet meyakinkan saya tentang kebenaran hidup. Kebenaran-kebenaran Dharma adalah berdasarkan kenyataan dan untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menemukan kebahagiaan yang membuka hati saya dan mendalam. Setelah melakukan “meditasi tentang kebaikan hati ibu”, jelas bagi saya bahwa tujuan hidup saya adalah berlatih untuk pencerahan dan bekerja untuk kebaikan bagi semua makhluk, dan hal-hal lain—kepemilikan dan kekuasaan—tak berarti apapun. Saya menyaksikan betapa majunya masyarakat saya, tapi begitu sedikit kebahagiaan yang kami punya, tidak punya waktu dan terjebak di jala kompleksitas dan konsumerisme kami sendiri. Saya juga menyadari dari pengalaman bahwa hubungan yang indah tidaklah stabil.

Monday, February 10, 2014

Wawancara Wanita Buddhis: Miskaman Rujavichai

Brooke Schedneck

Miskaman Rujavichai di Wat Pa Baan Taad

Miskaman Rujavichai adalah murid bikkhu Thailand terkenal, almarhum Luang Ta Maha Boowa [1] (1913-2011). Sejak tahun 1982, Miskaman tinggal di biara Wat Pa Baan Taad [Biara Hutan Baan Taad], yang didirikan oleh dan di mana Luang Ta Maha Boowa adalah kepala biara selama bertahun-tahun. Saya bertemu Miskaman saat melakukan riset untuk disertasi saya tentang komunitas meditasi internasional di Thailand. Di biara tersebut, satu grup internasional akan bertemu seminggu sekali untuk mendengarkan ceramah Dhamma dari bhikkhu-bhikkhu yang berbahasa Inggris. Miskaman adalah salah satu wajah ramah di grup ini yang membantu para pengunjung internasional. Saya membuat website penelitian yang dinamai Wandering Dhamma untuk hasil temuan saya, dan Miskaman terus berhubungan dengan mengomentari situs dan mengirimkan email ketika ada perkembangan baru di kelompok internasional di Wat Pa Baan Taad. Aku meminta Miskaman untuk bercerita lebih banyak tentang kenangannya dari Luang Ta Maha Boowa dan bagaimana ia datang untuk tinggal di biara itu. Pada awalnya dia tidak ingin mengungkapkan informasi ini, menyebutkan wanita-wanita lain ia dianggap sebagai praktisi-praktisi yang lebih baik. Aku akhirnya berhasil meyakinkannya bahwa ceritanya menarik bagi pembaca blog Sakyadhita.

Monday, February 3, 2014

Urusan di Balik Jubah Perca

Ryūmon Hilda Gutiérrez Baldoquín Sensei


Hari ini saya jalan-jalan sore di jalan yang dinamai Cemetery Road (Jalan Kuburan). Jalan ini tidak panjang—hanya seperempat mil [sekitar 400 meter]. Jika anda jalan ke arah utara, jalannya meliuk ke kanan, menurun ke  South Road, jalan utama yang memotong pusat kota. Jalan Kuburan berakhir di sana dan bertemu South Road, dimana jalan ini lagi-lagi meliuk naik sepanjang sekitar 600 meter, seperti tanpa kurung yang menghadap ke atas, atau sebuah senyum. Di kota kecil dan sangat pedesaan di New England ini—tanpa lampu jalan, tanpa kantor pos, salah satu dari 18 kota-kota kering di Commonwealth—dimana saya tinggal empat tahun belakangan ini, sangat umum ditemukan jalan seperti ini.

Kota ini adalah “komunitas berhak-untuk-bertani dan ada hukum hak-untuk-bertani yang berlaku,” seru pengumuman di Kantor Pajak di kota itu. Saya tidak pernah merasa diri sendiri seorang petani, karena berasal dari silsilah keturunan pembantu, pembuat roti, juru masak, buruh, pekerja bangunan, petugas pom bensin, pemiliki kios, penjahit, dan ahli kecantikan. Namun, dengan tinggal di sana, saya merasakan kebahagiaan dan kepuasan mendalam bahwa tiga gundukan kebun sayuran—berukuran 1,8 meter kali satu meter—dan kebun herbal kecil yang pasangan saya dan saya tanam setiap musim semi adalah bagian konstelasi manusia yang menghargai, merawat, dan bekerja dengan bumi yang telah berlangsung ribuan tahun, bukan hanya suatu tren urban.

Monday, January 27, 2014

Refleksi Seorang Bhikkhuni Hutan

Ayya Anandabodhi

Photo: Bellah lewat Compfight cc
Di budaya Barat, kita terkondisi sejak usia dini untuk menganggap diri kita sebagai manusia individu terpisah, yang unik, dan berbeda dari yang lain. Tentunya ini ada benarnya, tetapi seiring dengan keunikan dan individualitas kita ada pula keterhubungankita sepenuhnya dengan semua mahkluk dan semua hal di planet ini. Ini adalah suatu lompatan besar.

Setiap kali kita mengambil napas, kita berbagi nafas itu dengan setiap bentuk kehidupan lain yang bernafas! Sementara kita menghirup oksigen dan membuang nafas berisi karbon dioksida, pohon dan tumbuhan lainnya menyerap karbon dioksida yang dihasilkan dan mengeluarkan oksigen.

Ini adalah suatu simbiosis yang indah, tapi selama kita menganggap diri kita sebagai menjadi satu-satunya yang benar-benar relevan, kita sudah mengganggu keseimbangan itu.
Setelah menebang begitu banyak pohon di planet yang indah ini untuk keuntungan jangka pendek, kita menemukan diri kita tidak hanya kehilangan keagungan dan keragaman hutan, tapi kita menemukan diri kita dalam keraguan apakah akan ada udara yang tersisa untuk bernapas.

Thursday, January 23, 2014

Mengingatkan: Kursus online jarak jauh (E-learning) Penahbisan Para Bhiksuni


Tandai kalender anda! Universitas Hamburg's Numata Center for Buddhist Studies dan the Women in Buddhism Study Initiative membuka kelas e-learning online tentang Perspektif terhadap Penahbisan Para Bhikkhuni, Semester musim panas 2014.

Pendaftaran dimulai pada tanggal 1 Februari 2014


Kelas ini bertujuan untuk memberikan penelitian akademis terhadap pertanyaan hukum, berdasarkan studi materi Vinaya yang relevan, didukung dengan survei regional terbaru tentang situasi biarawati-biarawati dalam tradisi Theravada dan Mulasarvastivada.

Silahkan kunjungi link ini untuk informasi lebih lengkap tentang kelas ini.

Monday, January 20, 2014

Kewaspadaan dalam Buddhisme Modern: Pendekatan dan Pengertian Baru

Tamara Ditrich



Pendahuluan 
Meditasi kewaspadaan (sati dalam bahasa Pāli; smṛti dalam bahasa Sansekerta) adalah satu dari metode meditasi utama yang memainkan peranan menonjol dalam banyak praktek meditasi Buddhis tradisional dan modern. Penyebaran teknik-teknik meditasi Buddhis akhir-akhir ini di seluruh dunia telah memudahkan pengenalan akan [meditasi]  kewaspadaan ke dalam berbagai lingkungan baru, baik dalam peran tradisionalnya juga dalam peran barunya: sebagai suatu jalan menuju pembebasan spiritual dan pencerahan, sebagai suatu perangkat terapi, sebagai suatu teknik relaksasi dalam industri kesehatan, dll.

Walaupun Buddhisme modern, setidaknya hingga titik tertentu, telah mempertahankan aspek etis dan soteriologicalnya dalam praktek kewaspadaan, ada penekanan yang berkembang pada fungsi psikoterapisnya. Artikel ini menelusuri interpretasi baru mengenai kewaspadaan yang telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir ini dalam cara-ara radikal dalam  praktek radikal, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Buddhisme. 

Monday, January 13, 2014

Mengapung di Tengah Penderitaan

Jacqueline Kramer

Topan menghancurkan kota dan membunuh ribuan orang di Filipina, Haiti yang telah terkepung kesengsaraan mengalami kehancuran parah, ribuan pria, wanita dan anak-anak mengungsi dari rumah mereka di Suriah, anak-anak di Sudan diperbudak sebagai tentara dan pelacur—penderitaan tersebar luas di berbagai belahan dunia—pembunuhan antar ras, perampasan tanah, pemerkosaan dan bencana alam —sejak mulai berjalannya waktu.

Tetapi dulu manusia tidak terekspos pada penderitaan orang lain di luar komunitas kita sendiri sebanyak yang kita sekarang. Apakah hati kita manusia dirancang untuk menampung kesadaran akan penderitaan yang luas dan konstan yang dipasok setiap hari di dunia kita yang terhubung-berita? Apa yang manusia yang berhati harus lakukan? Kita tidak ingin menutup pintu hati kita. Kalaupun mungkin menutup pintu itu, hati kita sepertinya merembes melalui celah-celah sistem kontrol kita. Jika kita menutup rasa sakit, kita juga menutup kegembiraan. Hati yang tertutup tak peka terhadap perasaan. Namun tetap saja, kita tidak ingin terbenam oleh kesedihan. Kita tidak berguna bagi diri kita sendiri atau orang lain ketika kita dilumpuhkan kesedihan.

Monday, January 6, 2014

Kado Feminim Kudus

Bhikkhuni Santacitta



Prinsip-prinsip feminim dan maskulin adalah bagian tak terpisah dalam diri kita semua.

Interaksi dari kedua daya ini membentuk hidup sebagaimana yang kita kenali ini dan kita semua membawa kedua energi ini di dalam tubuh kita. Secara umum, tubuh wanita membawa lebih banyak energi feminim dan tubuh pria membawa lebih banyak energi maskulin, tapi ini tidak selalu terjadi dan ada variasi antara satu orang dengan yang lainnya. Namun, jika energi maskulin dan feminim ini tidak seimbang — ketika seseorang mendominasi dengan merugikan yang lainnya — ketidakharmonisan dan penyakit akan muncul.