Monday, June 16, 2014

Buddhisme Theravada dan Tujuan Pembangunan Milenium 3: Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Wanita dalam Buddhisme Theravada

Jurnal berikut ditulis oleh Ajahn Brahm untuk menginspirasi para Buddhis untuk berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Milenium PBB, terutama tujuan ketiga “Mempromosi Kesetaraan Jender dan Memberdayakan Wanita.”

Ajahn Brahm menjelaskan bahwa Sang Buddha menempatkan monastik wanita di tempat utama dalam Dhamma, dan mereka telah membuat kontribusi luar biasa untuk Dhamma dan untuk kesejahteraan semua orang. Meskipun ada argumen-argumen yang berbeda pandangan, namun sejarah Buddhisme, prinsip-prinsip Buddhis, dan Vinaya tidak memberikan basis logis apapun untuk menolak legalitas penahbisan bhikkhuni Theravada masa ini. Ajahn Brahm mendorong anggota monastik dan umat untuk membuka mata pada fakta-fakta ini. Ia juga meminta pemimpin-pemimpin agama, terutama pemimpin Buddhis Theravada, untuk memimpin melalui tindakan, mulai dari tradisi agama mereka sendiri sehingga mereka dapat benar-benar menginspirasi pengikut Buddhis untuk bekerja untuk kesetaraan jender dan dunia yang lebih baik.

Tulisan ini seharusnya dipaparkan dalam International Committee for the United Nations Day of Vesak, tanggal 8 Mei 2014, yang mengangkat tema “Perspektif Buddhis terhadap Mencapai Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium PBB.” Namun, pemaparan itu dibatalkan oleh pihak penyelenggara beberapa saat sebelum presentasi tanpa cukup penjelasan dan sejak itu telah mendapatkan banyak respon dari Buddhis di seluruh dunia.



 *   *   *   *

Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Wanita dalam Buddhisme Theravada


Oleh Ajahn Brahm

Ajahn Brahm
Pada tanggal 1 Desember 1955, di Montgomery Alabama, seorang wanita Afrika-Amerika menolak untuk mengikuti perintah seorang supir bus untuk memberikan tempat duduknya kepada seorang penumpang kulit putih. Tindakan penentangan sederhana untuk tujuan keadilan sosial ini menjadi salah satu dari beberapa simbol penting dalam Gerakan Hak Asasi Manusia modern di Amerika Serikat. Orang itu adalah Rosa Parks. Kongres Amerika Serikat memberikannya julukan “perempuan hak asasi manusia pertama” dan “bunda pergerakan kebebasan”. Tanggal 1 Desember dirayakan di Negara Bagian California dan Ohio sebagai “Hari Rosa Parks”. Rosa Parks menjadi seorang Buddhis sebelum ia meninggal pada tahun 2005 di usia 92. Kita bisa berspekulasi bahwa ikon perempuan terhadap diskriminasi ini memilih Buddhisme karena Buddhisme sangat sesuai untuk memajukan isu-isu keadilan sosial. 

Di tulisan ini, saya akan mendiskusikan bagaimana Buddhisme mungkin memajukan isu keadilan sosial khusus dalam Tujuan Pembangunan Milenium Ketiga: Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Perempuan (Millennium Development Goal No. 3: Gender Equality and the Empowerment of Women). Saya juga akan berfokus pada perlunya bagi kepemimpinan laki-laki Theravada Buddhisme saat ini untuk dengan jelas mendemonstrasikan menunjukkan komitmennya sendiri pada MGD 3 dengan menerima penahbisan (ordinasi) bhikkhuni. Hanya dengan begitulah cara itulah ia dapat menggunakan pengaruh besarnya untuk membuat dunia kita menjadi lebih adil, di mana orang-orang dinilai berdasarkan karakternya dan bukan berdasarkan jendernya. 

Kesetaraan Jender di Australia dan Kontribusi Para Pemimpim Buddhis
Dalam sebuah laporan tentang kesetaraan jender yang dipublikasikan oleh Council of Australian Governments pada hari Selasa, 19 November 2013, gaji median wanitaperempuan lulusan universitas di Australia ditemukan 10% lebih rendah daripada rekan prialaki-laki mereka. Meskipun tingkat kualifikasi mereka sama, -sama berkualifikasi, para wanita perempuan mendapat gaji lebih rendah daripada para laki-lakipria. Oleh karena itu, bahkan di negara maju seperti Australia, ketidaksetaraan jender masih terjadibertahan. Di negara berkembang kondisi ini lebih buruk lagi. 

Rekan saya, Ajahn Sujato, baru-baru ini menghadiri Religions for Peace World Assembly (Pertemuan Agama untuk Kedamaian Dunia) di Vienna, yang disponsori oleh pemerintah Arab Saudi. Ia melaporkan dalam blognya:

Satu panel didedikasikan untuk [membahas] peran wanita perempuan-perempuan di region itudalam agama, dan [diskusi] itu, seperti yang sudah diduga, sangat berpengaruh dan menyentuh hati. Pemerkosaan, kekerasan rumah tanggadomestik, penjualanpenyeludupan wanita, prostitusi paksa, kematian ibu saat kelahiran: semuanya adalah realita yang terlalu menyakitkan bagi banyak wanitaperempuan; dan pada saat yang sama moralitas religius yang didominasi para prialaki-laki terobsesi tentang doktrin yang benar dan menghentikan homoseksualitas. Penderitaan wanitaperempuan sangat jarang dibahas di percakapan religius, dan sebagaimana yang dikatakan salah satu delegasi, ketika disebutkan pun topik ini tak hangat dan tak tegas. Namun sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang yang berkecimpung dalam pembangunan tahu betul, bahwa pemberdayaan wanitaperempuan adalah cara paling efektif untuk membebaskan dalam mengeluarkan negara-negara dari kemiskinan.

Sebagai orang-orang Buddhis yang menjunjung idealisme cinta-kasih dan rasa hormat tanpa-kondisi, yang menilai orang berdasarkan perilaku mereka bukannya berdasarkan keturunan, kita seharusnya di posisi yang baik untuk menunjukkan kepemimpinan dalam pengembangan kesetaraan jender di dunia modern yang akan berakibat dan alhasil mengurangi kesengsaraan setengah populasi dunia. Terlebih lagi, jika Buddhisme akan tetap relevan dan tumbuh, kita harus membahas isu-isu ini secara frontal. Tetapi bagaimana bisa kita bisa berbicara tentang kesetaraan jender ketika beberapa organisasi Theravada kita sendiri bias secara jender? 

Di Australia, Gereja Kristiani Anglikan merepresentasi 17,1% populasi (Sensus Nasional 2011) dan mempertahankan relevansinya dengan mengangkap menahbiskan uskup-uskup perempuan. Pada bulan Mei 2008, di Perth, saya diundang untuk menghadiri penahbisan uskup perempuan pertama di dunia di Gereja Kristiani Anglikan, Yang Terhormat Kay Goldsworthy. Respon media pada pengakuan terhadap perempuan di Gereja Anglikan begitu penuh luapan positif. Inisiatif seperti ini menyorot agama-agama lain di Australia yang masih mendiskriminasi berdasarkan jender. Tetapi itu juga secara positif menyorot Buddhisme Theravada di Perth yang memiliki bhikkhuni-bhikkhuni  yang ditahbiskan penuh. 

Sayangnya, vihara-vihara dan biara-biara Buddhis Theravada lainnya di Australia dan di belahan dunia lain tetap bertahan mengecualikan mengucilkan perempuan wanita dari keanggotaan penuh dalam Sangha. Saya akan berargumen bahwa tidak ada basis legal dalam Vinaya, yaitu Kode Etika Monastik Buddhis kuno, yang melarang wanita dari penahbisan penuh. Terlebih lagi, ketika bagian-bagian  Buddhisme Theravada secara pada umumnya dianggap telah secara tak masuk akal melarang perempuan untuk memasuki dari keanggotaan penuh Sangha, maka mereka tidak punya otoritas moral untuk berbicara tentang kesetaraan jender. Mereka juga kehilangan kesempatan untuk berbicara tentang pemberdayaan perempuan di sektor-sektor lain dalam masyarakat dan tentang memajukan Tujuan Pembangunan Milenium Ketiga. 

Mahatma Gandhi
Ketika Mahatma Gandhi adalah murid sekolah hukum di London, ibu indekos tempat ia tinggal memintanya untuk menasihati anaknya. Bocah laki-lakinya melahap terlalu banyak gula dan tidak mau menuruti kata-kata ibunya ketika diminta untuk berhenti. Namun bBocah itu sangat menyukai Gandhi muda. Lalu Ibu itu mengusulkan bahwa jika Gandhi menasihati anaknya agar untuk tidak makan begitu banyak gula, maka ia tentu akan mengikuti nasihat itu. Satu atau dua minggu berlalu dan anak ibu indekos itu masih makan banyak sekali gula. Ibu indekos lalu mengajak Gandhi berbicara dan bertanya mengapa ia tidak menjalankan janjinya untuk berbicara dengan anaknya. 



“Tapi saya sudah berbicara dengan anak anda,” jawab Gandhi, “namun baru pagi ini.” 

“Mengapa anda menunggu begitu lama?” 

“Karena baru kemarinlah saya berhenti makan gula.” 

Begitulah jawaban orang besar ini. 

Pemimpin agama, lebih dari orang-orang lain, harus menjalankan apa yang mereka ceramahkan agar mereka dianggap dengan serius dan agar nasihat mereka efektif. 

Kekuatan Memimpin dengan Memberikan Contoh
Menurut data terakhir di Wikipedia, ada sekitar 506 juta hingga 1,146 miliar orang Buddhis di dunia kita. Bahkan estimasi minimumnya pun menunjukkan porsi yang signifikan dari populasi global. Mayoritas dari orang-orang ini meneladanimengacu pada para bhikkhu dan lama untuk inspirasi, panduan dan kepemimpinan moral. Terlebih lagi, banyak orang-orang Buddhis ini tinggal di negara miskin atau berkembang di mana pemberdayaan perempuan sangat penting bagi perkembangan ekonomi dan kemajuan sosial di negara-negara itu. Dalam dunia yang saling terhubung saat ini, kata-kata saja tidak cukup. Dibutuhkan tindakan. 

Master Cheng Yen, perempuan pendiri lembaga sosial International Tzu Chi Foundation, adalah contoh dari kekuatan biarawati Buddhis yang ditahbiskan. Ditahbiskan di Taiwan pada tahun 1962, pada masa perempuan hampir tidak punya pengaruh dalam kebijakan sosial, ia sekarang dipandang sebagai ikon di seantero negerinya, juga secara internasional. Ia telah membangun rumah-rumah sakit canggih yang tahan gempa di Taiwan, menjadi pembuka jalan dalam mendorong gerakan daur ulang di negaranya, dan mendirikan Organisasi Bantuan Buddhis terbesar di dunia kita. Ketika saya mengunjungi Tzu Chi Foundation di Taiwan pada bulan Mei 2013, saya ditunjukkan bagaimana botol plastik dapat diubah menjadi selimut yang dikirim ke daerah-daerah bencana alam, misalnya area-area yang baru diserang Topan Haiyan di Filipina. Begitu banyak hal yang diselesaikan oleh para prialaki-laki dan wanita perempuan pensiunan yang mendapatkan arti dalam kehidupan mereka beserta dengan keuntungan emosional dan kesehatan yang besar yang diberikan oleh kegiatan sosial seperti ini. Mereka juga menikmati hari-hari tua mereka, bukannya menyia-nyiakannya di rumah. Tidak ada bhikkhu atau lama yang telah melakukan apapun dalam skala ini.

Sukarelawan Tzu Chi
Agar Buddhisme tumbuh di dunia modern kita, kita perlu melakukan lebih daripada sekedar mengajarkan meditasi, memberikan ceramah yang menginspirasi, dan menyediakan Sutra-sutra di internet. Kita pintar dalam belajar, mempublikasi dan menyebarkan kata-kata Buddhisme. Apa yYang belum terlalu sukses adalah menunjukkan kewelas asihan dan kerendahan hatian Dharma melalui tindakan kita. Kita telah menulis lebih banyak kata-kata dalam buku-buku kita daripada beberapa kata ramah yang kita ucapkan kepada orang-orang yang miskin, yang kesepian dan yang putus asa. Kita telah membangun begitu banyak vihara daripada panti-panti asuhan.

Kepemimpinan Perempuan di Negara-negara Buddhis Theravada
Sri Lanka, negara mayoritas Buddhis Theravada, bisa berbangga dengan memiliki Perdana Menteri wanita pertama di dunia, Ibu Sirimavo Bandaranaike, pada tahun 1960. Myanmar juga akan memiliki pemimpin negara wanita pertama pada tahun 1990 ketika Aung San Su Kyi dan partainya NLD memenangkan 59% suara populer dalam pemilihan umum nasional, namun hasil pemilu itu tidak diterima. Pada tahun 2013, Thailand mengangkat Perdana Menteri perempuan pertama mereka, Yingluk Shinawatra.

Ini menunjukkan bahwa umat awam Buddhis Theravada dapat menerima perempuan dalam peran kepemimpinan, mengapa Sangha tidak bisa?

Tradisi
Bhikkhu-bhikkhu Buddhis Theravada, umumnya, sangat konservatif. Mereka sering mengaku bahwa mereka adalah penjaga-penjaga “Buddhisme Asli” dari masa Sang Buddha Sendiri. Mereka menganggap bahwa salah satu dari tugas terpenting mereka adalah menjaga ajaran-ajaran yang berharga dan otentik ini. Dalam konteks ini, bagaimana tradisi di masa Sang Buddha berkaitan dengan perempuan dalam Sangha?

Semua bhikkhu dari semua tradisi di semua negara, dan semua cendikia Buddhis awam juga, sepenuhnya menerima bahwa ada perempuan-perempuan yang ditahbiskan penuh, yang dinamai Bhikkhuni, pada masa kehidupan Buddha. Terlebih lagi, jelas disebutkan dalam ajaran-ajaran awal ini bahwa salah satu tujuan dari misi Sang Buddha adalah memberikan penahbisan penuh bagi perempuan:

Ananda, suatu saat saya tinggal di Uruvela di pinggir sungai Neranjara (Bodh Gaya saat ini) di bawah pohon Banyan milik seorang gembala, ketika saya baru saja mencapai pencerahan tertinggi. Dan Mara si Jahat datang pada saya, berdiri di satu sisi dan berkata “Semoga Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbana akhir, semoga Sugata sekarang mencapai Nibbana akhir. Sekarang adalah saatnya bagi Yang Terberkahi untuk Nibbana akhir.”

Pada ini, saya berkata pada Mara: “Yang Jahat, saya tidak akan mengambil Nibbana akhir sebelum saya mempunyai para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam laki-lakipria, dan umat awam wanita, yang mencapai, yang terlatih, yang terampil, yang mengenal Dhamma, yang terlatih dalam keselarasan dengan Dhamma, yang secara benar berlatih dan berjalan di jalan Dhamma, yang akan meneruskan apa yang mereka dapat dari Guru mereka, mengajarkannya, mendeklarasinya, membangunnya, menjelaskannya, menganalisanya, membuatnya menjadi jelas, hingga mereka akan mampu dengan cara-cara Dhamma menolak ajaran-ajaran salah yang telah timbul, dan mengajarkan Dhamma yang mempunyai efek luar biasa (Mahaparinibbana Sutta 3. 34-35).

Orang-orang Buddhis Theravada seharusnya mempunyai keunggulan dari agama-agama besar dunia lainnya karena tradisi mereka secara eksplisit memberikan kesetaraan seperti ini pada perempuan. Kristiani tidak punya tradisi kesetaraan jender dalam kepastoran mereka. Tidak pula Islam, Judaisme, atau berbagai aliran Hinduisme. Buddhisme berbeda dan lebih maju dari zamannya dalam memberikan status seperti ini kepada perempuan dimulai sejak “ketika Saya (Buddha) baru mencapai pencerahan sempurna” di Bodh Gaya.

Oleh karena itu, penahbisan penuh wanita adalah bagian dari tradisi paling awal. Ini juga harapan yang Sang Buddha umumkan.

Tantangan untuk Kesetaraan Jender di Sangha Theravada
Ada dua rintangan utama dalam penerimaan Penahbisan Bhikkhuni dalam Buddhisme Theravada: 1) Ketidaktahuan mengenai siapa yang membuat keputusan-keputusan yang mengatur Sangha, dan 2) Ketidaktahuan mengenai Vinaya, peraturan-peraturan yang disusun oleh Buddha sendiri yang membatasi keputusan-keputusan apa yang boleh dibuat.

1. Banyak bhikkhu di Thailand berargumen bahwa satu keputusan dari Sangharaja Thailand pada tahun 1928 melarang penahbisan biarawati perempuan:

Pengumuman
“Tidak diperbolehkan bagi Bhikkhu manapun untuk memberikan Penahbisan bagi Perempuan. Perempuan manapun yang berharap untuk ditahbiskan sebagai seorang Samaneri, menurut izin Buddha, harus ditahbiskan oleh seorang Bhikkhuni yang ditahbiskan penuh. Buddha memberikan peraturan bahwa hanya seorang Bhikkhuni dengan masa vassa lebih dari 12 tahun yang memenuhi syarat untuk menjadi seorang Preseptor (pavattini).

Buddha tidak mengizinkan seorang Bhikkhu untuk menjadi preseptor dalam upacara ini. Sayangnya, silsilah Bhikkhuni telah memudar dan menghilang. Karena tidak ada lagi Bhikkhuni-bhikkhuni yang matang untuk meneruskan silsilah, maka mulai sekarang tidak ada Samaneri yang dapat menerima penahbisan tepat dari seorang Bhikkhuni senior.

Oleh karena itu baik silsilah Bhikkhuni maupun Samaneri telah punah. Sehingga Bhikkhu manapun yang memberikan penahbisan kepada seorang perempuan untuk menjadi seorang Samaneri, dapat dikatakan Bhikkhu itu tidak bertindak berdasarkan peraturan yang diletakkan oleh Buddha. Intinya, ia menjalankan panduannya sendiri dan keluar dari panduan yang diberikan Buddha. Ini adalah sesuatu yang akan mengancam Agama Buddha dan bukanlah contoh yang baik untuk Bhikkhu lain.

Oleh karena itu, semua bhikkhu dan samanera dalam kedua Nikaya dilarang untuk menahbiskan wanita manapun sebagai seorang Bhikkhuni, Sikkhamana, atau Samaneri mulai dari hari ini.”

Phra Bancha Somdet Phra Sangharacha Jiao Gromluang Jinawarn Siriwad (18 Juni 2471)
(Pengumuman resmi dari catatan Pertemuan Komita Sangha, Buku 16 halaman 157)

Selain mencatat tuanya umur keputusan ini, seharusnya ditilik pula bahwa Sangharaja Thailand, beserta Thai Council of Elders (Mahatherasamakom), hanya diizinkan oleh konstitusi legal untuk mengatur permasalah yang berkaitan langsung mengenai bhikkhu dan samanera dari dua sekte utama Buddhis Thai, yaitu Mahanikaya dan Dhammayuttanikaya. Mereka secara legal tidak berwenang untuk memerintah urusan-urusan grup monastik lain, seperti bhikkhu-bhikkhu Mahayana Chinese di Thailand, juga para bhikkhuni. Untuk para bhikkhu yang bermaksud baik untuk menunggu Thai Council of Elders untuk memutuskan legitimasi Bhikkhuni Theravada, mereka harus menunggu selamanya. Thai Council of Elders secara legal tidak berwenang untuk mengatur hal-hal di luar kewenangannya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Almarhum Somdet Phra Pootajarn, yang ketika itu bertindak sebagai pemimpin sementara Thai Council of Elders, kepada saya pada tahun 2009 mengenai pertanyaan mengenai penahbisan Bhikkhuni “Hukum Thai tidak berlaku di luar Thailand.” Intinya, Sangha di Thailand tidak bisa mengatur cara kerja Sangha di Sri Lanka atau di Australia.

Memang, Buddha membentuk semua Sanghakamma (peraturan-peraturan monastik), seperti penahbisan Bhikkhuni, untuk diputuskan oleh komunitas monastik lokal, didefinisi sebagai para bhikkhu dan bhikkhuni dalam batas monastik yang sama. Keputusan-keputusan atau opini-opini dari komunitas-komunitas monastik lain tidaklah mengikat. Pemerintahan Sangha diserahkan pada komunitas monastik masing-masing. Inilah peraturan oleh Sang Buddha.

2. Namun, setiap komunitas monastik diikat untuk bertindak sesuai dengan peraturan yang disebut Vinaya. Jadi apakah peraturan-peraturan [Vinaya] ini adalah penghalang bagi Penahbisan Bhikkhuni? 

Ketetapan Sangharaja Thai pada tahun 1928 menilai bahwa seorang bhikkhu Sangha tidak bisa memberikan penahbisan kepada seorang bhikkhuni karena diperlukan bhikkhuni lain untuk menahbiskan seorang bhikkhuni. Ini adalah titik perdebatan. Di publikasi baru-baru ini “The Revival of the Bhikkhuni Order and the Decline of the Sasana (Kebangkitan Kembali Ordo Bhikkhuni dan Menurunnya Sasana” oleh bhikkhu cendikia terkenal Bhikkhu Analayo (Journal of Buddhist Ethics, Vol. 20 2013, tersedia on-line at http://blogs.dickinson.edu/buddhistethics/files/2013/09/Analayo-Legality-final.pdf), penulis berpendapat bahwa penahbisan seperti ini sah. Pendek kata, ia berargumen bahwa pertama-tama Sang Buddha memberikan otoritas pada para bhikkhu untuk menahbiskan bhikkhuni-bhikkhuni. Di kemudian hari, Sang Buddha memberikan otoritas bagi para bhikkhuni untuk ditahbiskan melalui upacara penahbisan ganda; pertama dalam Sangha bhikkhuni dan kemudian Sangha bhikkhu. Namun, bertolak belakang dengan sejarah penahbisan bhikkhu, di mana seseorang menemukantemukan bahwa kapanpun suatu penahbisan baru diizinkan oleh Sang Buddha maka metode sebelumnya dihapus, penahbisan awal untuk para bhikkhuni oleh para bhikkhu tidak dihapus oleh Sang Buddha. Prinsip umum dalam Buddhisme Theravada adalah “Tidak menghapus apa yang telah diotorisasi oleh Sang Buddha” (satu dari tujuh sebab bertahannya agama Buddha – Anguttara Sevens, 23). Maka ini adalah argumen kuat untuk legitimasi (keabsahan) penahbisan bhikkhuni-bhikkhuni oleh bhikkhu-bhikkhu saja. 

Secara umum dipandang bahwa penahbisan pertama bhikkhuni di zaman modern terjadi di Bodh Gaya pada tahun 1998. ini adalah penahbisan ganda yang dilakukan pertama-tama oleh bhikkhuni-bhikkhuni China diikuti dengan Vinaya “Dharmagupta” dan kemudian oleh bhikkhu-bhikkhu Sangha Theravada internasional. Apakah ini sah? 

Ada empat, dan hanya empat, cara dimana penahbisan dapat dinilai tidak sah:
  1. Simavipatti: ketika ada seorang bhikkhu atau bhikkhuni yang berada dalam batas monastik yang seharusnya hadir tapi absen.
  2. Parisavipatti: ketika tidak cukup kuorum.
  3. Vatthuvipatti: (untuk penahbisan) ketika kandidat didiskualifikasi dari penahbisan misalnya dibawah umurterlalu muda.
  4. Kammavacavipatti: ketika prosedurnya dilafalkan dengan tidak benar, misalnya upacara penahbisan dilafalkan tanpa mosi dan tanpa tiga pengumuman. 
Tentang penahbisan Bodh Gaya, tidak ada keraguan bahwa:
1. Semua bhikkhu dan bhikkhuni dalam batas monastik hadir
3. Para kandidat sudah memenuhi syarat dan
4. Prosedurnya dilafalkan dengan benar.

Tetapi apakah ada kuorum? Apakah bhikkhuni Mahayana memenuhi syarat sebagai sebuah kuorum? 

Tidak ada alasan masuk akal untuk mencurigai biarawati-biarawati Mahayana China yang melakukan penahbisan Bodh Gaya bukanlah bhikkhuni yang sah. Catatan-catatan menunjukkan bahwa silsilah mereka datang dari Sri Lanka. Prosedur penahbisan mereka sendiri telah tidak gagal memenuhi seluruh satupun dari empat alasan yang disebutkan di atas. Mereka melakukan upacara dengan semuanya hadir dalam suatu batasan (yang mereka sebut sebagai sebuah “platform”). Selalu ada kuorum. Mereka memastikan bahwa kandidatnya memenuhi syarat. Dan upacara dilaksanakan dengan cara yang sama dan tiga pengumuman seperti dalam Theravada, albeit diucapkan dalam bahasa China. Mereka adalah bhikkhuni menurut Vinaya dan oleh karena itu bisa menahbisakan bhikkhuni-bhikkhuni lain. 

Tetapi bagaimanabagiaman dengan kuorum dari bhikkhuni satu sekte (Mahayana) dari sekte yang lain (Theravada)?

Sekte-Sekte dalam Buddhisme
Sekte-sekte yang berbeda dalam Theravada disebut “nanasamvasa” dalam Vinaya. Mereka adalah komunitas-komunitas terpisah yang masing-masing menjalankan tata kelola masing-masing, bahkan dalam lingkaran monastik yang sama. Vinaya menyebutkan bahwa hanya ada dua asal dari komunitas terpisah (nanasamvasabhumi – Vinaya Mahavagga, bab 10, ayat 1.10):
  1. Seorang bhikkhu memutuskan untuk dirinya sendiri di komunitas ia mau bergabung terpisah dari yang lainnya, atau 
  2. Sangha memaksa seorang bhikkhu keluar dari komunitas mereka dengan menjatuhkan hukuman berat Ukkhepaniyakamma dengan mosi dan tiga pengumuman. 
Sebab kedua bagi komunitas terpisah tidak digunakan masa kini. Ini meninggalkan hanya yang pertama, yaitu pilihan pribadi. Sederhananya, menurut Vinaya, seorang bhikkhu boleh memilih untuk melaksanakan Sanghakamma dengan sekumpulan bhikkhu yang dirasanyadia rasa nyaman. Tidak ada rintangan legal apapun yang melarang seorang bhikkhu Theravada dari melakukan Sanghakamma dengan seorang bhiksu Mahayana. Sebenarnya, mungkin tepat dikatakan bahwa tidak ada bhikkhu Theravada atau Mahayana, hanya ada bhikkhu, menurut Vinaya, yang kebetulan mengikuti tata cara Theravada atau latihan Mahayana. Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang ditahbiskan dalam upacara Theravada boleh bergabung dengan biara Mahayana tanpa perlu penahbisan ditahbis ulang. 

Oleh karena itu, menurut Vinaya, bhikkhuni Mahayana boleh melakukan bagian pertama dari upacara penahbisan untuk bhikkhuni baru, dan kemudia ia mungkin mengambil bagian kedua dari penahbisan ganda dalam suatu persamuan bhikkhu Theravada. Inilah yang terjadi di Bodh Gaya. Tidak ada argumen masuk akal berdasarkan Vinaya untuk membuat ini tidak sah. Dan dengan sekte mana para bhikkhuni yang ditahbiskan di Bodh Gaya mau bergabung? Mereka yang pilih! 

Penahbisan Perth di tahun 2009
Begitu ada bhikkhuni-bhikkhuni Theravada, cukup mudah untuk mengatur penahbisan empat perempuan sebagai bhikkhuni di Perth pada bulan Oktober 2009. Meskipun hal ini menyebabkan masalah saat itu, para bhikkhuni yang ditahbiskan sekarang dikenal oleh semua sebagai bhikkhuni menurut Vinaya. Seperti kata pepatah lama: “Tak bisa membuat telur omelet tanpa memecahkan telur.”

Sangha Bhikkuni sedang tumbuh. Di Perth, Dhammasara Nuns Monastery (Biara Biarawati Dhammasara) saat ini memiliki 11 anggota Sangha dengan daftar antri perempuan-perempuan dari seluruh dunia menanti untuk ditahbiskan. Baru-baru ini, ada satu stasiun televisi Thai mengunjungi Dhammasara dan mewawancara para bhikkhuni. Di Thailand ada sekitar 100 orang bhikkhuni (Murray Hunter, ANU, 2/1/2014) dan di Sri Lanka sekitar 800 orang bhikkhuni (The Sunday Leader, Sri Lanka, 3 Maret 2013). Mereka mungkin tidak dihormati oleh semua bhikkhu tetapi mereka semakin dihormati oleh komunitas Buddhis awam, terutama di negara-negara Barat. Bhikkhuni-bhikkhuni Perth memberikan ceramah dan mengajarkan meditasi. Mereka mengambil tempatnya di majelis beruas empat dari Buddhisme sebagaimana yang diinginkan oleh Sang Buddha. Mereka mendapatnya cukup dukungan. 

Perlunya Kepemimpinan Theravada Saat Ini untuk Merangkul Penahbisan Bhikkhuni
Ajahn Maha Boowa
Mungkin menarik perhatian bhikkhu-bhikkhu Thai untuk mengetahui bahwa Preseptor (pavattini) di penahbisan Bhikkhuni Perth, Ayya Tathhaaloka, mengunjungi Ajahn Maha Boowa di Wat Bahn That di Udon beberapa saat sebelum penahbisan Bhikkhuni Perth. Ajahn Maha Boowa mengundangnya untuk bermalam di tempat tinggal perempuan, dan memberikan pengakuan pada penahbisannya dengan mengundangnya untuk duduk di platform bhikkhu dan memanggilnya seorang bhikkhuni, di hadapan Sangha sekaligus umat awam yang berkumpul. 

Banyak pemimpim-pemimpin berpengaruh di Thailand menghormati Ajahn Maha Boowa sebegitu besarnya hingga kejadian ini mungkin akan menyemangati bhikkhu-bhikkhu senior lainnya untuk menerima keberadaan bhikkhuni-bhikkhuni Theravada di Thailand. Penerimaan seperti ini oleh pemimpin-pemimpin biarawan Buddhis akan menghasilkan rasa hormat yang lebih besar pada status bhikkhuni diantara pengikut awam Buddhis. Kemudian perempuan-perempuan ini akan terberdayakan untuk memimpin di bidang-bidang lain yang akan menguntungkan dan memajukan bangsanya. 

Relevansi Penahbisan Bhikkhuni bagi Tujuan Pembangunan Milienium Ketiga
Dalam jurnal yang diterbitkan baru-baru ini yang ditulis oleh Emma Tomalin dan Caroline Starkey (Sakyadhita newsletter, Musim Dingin 2012), penulis-penulis ini mengeksplorasi peran yang dimainkan oleh Buddhisme di Thailand dan Kamboja dalam mempertahankan disparitas jender dalam pendidikan dan, “pada akhirnya bertanya apakah hubungan antara menguatkan hak penahbisan tradisional perempuan dan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan?” Mereka mencatat bahwa “Beberapa cendikia, baik orang Thai maupun orang Barat, telah mengimplikasi Buddhisme sebagai satu faktor penjelasan untuk ketidaksetaraan historis antara jender, terutama di daerah termiskin.” Juga bahwa “Banyak advokat penahbisan bhikkhuni melihat bahwa ada hubungan langsung antara status rendah wanita dalam banyak tradisi-tradisi Buddhis dengan status rendah wanita dalam masyarakat-masyarakat Buddhis.  

Oleh karena itu, dengan mengembalikan kesetaraan pada wanita dalam Sangha Theravada dengan menghidupkan kembali penahbisan bhikkhuni, kita akan menyoroti status inferior perempuan dalam beberapa negara Theravada, mempromosikan kesetaraan jender di bidang edukasi dan, oleh karena itu, membuat pernyataan kuat mendukung Tujuan Pembangunan Milenium Ketiga PBB.  

Dengan terlebih dahulu memperbaiki rumah kita, kita mempunyai kesempatan besar dan otoritas moral melalui buku-buku dan ceramah-ceramah kita untuk menginspirasi dan menyemangati pengikut-pengikut Buddhis kita untuk juga bekerja menuju kesetaraan jender di bidang-bidang lain selain agama. Ini akan membawa berkurangnya kekerasan, membaiknya kesehatan dan meningkatnya kesejahteraan di dunia. 

Ajahn Brahm, Perth, Januari 2014


Photo credit:
Photo 1: koleksi New Lotus
Photo 2: oleh Shekhar_Sahu melalui Compfight CC
Photo 3: oleh UWTC melalui Compfight CC
Photo 4: oleh warmkapok melalui Compfight CC

No comments:

Post a Comment