Monday, May 19, 2014

Kontribusi Wanita Pada Buddhisme

Nona Sarana Olivia

Kelahiran Buddha, Pakistan (Gandhara) Abad ke-2 setelah masehi

Jurnal berjudul Sati Journal adalah publikasi oleh Sati Center for Buddhist Studies [di Amerika Serikat]. Pusat ini mendukung studi ajaran-ajaran Buddhis dengan perspektif yang menyeimbangi penyelidikan ilmiah dengan praktek meditasi serius. Dengan keyakinan bahwa studi dan praktik bekerja bersamaan dalam memperdalam latihan seseorang dan menunjang pencerahan, tujuan Sati Center adalah untuk membantu para peserta mengekslorasi teks-teks Buddhis asli dan mengapresiasi kekayaan tradisi dan ordo.

Pada musim gugur tahun 2011, saya sangat gembira ketika Gil Fronsdal dan Jeff Hardin meminta saya untuk menjadi editor tamu untuk satu edisi yang didedikasikan untuk para wanita di Buddhisme. Berikut ini adalah sinopsis dari pendahuluan di edisi ini. Dalam memilih tulisan [untuk dimuat], saya memutuskan untuk melakukan pendekatan pada topik wanita Buddhis melalui lensa tiga tema yang saling berhubungan: cendikia Buddhis zaman dulu, representasi simbolis tentang jender, dan pemimpin-pemimpin kontemporer yang penuh inspirasi. Edisi ini memuat esai-esai oleh Rita Gross, Noa Ronkin, Dawn Neal, Jetsunma Tenzin Palmo, Ajahn Amaro, dan Bhikkhu Analayo.

Nona Sarana dengan bhikkhuni muda
di Dongyu Gatsal Ling
Saya mendedikasikan edisi Sati Journal ini untuk menghormati ibu dari Buddha historis, Māyā Devī, yang meninggal tujuh hari sesudah melahirkannya. Meskipun kelihatannya ia hanya catatan kaki dalam kitab-kitab tentang sejarah Buddhis, tanpa beliau, Buddhisme tak akan ada. Karena alasan inilah kami memilih gambarnya sebagai sampul volume ini.

* * *

Secara historis dan kultural hingga hari ini, para wanita biasanya adalah perespon pertama pada kebutuhan keluarganya, komunitasnya, dan pekerjaannya. Sangat merendahkan hati melihat para wanita memenuhi segala kebutuhan sehari-hari dan tetap mampu terlibat dalam proyek-proyek kreatif. Relevan dengan tema di edisi ini untuk merefleksi betapa banyak yang dicapai para wanita dan betapa banyak orang yang mereka inspirasi untuk melayani, tak peduli apakah mereka menerima pengakuan untuk upaya mereka atau tidak.

Hingga akhir-akhir ini, siapapun yang menyelidiki sejarah Buddhisme segera menyadari betapa sulitnya mendapatkan informasi tentang hidup dan kontribusi para wanita Buddhis. Meskipun beberapa aliran Buddhisme menjunjung dewi-dewi, atau “divine feminine,” namun murid-murid para guru pria, serta wanita-wanita biasa umumnya terlewati. Hal apa selain kebutuhan hidup sehari-hari yang mungkin telah menutupi kontribusi para wanita pada Buddhisme.

Di Vaishaili dengan Jetsunma Tenzin Palmo
Salah satu faktor adalah karena di dalam banyak kultur, dianggap tak pantas bagi wanita untuk menarik perhatian pada diri sendiri atau pada pencapaian mereka. Orang-orang Buddhis, bahkan yang berlatih kewaspadaan dan welas asih, di masa lalu dan sekarang, cepat-cepat mengkritik wanita (tapi tak selalu pria) yang meminta pengakuan atas pekerjaannya sebagai egoistik dan “menguatkan rasa akan diri”. Cendikia dan praktisi yang menginvestigasi sejarah wanita-wanita dalam Buddhisme menyadari celah ini dan selama beberapa puluh tahun terakhir momentun untuk mempelajari kehidupan wanita-wanita terpandang dalam Buddhisme semakin berkembang.

Khususnya selama lebih dari 30 tahun belakangan ini, ketertarikan dan dukungan pada perjuangan dan pencapaian pada wanita Buddhis meningkat pelan namun pasti. Pada tahun 1970an, cendikia seperti Diana Paul, Nancy Auer Falk, Bhikkhunī Dhammanandā (Chatsumarn Kabilsingh), dan Rita Gross mulai mengupas sejarah wanita-wanita dalam Buddhisme, membangun pondasi metodologi yang digunakan untuk mempelajari orang-orang yang terhapus dari sejarah. Para monastik wanita seperti Ayya Khemā, Karma Lekshe Tsomo, dan Jetsunma Tenzin Palmo mulai menelisik ketidaksetaraan, penghalang-penghalang kultural, dan kondisi hidup para biarawati yang seringkali menyedihkan—penguakan-penguakan yang mendorong peningkatan perhatian dan dukungan. Wanita-wanita Buddhis awam di Barat, terutama Ruth Denison, Sharon Salzburg, Joan Halifax, dan Christina Feldman mengeluarkan upaya mereka dalam mengajar dan mendirikan pusat-pusat latihan masyarakat. Dengan bahagia, wanita-wanita ini telah menginspirasi banyak orang, baik wanita maupun pria. Satu generasi baru wanita-wanita, penuh dengan antusiasme untuk belajar dan mempraktekkan Dharma, menikmati kesempatan-kesempatan yang akan mempertahankan kelangsungan kemajuan-kemajuan penting ini.

Goa Ajanta
Tetap saja, ada beberapa yang menganggap isu-isu jender dan kontribusi wanita dalam Buddhisme tidak penting. Beberapa pencela ini percaya bahwa para Buddhis hanya perlu berfokus hanya pada meditasi dan berargumen bahwa isu jender mengganggu dari tujuan mencapai pencerahan. Kepada para pencela ini, kita dapat merespon dengan menunjukkan apa yang kita pelajaran dari para cendikia dan aktivis hak asasi manusia—bahwa orang-orang yang menikmati hak istimewa, pengakuan, dan dukungan bagi perjalanan mereka seringkali buta pada kebutuhan dan perjuangan orang lain. Dalam edisi ini, Rita Gross membuat satu observasi yang alangkah sederhana: Jika jender bukan satu isu, sebagaimana yang diklaim banyak guru-guru Buddhis, maka tentunya bukan masalah untuk mendiskusikannya.






Link pada PDF untuk seluruh isi jurnal ada di http://www.sati.org/sati-journal/ dengan opsi untuk memesan versi cetak dari Amazon.

Nona Sarana Olivia: Pendeta Buddhis yang Sudah Ditahbiskan


Nona Sarana Olivia memiliki dua anak laki-laki dan dua cucu. Ia telah menjadi murid Buddhisme dan praktisi meditasi selama beberapa puluh tahun, dan ia adalah pendeta Buddhis. Dengan gelar PhD dari Brown University, ia mengajar di berbagai universitas, termasuk yang terakhir di University of Colorado di Boulder. Nona sering diundang untuk memberikan ceramah di area keahliannya yaitu tentang peran wanita di tradisi-tradisi agama kuno. Ia adalah sukarelawan hospis dan editor pro bono bagi penulis-penulis Buddhis. Ia mengkombinasikan kegemaran berpelancong dan mengajar dengan menghabiskan waktu bersama biarawati-biarawati muda di biara Dongyu Gatsal Ling, yang didirikan oleh Jetsunma Tenzin Palmo, dengan mengorganisasi perpustakaan dan memberikan pelatihan sistem keperpustakaan pada mereka.

Photo pertama: Birth of the Buddha. Pakistan (ancient region of Gandhara, probably Takht-i-Bahi), 1987.417.1 in Heilbrunn Timeline of Art History. New York: The Metropolitan Museum of Art,
2000–. http://www.metmuseum.org/toah/works-of-art/1987.417.1. October 2006; OASC, www.metmuseum.org
Photo kedua oleh Nancy Porter; koleksi Nona Sarana Olivia
Photo ketiga oleh Aileen Berry; koleksi Nona Sarana Olivia
Photo keempat oleh Cristina Cesa; koleksi Nona Sarana Olivia

No comments:

Post a Comment