Monday, February 17, 2014

Jalan Sepi: Seorang Biarawati Menggali Relungnya Sendiri di Daerah Kumuh di India

Ayya Yeshe Bodhicitta

Ayya Yeshe

Saya menemukan Buddhisme di India pada usia 17 tahun dalam perjalanan hippie mencari makna kehidupan. Saat saya 14 tahun, papa meninggal, membuat saya jadi depresi berat. Saya meninggalkan rumah di usia 15, dengan pemikiran bahwa pasti ada sesuatu di kehidupan yang melebihi membayar cicilan rumah sepanjang hidup saya.

Saya jatuh cinta pada Buddhisme Tibet karena secara intelektual Buddhisme Tibet meyakinkan saya tentang kebenaran hidup. Kebenaran-kebenaran Dharma adalah berdasarkan kenyataan dan untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menemukan kebahagiaan yang membuka hati saya dan mendalam. Setelah melakukan “meditasi tentang kebaikan hati ibu”, jelas bagi saya bahwa tujuan hidup saya adalah berlatih untuk pencerahan dan bekerja untuk kebaikan bagi semua makhluk, dan hal-hal lain—kepemilikan dan kekuasaan—tak berarti apapun. Saya menyaksikan betapa majunya masyarakat saya, tapi begitu sedikit kebahagiaan yang kami punya, tidak punya waktu dan terjebak di jala kompleksitas dan konsumerisme kami sendiri. Saya juga menyadari dari pengalaman bahwa hubungan yang indah tidaklah stabil.

Saya menjadi biarawati pada tahun 2001. Di hari yang sama saya memakai jubah, saya harus mencopotnya untuk bekerja dengan berpakaian awam karena institusi tempat saya ditahbiskan hanya mendukung para pria Tibet. Ini adalah bagaimana penahbisan dan pelatihan monastik Barat dijalankan di dalam tradisi kecil Buddhisme Tibet (Sakya) saya, kecuali jika orang-orang Barat ini lancar berbahasa Tibet dan menjadi cukup seperti “orang Tibet” untuk mengikuti program Loppon selama 9 tahun dan hidup dengan roti putih dan dahl [yogurt] encer selama 12 tahun. Kebanyakan orang yang melakukan ini yang saya kenal akhirnya menderita hepatitis, kelelahan kronis, kesepian parah, dan akhirnya melepas jubah. Untungnya, saya mengalami yang lebih baik, karena saya memilih mengikuti jalan saya sendiri.

Saya belajar paruh waktu selama lima tahun dengan lama saya dan memberikan pelayanan yang sangat berdedikasi. Ketika saya ditahbiskan, saya melakukannya dengan pikiran yang penuh keyakinan dan harapan tulus untuk pencerahan. Saya selamanya berterima kasih pada semua yang di masa lampau telah menjaga kelangsungan Dharma yang tetap hidup—penerus garis aliran, tanpa mereka kebahagiaan sejati akan terlepas dari saya dan saya akan berkelana tanpa henti, hilang di dalam samsara. Saya percaya dengan menjaga kelangsungan tradisi (ajaran dan latihan) dan latihan tradisional adalah penting. Tapi apa yang dapat anda lakukan jika kultur, nilai-nilai, seksisme, dan marginalisasi berarti tidak ada tempat bagimu di tradisimu sendiri?

Retret untuk Buddhis India
Ketika saya ditahbiskan, dengan naif saya berpikir bahwa saya akan bahagia dan dilatih dengan baik sebagaimana para lama-lama Tibet yang ceria yang saya kenal dan hargai. Saya tidak tahu bahwa masyarakat Tibet sangat patrialis [menjunjung pria] dan hirarki. Seperti banyak wanita di generasi saya, saya tidak pernah memberikan banyak perhatian pada seksisme karena saya hampir tidak pernah mengalami diskriminasi gender, sehingga saya anggap wajar bahwa kesetaraan wanita dan pria adalah hal yang diterima umum.

Ketika saya ditahbiskan, saya temukan bahwa saya sama sekali tidak siap,  dalam kultur saya karena saya tidak memiliki apa yang bisa saya bandingkan sebagai pelepasan [pertapaan]. Tiba-tiba orang-orang tak lagi melihat saya; mereka melihat seorang biarawati. Mereka bertanya tentang Buddhisme dan mereka meminta saya memberikan konseling pada mereka. Saya benar-benar dilempar ke dalam lubang dalam. Beserta para monastik lain yang ditahbiskan bersama saya, saya sibuk dari pagi hingga malam untuk memenuhi permintaan umat awam. Kami punya begitu sedikit waktu atau kedamaian untuk mengembangkan latihan kami sendiri, atau lama kami tak punya waktu untuk mengajari kami sumpah-sumpah atau ritual, filosopi, atau subjek latihan tradisional lainnya.

Orang-orang entah bagaimana berasumsi bahwa ada organisasi besar yang menjaga kami. Mereka tidak tahu tentang tradisi selama 2.600 tahun dimana umat awam mendukung latihan monastik dalam mendukung pencerahan. Malahan, latihan dan kebutuhan umat awam menjadi sentral hidup kami, dan begitu sedikit imbalannya. Seorang Rinpoche memberitahu seluruh wanita paruh baya di suatu ruangan bahwa mereka tidak dapat mencapai pencerahan sebagai Buddha dalam tubuh wanita. Saya mendebat ini dengan banyak contoh wanita seperti Yeshe Tsogyal, Machig Lapdron, Jomo Memno, dan banyak lagi. Tidak ada orang lain di ruangan itu yang mempertanyakan itu. Seorang wanita mengatakan pada saya, “Jika Rinpoche berkata demikian, pasti benar.” Sejak itu saya sudah membaca pernyataan Dalai Lama bahwa dalam Kalachakra Tantra adalah mungkin bagi wanita untuk mencapai pencerahan menjadi Buddha. Rinpoche pengunjung itu meminta saya untuk fokus pada bersih-bersih dan mengumpulkan karma baik, dan saya tidak akan pernah setara dengan dia atau guru saya.

Di Tibet, wanita disebut “kyemen” yang artinya “kasta rendah.” Biarawati dipanggi “Ani-la” yang berarti tante [dari pihak ayah], dan biarawan dipanggil “Kushola,” [yang berarti] yang mulia. Secara tradisional, para biarawan mendapat pendidikan dan hidup mewah, sedangkan para biarawati umumnya buta huruf dan melayani para biarawan atau melakukan pekerjaan buruh untuk keluarganya. Pengalaman saya membantu saya menyadari dan mempertanyakan tentang kepercayaan buta terhadap apapun yang dikatakan seorang lama tanpa menginvetigasinya untuk diri saya sendiri. Tentu saja guru awal saya tidak setuju dengan pandangan-pandangan yang begitu merendahkan wanita, tapi ia tetap tidak siap untuk mendukung para biarawati, sesuatu yang saya rasa bertolakbelakang dengan tradisi pencerahan dalam kontemplasi Buddhis. Jika monastik harus bekerja, juga harus mengajar dan memberikan konseling pada umat awam, mereka tidak merasakan manfaat kontemplatif dan waktu untuk mengembangkan latihan mendalam (salah satu prasyarat penting untuk menjadi guru dan praktisi); di sisi lain mereka tidak mendapatkan manfaat kehidupan awam, seperti uang dan keluarga. Tak aneh jika 75 persen monastik Barat melepas jubah. Saya rasa angka yang tinggi ini bukan karena mereka orang Barat, tetapi karena mereka tidak mendapat dukungan, dan tidak diperlakukan dengan perhatian dan hormat, sebagaimana yang mereka akan dapatkan di masyarakat-masyarakat Asia. Malahan mereka sering dianggap sebagai penyia-nyia sumber daya, atau hanya “aneh.”

Dari 13 orang yang ditahbiskan bersama saya, hanya tiga orang yang masih monastik. Semuanya berusia lebih dari 50 tahun dan punya uang sendiri. Semua yang muda, kecuali saya, telah menyerah. Tujuh monastik Barat telah meninggalkan center tempat saya ditahbiskan.

Saya temukan diri saya melakukan lebih banyak pekerjaan sosial untuk menjadi bagian dari komunitas. Saya secara sukarela mengajar meditasi di pusat rehabilitasi narkoba, penjara, sekolah, dan rumah perawatan HIV. Di Australia, saya temukan banyak orang yang terisolasi secara sosial yang memerlukan seorang teman dan kasih tak berkondisi.

Ayya Yeshe dengan gubuk baru untuk anak yatim
Vicky dan kakaknya Pandu
Saya kemudian pergi ke India dan mencoba belajar bahasa Tibet. Segera saya sadari saya tak akan pernah menjadi cendikia atau mampu mempelajari bahasa Tibet kuno yang digunakan untuk menulis teks-teks itu. Saya lihat di banyak biara-biara Tibet, orang-orang tidak bermeditasi dalam grup. Biara-biara seringkali seperti sekolah, panti asuhan, atau pusat pengungsi. Namun, banyak master-master yang mengagumkan yang telah bermeditasi di goa-goa atau memimpin biara-biara. Saya tidak melihat bagaimana metode pembelajaran yang kita bicarakan ini cocok untuk saya. 

Seorang gadis desa Tibet yang buta huruf dan seorang wanita Barat dengan PhD mungkin membutuhkan metode pelatihan yang berbeda, meskipun menggunakan teks-teks dasar yang sama. Saya tidak pernah merasa diterima oleh orang-orang Tibet, yang sepertinya melihat saya sebagai sponsor potensial (meskipun saya hampir tidak mampu membayar uang sewa di rumah kumuh tempat saya tinggal) daripada salah seorang anggota masyarakat. Orang-orang Tibet sangat fokus pada mendirikan komunitas-di-tempat-pengasingan mereka dan mempertahankan hierarki dan kultur mereka. Kapanpun muncul diskusi tentang pembiayaan untuk monastik Barat (yang menjalankan pusat-pusat ini), maka langsung diveto. Saya temukan ini menghancurkan hati saya. 

Saya tidak ingin menghabiskan 20 tahun ke depan untuk mendebatkan topik yang saya rasa begitu kering, atau yang tetap terlepas dari kesengsaraan dunia di tengah kehancuran diri. Saya berharap untuk mempertahankan meditasi dan latihan-latihan kontemplatif monastik saya, tapi juga terlibat dalam dunia. Bagaimanapun, Buddha bertemu umat awam setiap hari, pergi ke desa-desa, dan tidak punya gelar akademis. Ia memuji kesendirian, dan jika ada orang yang punya berkah untuk menghabiskan seumur hidupnya dalam retret, mungkin itu yang terbaik. 

Saya tidak berasumsi untuk menjadi master hebat atau untuk memberitahu orang bagaimana cara hidupnya. Saya hanya seorang pengikut Buddha yang simpel, tetapi di sini saya secara jujur menjalani jalan yang telah saya ikuti dan pilihan-pilihan yang saya buat untuk tetap berjubah dan juga memenuhi aspirasi bodhisattva saya. 

Saya selalu kagum dengan Santo Fransiskus dari Asisi. Saya suka dengan cerita hidupnya, kejujurannya, kesederhanaannya, dan keterlibatan sosialnya. Mungkin dia sedikit ekstrim, tapi dia jelas-jelas adalah seseorang yang tidak takut untuk mengikuti kata hati dan kebenaran dalam hatinya, bahkan jika itu berarti ia akan dikucilkan masyarakat. Ini sepertinya corak para pahlawan, orang suci, dan orang visioner. Pertama masyarakat mencoba untuk menekan mereka, lalu mengkritik mereka, dan kemudian mengasingkan mereka. Lalu, masyarakat memuja mereka karena mencapai sesuatu yang berani, inspiratif, spiritual, atau bermoral daripada apa yang dicapai orang-orang umumnya. 

Saya merasa adalah penting membantu mempertahankan dan meneruskan penahbisan penuh bagi wanita yang telah diberikan oleh Buddha. Di banyak negara biarawati bukanlah pembantu biarawan, hanya memasak dan mencucikan pakaian mereka. Suatu waktu di tahun-tahun itu, saya menetap di Plum Village di Perancis. Monastik di sana menerima saya bagaikan keluarga dan tidak mengenakan biaya untuk tinggal, tidak seperti pusat-pusat Tibet. Ini adalah waktu yang begitu spesial karena saya belajar sebanyak-banyaknya dari Thich Nhat Hahn, yang menciptakan “Buddhisme Keterlibatan Sosial.” Sesudah menghabiskan waktu yang indah di Plum Village dimana saya mengambil penahbisan penuh sebagai bhikshuni, saya kembali ke India.

Anak-anak dalam Program Makanan di Bodhicitta Foundation
Sesudah menjalankan studi sepotong-sepotong selama beberapa tahun, saya temukan diri saya dengan satu harapan tulus untuk kehidupan Dharma yang lebih sederhana, lebih meditatif, dan lebih aplikatif. Saya tak ingin membaca satu tulisan lagi tentang welas asih; saya ingin menjalankannya. Saya telah melihat banyak hal mengerikan di India—seorang anak berusia empat bulan dijual ke perbudakan dan meninggal karena keserakahan dan apati, wanita-wanita di biara-biara berlumut berdoa untuk dilahirkan kembali sebagai laki-laki di vihara bhiksu di sebelah, biarawati-biarawati pengungsi yang pernah diperkosa kemudian dipaksa untuk lepas jubah karena rasa malu, anak-anak yang dijual ke dalam kemiskinan dan mati perlahan karena kelaparan. Tetapi saya juga melihat kecantikan, cinta, ketanpa-pamrihan, kebaikan, dan komunitas yang tidak pernah saya lihat di negara saya sendiri. 

Saya tidak bisa memalingkan wajah dari semua penderitaan manusia ini. Mereka mengubah saya. Bagaimana bisa saya melihat mayat di peron kereta dan kemudian tetap tidak melakukan apapun untuk membantu yang miskin? Orang itu meninggal sendirian dan tanpa cinta, tanpa rumah. Bagaimana mungkin saya tak melakukan apapun? Ketika saya ada di Bodhgaya, tempat dimana Buddha tercerahkan, saya melihat di tempat suci tempat pemimpin mereka dipuja, komunitas Buddhis internasional membangun vihara-vihara emas berharga jutaan dolar dengan dikelilingi pagar-pagar berkawat duri agar orang-orang lokal yang miskin tak bisa masuk. Jurang antara yang kaya dan miskin benar-benar mencengangkan. 

Saya melihat gadis-gadis kecil di Bodhgaya yang tingginya setengah dari wanita Barat, tanpa pilihan menikah di usia 13 tahun dengan pria yang sama miskinnya dan sama buta hurufnya, dipukul, ditekan dan tanpa pendidikan. Mereka akan melahirkan tujuh anak atau lebih, menghabiskan seluruh hidupnya berjuang seperti binatang untuk bertahan hidup dan akan meninggal sebelum usia 45. Apa yang kita, sebagai pengikut Buddha, lakukan untuk membayar apa yang telah diberikan orang hebat ini untuk dunia? Ketika saya sedang berpikir begitu, seorang pria India menghampiri saya dan bertanya dimana ia dapat menemukan ajaran Buddha. Di saat itulah saya bertemu dengan gerakan Ambedkarite—orang-orang dari komunitas “tak tersentuh” yang intinya adalah budak selama ribuan tahun, dipaksa untuk melakukan pekerjaan terlecehkan, yang sejak 1956 melepaskan borgol perbudakan dan diskriminasi dan menganut Buddhisme untuk melepaskan diri dari opresi kasta Hindu.

Kursus latihan komputer, bagian dari
Training Center untuk Pekerja Wanita
Ketika saya datang ke Nagpur dan bertemu dengan umat Buddhis Ambedkarite, saya bertemu dengan sekelompok orang yang hangat, ramah dan termotivasi yang siap untuk berjuang dan membantu diri mereka sendiri untuk keluar dari kemiskinan—itu adalah surga bodhisattva. Selama begitu lama di Australia dan dengan orang-orang Tibet, saya merasa terasing. Seandainya saya mencoba untuk hidup dengan kemurahan hati yang Buddhis-buddhis non-tradisional berikan pada saya, sayangnya, saya pasti sudah mati sekarang. Tetapi di tempat kumuh di India, saya diterima sebagai seorang monastik, dan dua kegemaran saya—keadilan sosial dan Dharma—datang bersamaan.  

Nagpur adalah kota yang dihuni sekitar tiga juta orang di India tengah. Ini terbilang kecil dengan standar India. Tempat ini kotor dan industrial, tetapi berkembang cepat dan ada optimisme di sana. Tidak ada orang Barat yang mengenalnya karena tidak ada hal historis untuk dilihat. Suhunya 48 derajat celcius di musim panas (sekitar 118 derajat Fahrenheit), dan ada tempat-tempat kumuh yang kondisinya cukup menggenaskan. Mayoritas orang-orang di tempat kumuh adalah orang tribal atau Dalit (yang sebelumnya adalah orang tak tersentuh atau kasta rendah). Orang-orang di daerah kumuh Nagpur umumnya bukanlah orang-orang bermasalah sosial, tapi adalah orang-orang desa yang pindah ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. 

Awal saya tinggal di Nagpur, saya mendatangi rumah-rumah orang untuk dana makanan dan memberikan doa dan ajaran. Orang-orang India sangat suka memberikan makanan dan mereka percaya rumah mereka akan terberkahi jika ada orang suci yang datang dan makan di sana. Selama bertahun-tahun berikutnya, orang-orang berusaha “menangkap” berkah saya. Saya terharu oleh kebaikan mereka, tapi saya mulai melihat saya tidak benar-benar membawa perubahan dalam pikiran mereka, memperdalam latihan Dharma mereka, dan meringankan kemiskinan mereka. Saya hanyalah simbol keingintahuan dan gengsi—seekor gajah putih. Orang-orang datang ke vihara dengan masalah-masalah sulit seperti malnutrisi, anak-anak sekarat, cacat, tidak ada pekerjaan, kekerasan rumah tangga, depresi, kemiskinan yang menghancurkan jiwa, kesulitan belajar, dan alkoholisme. Mereka minta doa dan obat ajaib untuk [menjawab] masalah-masalah yang sangat penting. Bagaimana bisa saya memeluk anak yang sekarat karena penyakit yang ada obatnya dan hanya berdoa? Bagaimana bisa saya, sebagai seorang bhiksuni, melihat orang-orang Buddhis termiskin di dunia dan tak melakukan apapun? Beberapa orang mengatakan pada saya bahwa pekerjaan sosial bukanlah pekerjaan sungguhan untuk seorang bhiksu or bhiksuni. Tetapi saya bertanya bagaimana bhiksu dan bhiksuni bisa tidak melakukan apapun di kondisi seperti ini.

Meningkatkan kesadaran akan kekerasan
dalam rumah tangga
Sesudah mengunjungi Nagpur selama satu setengah tahun dan mulai mengerti komunitas yang saya hadapi itu, dengan berkonsultasi dengan mereka saya mulai mengembangkan proyek-proyek sosial. Intinya saya melihat beberapa masalah utama untuk mereka—kualitas pekerjaan, kecukupan makanan, kesehatan, air, dan pendidikan. 

Saya telah menyaksikan orang-orang meninggal di rumah sakit pemerintah karena para staf (yang digaji kecil) mencuri tabung oksigen untuk dijual. Dua wanita melahirkan di satu ranjang dan diberikan operasi ceasarian yang tak perlu karena dokter mendapatkan lebih banyak uang dengan cara itu. Orang-orang dengan penyakit yang tak tersembuhkan diperah hingga bangkrut, kemudian diberi tahu bahwa mereka tak mungkin sembuh. Guru-guru menuliskan nama di daftar hadir dan kemudian tidak mengajari 70-an anak-anak di kelas. Anak-anak daerah kumuh yang telah dipukuli oleh guru-guru mereka meminta saya untuk memulai satu sekolah untuk mereka. Singkatnya, kebutuhan melebihi suplai. 

Kami adalah lembaga sosial tingkat masyarakat yang menyediakan pendidikan gratis bagi anak-anak daerah kumuh, dan makanan bagi anak-anak malnutrisi atau terlalu kurus. Kami menyediakan fasilitas pelatihan pekerjaan untuk wanita dan membawa orang-orang miskin ke rumah sakit. Kami melakukan konseling (kebanyakan wanita) yang menderita kekerasan rumah tangga.

Payal, umur 11, menerima sumbangan
untuk membayar uang sekolah
Kondisi bahwa setengah dari populasi di dunia hidup dengan $1,25 per hari dan tidak mendapatkan pendidikan, makanan, air minum yang baik, dan 80 persen dari sumber daya dunia berada di tangan 2 persen populasi dunia, atau seseorang dapat menghabiskan $1.000 untuk satu tas sementara orang lain kelaparan mengejutkan saya. Saya pikir tidak ada salahnya orang bahagia dan hidup enak, tapi saya pikir kita perlu sedikit perspektif tentang apa kebahagiaan sejati itu dan apa perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Bagaimana kita dapat bahagia ketika 40.000 anak-anak mati setiap hari karena kemiskinan? Bagaimana seorang pria bisa bahagia jika mata istrinya hitam lebam karena tinjunya? Bagaimana kita bisa menghamburkan makanan dan sumber daya sementara yang lainnya kelaparan dan kemudian [kita] katakan itu karena nasib buruk mereka sendiri atau karena pemerintah mereka yang korup (ketika seringkali pemerintah kita –negara barat-  yang koruplah yang menjual senjata pada mereka atau mendukung diktator). 

Saya percaya kebahagiaan bukanlah masalah pribadi; ini adalah masalah komunal. Pada akhirnya pencerahan adalah satu-satunya akhir pada penderitaan. Tetapi jika perut-perut orang ini keroncongan, mereka tidak bisa mencapai potensi manusia mereka untuk pencerahan; mereka hanya bisa bertarung seperti anjing. Manusia tidak seharusnya hidup seperti itu ketika kita punya cukup untuk kita semua. 

Di Bodhicitta Foundation, kami berusaha untuk membantu orang mencapai potensi manusia dan potensi spiritual mereka. Kita menjawab permasalahannya secara holistik—secara perasaan, fisik, dan spiritual—dan kita berusaha “menghapus debu” emosi-emosi negatif dan delusi untuk menyibak tanpa-kematian, keseluruhan dan perubahan dalam semua orang. 

Ini adalah jalan saya sebagai bhiksuni. Tak ada yang tahu ke mana jalan ini menuju. 

Untuk informasi bagaimana membantu, hubungi moondakini@hotmail.com atau kunjungi website Bodhicitta Foundation.

Ayya Yeshe Bodhicitta: Bhiksuni


Shittal Nilima dengan Sister Yeshe
Ayya Yeshe Bodhicitta adalah pimpinan Bodhicitta Foundation, suatu gerakan swadaya untuk mengurangi kemiskinan yang bekerja dengan umat-umat Buddhis termiskin dan teropresi di dunia—di Ambedkarite komunitas bekas “yang tak tersentuh” di India tengah. Lahir di Australia, pada usia 17 tahun ia menemukan Buddhisme ketika berwisata di India. Ia berlatih di tradisi Sakya di Buddhisme Tibet dan telah menjadi biarawati selama 13 tahun. Ia mengambil penahbisan penuh sebagai bhiksuni dari Thich Nhat Hahn, peraih nominasi Nobel Perdamaian .

Foto koleksi Ayya Yeshe dan Bodhicitta Foundation

No comments:

Post a Comment