Monday, August 4, 2014

Revolusi Bhikkhuni: Feminisme Religius dalam Buddhisme Thai

Tanaporn Pichitsakulchai


Brisbane, 15 Juni 2014 (Alochonaa): Karena sebagian besar masyarakat Thailand menganut Buddha Theravada, agama di Thailand tidak diragukan lagi berperan besar untuk identitas Thailand dan kehidupan sehari-hari. Dalam lingkup agama, wanita Thailand dibatasi secara tradisional ke peran umat awam wanita (upasika) dan Mae chi (biarawati Buddhis delapan sila) dalam konteks umat Buddha Thailand. Di luar Buddhisme, secara tradisional peran wanita dibatasi sebagai istri dan ibu. Dalam beberapa dekade terakhir telah ada upaya untuk menghidupkan kembali penahbisan bhikkhuni (biarawati) dalam Buddhisme Theravada Thai, meskipun upaya ini ditentang oleh Sangha Thailand dan komunitas agama yang lebih luas.

Pertama, teks ini akan mengidentifikasi makna keagamaan Buddhisme di Thailand. Kedua, teks ini akan mengeksplorasi peran Mae chi Thai di Buddhisme Theravada Thai, tentang status mereka yang lebih rendah dalam masyarakat dan peran ambigu mereka dalam agama, sebagai konteks dasar untuk menganalisis lebih mendalam mengenai revolusi bhikkhuni di Thailand. Ketiga, penahbisan bhikkhuni difokuskan melalui kesalingterkaitan antara agama dan jender, dan jelas menggambarkan rintangan agama dan masyarakat yang berhubungan dengan gerakan mereka. Akhirnya teks ini akan memperlihatkan bahwa gerakan bhikkhuni adalah bentuk baru dari feminisme agama, di mana perempuan Thailand menegosiasi ulang peran jender mereka dan menolak sistem patriarki yang dominan di masyarakat Thailand dan Sangha. Pada tingkat yang lebih luas kita melihat gerakan bhikkhuni sebagai suatu usaha untuk mencapai perubahan sosial yang lebih mendalam untuk mendukung kesetaraan jender di Thailand.

Buddhism Thai: Hanya Pria—Wanita Tidak Boleh Masuk?

Buddhisme telah lama dianggap sebagai lingkungan spiritual yang sangat didominasi oleh laki-laki, dan ini sebagian besar disebabkan oleh praktek fisik Buddhisme. Pria Thailand memiliki hak ekspresi formal dalam kehidupan Buddhis, terutama terlihat dalam praktek dana. Mereka berhak untuk menerima penahbisan penuh untuk menjadi biarawan, untuk melakukan ritual, serta untuk mengambil bagian dalam menjadi anggota vihara. Ini adalah realitas yang paling diterima masyarakat Thailand. Tentu saja, sebagai konsekuensi dari peran biarawan di masyarakat, orang awam anggota komunitas Buddhis memandang bhikkhu sebagai pendidik murni Buddhisme, dengan cara mengajarkan cara hidup Thai. Oleh karena itu, masyarakat Thailand dengan jelas menghormati dan memuja para biarawan sebagai atasan spiritual di Buddhisme Thai. Oleh karena itu sulit untuk membantah bahwa bhikkhu (biarawan laki-laki) telah lama menerima reputasi yang dihargai, dan telah menikmati status tertinggi di Buddhisme Thai.

Mengacu pada praktek tradisional di Buddhisme Theravada Thai, jika laki-laki Thai ingin meninggalkan dunia duniawi sepenuhnya dan menjalankan kehidupan rohani, bhikkhu adalah satu-satunya pilihan yang dipertimbangkan. Di sisi lain, bagi perempuan Thai, proses menjadi biarawati masih sulit untuk tercapai; oleh karena itu menjadi mae chi sering dipahami sebagai jalan religius yang paling memungkinkan bagi perempuan Thailand. Status mae chi yang dipandang rendah di Thailand juga sebagian besar bertanggung jawab atas tiadanya ordo bhikkhuni di Thailand. Akibatnya, sejumlah wanita yang mengakhiri kehidupan duniawi untuk menjalani kehidupan monastik penuh hanya bisa menjadi mae chi. Pentahbisan bhikkhuni ditentang, karena itu tidak ada jalan yang lebih tinggi yang dapat diambil oleh umat perempuan Buddhis Thai yang taat jika mereka ingin mendedikasikan hidup mereka ke biara.

Mae Chi di Thai

Bagi banyak wanita Thailand yang ingin menjalankan kehidupan monastik penuh, jalan menuju penahbisan wanita begitu sulit. Di Thailand banyak wanita Buddhis yang mencari kehidupan monastik ini sering menjadi mae chi. Mae chi dikenal sebagai kelompok terbesar dari petapa Buddhis perempuan dalam masyarakat Thailand saat ini.

Istilah mae chi dapat dijelaskan oleh dua kata pembentuknya. "Mae" secara umum didefinisikan berkaitan dengan ibu atau wanita, dan "chi" disebut sebagai seorang petapa yang umumnya mengenakan jubah putih dan kepala dicukur. Secara umum, mae chi disebut sebagai biarawati Buddha. Presentasi fisik dari mae chi melambangkan komitmen pemuja wanita terhadap delapan sila Buddhisme. Panggilan mae chi hanya diperuntukkan untuk wanita, sebagai sarana untuk masuk ke dalam kehidupan spiritual Tomalin Buddhisme Thai. Namun, sebagai akibat dari persepsi kelembagaan dan sosial terhadap mae chi, mereka biasanya dianggap lebih rendah dibandingkan dengan bhikkhu.

Selanjutnya, sehubungan dengan bidang agama, dalam hal "ladang jasa baik" untuk para mae chi, dimengerti bahwa karena posisi mereka yang sekunder, para mae chi dipandang secara nilai religius lebih rendah dibandingkan bhikkhu dan bhikkhuni. Di Buddhisme Thai, peran publik orang-orang yang menjalankan kehidupan monastik yang terlihat [oleh masyarakat] sangat berperan dalam membentuk persepsi publik dan nilai jasa mereka. Para mae chi sering dilihat sebagai pembantu rumah tangga dan juru masak, yang tugasnya menjaga biara untuk para biarawan. Tanggung jawab ini menyebabkan berkurangnya waktu meditasi untuk para mae chi dan sedikitnya waktu untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat Thailand, tidak seperti para bhikkhu dan bhikkhuni. Tugas chi mae dipahami sebagai pelayan untuk para biarawan laki-laki, bukan terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan jasa baik.

Mengingat bahwa perempuan Thailand dipandang sebagai "pengurus" laki-laki, didebatkan bahwa pandangan yang sama juga terjadi kepada mae chi dalam bidang agama. Ini secara tak langsung mengatakan bahwa perempuan adalah fasilitator  paling signifikan kepada Sangha, karena mereka menyediakan makanan dan bersih-bersih untuk para biarawan laki-laki. Dengan demikian, dapat dicatat bahwa peran ini mencerminkan perspektif perempuan Thailand sebagai "pengasuh" di dalam kerangka sosial dan agama.

Status Religius Ambigu dari Mae Chi

Kerancuan status mae chi makin buram dalam keseluruhan Sangha. Posisi tidak jelas juga ditambahkan dengan perlakuan yang tidak konsisten terhadap mae chi oleh struktur kelembagaan Thailand.
Di satu sisi posisi resmi oleh negara Thailand adalah bahwa mae chi tidak termasuk dalam payung keagamaan dan tidak memiliki hak-hak yang dimiliki para biarawan. [Namun] menurut Kementerian Dalam Negeri, mae chi dipandang sebagai "orang ditahbiskan yang terampil" yang intinya memberikan status yang sama dengan biarawan. Hal ini menyebabkan para mae chi, seperti para biarawan, tidak dapat berpartisipasi dalam proses pemungutan suara, karena mereka telah menanggalkan semua komitmen duniawi.

Di sisi lain, Departemen Agama menganggap mae chi tidak berperan di dunia agama, yang berarti mae chi tidak mempunyai ruang untuk berekspresi dalam konteks Buddhisme Thai. Dengan kata lain, mae chi tidak berhak menerima pendidikan di Buddhisme Thai. Selain itu, Departemen Komunikasi juga memandang Mae chi sebagai hanya sebagai orang awam wanita [upasika]. Mae chis tidak menerima keringanan-keringanan pemerintah, tidak seperti biarawan laki-laki.
Sudut pandang yang amat berbeda ini menambah ketidakjelasan posisi Mae chi dalam masyarakat Thailand. Tidak diragukan bahwa mae chi tidak pernah mendapatkan hak istimewa yang diberikan oleh Buddhisme Thai sekaligus mengalami keterbatasan-keterbatasan religius dari Sangha.

Apa yang Mendorong Revolusi Bhikkhuni di Thailand—dan Apakah yang Dikatakan Buddha?

Dalam menganalisis upaya-upaya untuk meningkatkan status wanita di Buddhisme Thai, kita dapat melihat dua tujuan utama. Pertama, motivasi untuk mencapai kesetaraan religius. Bukan rahasia lagi bahwa hierarki keagamaan di Thailand, atau Sangha, memberikan kewenangan besar kepada pria. Oleh karena itu pentahbisan bhikkhuni perempuan dapat dianggap sebagai jembatan penting untuk menutup kesenjangan antara diskriminasi jender di Thailand. Kita memandang revolusi bhikkhuni sebagai sarana untuk membangun "perempuan sama seperti laki-laki."

Sebagian besar kontroversi seputar penahbisan perempuan di Thailand berkutat dengan ketidakjelasan dalam sejarah apakah penahbisan bhikkhuni pernah benar-benar dipraktekkan secara mendalam dalam Buddhism Theravada Thai. Ini adalah posisi resmi dari Sangha Thai, yang menyatakan bahwa bhikkhuni tidak dapat dimasukkan dalam lingkup agama Thai, karena secara historis mereka belum pernah dimasukkan, dan karena itu menerima bhikkhuni sekarang akan menandai pergeseran dari ajaran asli Theravada. Namun, ada divisi yang kuat dalam masyarakat Thailand yang berkaitan dengan apakah tradisi kuat pentahbisan bhikkhuni sebelumnya ada di Buddhisme Theravada. Posisi dominan dipegang oleh Sangha Thailand adalah bahwa praktek penahbisan perempuan telah lama punah dalam tradisi Theravada, dan oleh karena itu tidak terdapat relevansi untuk dibangkitkan sekarang.

Sebaliknya, jika kita merujuk pada ordo Buddha, diuraikan bahwa "Buddhisme pada umumnya dan Sang Buddha pada khususnya telah bertanggung jawab dalam meningkatkan status wanita."  Sangat diyakini bahwa status wanita dapat ditingkatkan dalam Buddhisme, karena Buddha menganggap wanita seterampil laki-laki dalam konteks latihan spiritual dan pencapaian spiritual. Sementara beberapa pendukung mengutip ajaran asli Buddha melalui empat pilar Sangha, yang terdiri dari para bhikkhu, bhikkhuni, orang awam pria (upasaka) dan orang awam wanita (upasika), kutipan ini tidak dapat memenangkan posisi formal Thai Sangha tentang tidak adaya penahbisan wanita di Thailand.
Selain itu, prosedur penahbisan untuk bhikkhuni yang juga disebut sebagai alasan untuk menentang kebangkitan bhikkhuni Buddhisme Theravada di Thailand. Menurut Sangha, agar bhikkhuni untuk menerima pentahbisan penuh, proses tersebut harus dilakukan oleh bhikkhu dan bhikkhuni preceptors selama upacara penahbisan. Lebih penting lagi, untuk melakukan proses penahbisan, harus hadir setidaknya lima biarawan dan lima biarawati. Ini adalah kelemahan lain dalam Buddhisme Theravada  yang dimanfaatkan Sangha. Karena pada kenyataannya tidak ada eksistensi historis bhikkhuni di Theravada Thailand, penahbisan perempuan tidak dapat dilakukan.

Kesetaraan Jender adalah Inti Perdebatan

Faktor kedua yang mendorong kebangkitan bhikkhuni dapat dijelaskan oleh ketidaksetaraan gender di masyarakat. Penahbisan bhikkhuni dianggap sebagai langkah penting untuk mencapai kesetaraan jender dalam masyarakat Thailand. Pengamat yang dekat dengan gerakan tersebut berpendapat bahwa gerakan bhikkhuni dipandang sebagai "strategi lokal" untuk meningkatkan status perempuan dalam masyarakat Thailand. Peningkatan status dalam masyarakat juga akan mempengaruhi peningkatan status dalam agama di Thailand karena kedua bidang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal alasan ini, banyak sarjana telah berkomentar bahwa gerakan bhikkhuni adalah resistensi langsung ke masyarakat Thailand yang berdasarkan pada struktur patriarkal yang dominan, di mana laki-laki lebih dihargai baik dalam kehidupan sosial dan keagamaan.

"Upasampada" (hak pentahbisan dimana seseorang menjadi monastik Buddhis) adalah harapan Buddhis bagi wanita untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuni. Ini seharusnya adalah sarana mengatasi ketidaksetaraan struktural antara pria dan wanita Thailand dalam masyarakat. Argumen ini makin didorong oleh salah seorang sarjana Thai, yang menjelaskan bahwa penahbisan bhikkhuni menyediakan pilihan penting untuk anak perempuan pedesaan Thai yang miskin untuk menghindari masa depan yang suram, di mana sedikit pilihan yang tersedia untuk pendidikan, dan keadaan biasanya membawa mereka ke dalam kehidupan terlarang dalam industri hiburan atau sebagai buruh garmen murah. Peran positif dari bhikkhuni dalam masyarakat Thailand dapat dilihat dalam satu  komunitas bhikkhuni yang menyarankan wanita muda yang telah menjadi korban pelecehan seksual untuk ditahbiskan. Ini adalah cara memberi korban sebuah identitas baru dalam masyarakat Thailand, identitas yang tidak terkait dengan masa lalu mereka. Meski mereka masih akan menghadapi tantangan sebagai bhikkhuni, mereka bisa lepas dari kehidupan aib dan malu yang mereka derita dari masyarakat Thailand yang lebih luas.

Untuk memperkuat alasan mengapa penahbisan bhikkhuni tidak diterima di Thailand,  kita perlu melihat relasi jender di Thailand, dan struktur patriarki masyarakat Thai. Tidak cukup hanya berargumen bahwa hanya struktur agama Buddha Theravada semata menyangkal penahbisan bhikkhuni di Thailand. Pemerintah Sri Lanka dikutip sebagai studi kasus yang berguna untuk pemulihan bhikkhuni. Sri Lanka yang juga mayoritas negara Buddhis Theravada, tetapi tidak seperti Thailand, Sri Lanka menerima penahbisan bhikkhuni dan telah melakukannya sejak tahun 1998.
Sri Lanka telah mengembangkan sikap positif terhadap penahbisan bhikkhuni. Praktek-praktek yang berhasil ini telah mengantarkan pada penerimaan penuh bhikkhuni dalam ritual-ritual Buddhis Theravada di Sri Lanka. Sejauh ini, sangha bhikkhuni ofisial di Sri Lanka telah berangsur-angsur maju. Selain itu, Sri Lanka adalah satu-satunya negara Buddhis Theravada memiliki biarawan pria dan wanita, hasil dari penahbisan ganda. Banyak wanita Thai sering memilih untuk melakukan perjalanan ke Sri Lanka untuk ditahbiskan, namun, sekembalinya ke Thailand penahbisan mereka tidak diakui oleh Sangha Thai.

Revolusi Bhikkhuni dan Feminisme Keagamaan

Dalam usaha untuk menjelaskan dukungan bagi gerakan bhikkhuni, para sarjana telah menyoroti gerakan bhikkhuni melalui suatu narasi feminis. Melalui perspektif ini, didebat bahwa rekonstruksi ini mungkin menghadapi dan menyesuaikan sudut pandang sosial yang berkontribusi terhadap penindasan berbasis jender di Thailand. Seperti disebutkan sebelumnya, sikap sosial terhadap mae chi Thai adalah sebagai bawahan, dan bahwa upaya mereka untuk menjalankan kehidupan monastik dipandang sebagai pelarian dari peran realitas jender mereka. Disebut-sebut dalam masyarakat Thailand bahwa ada ketidakpatutat yang dikaitkan dengan perempuan yang ingin meninggalkan duniawi, dan alhasil menggambarkan suatu tingkat kegagalan dalam hidup. Karena literatur tentang gerakan bhikkhuni Thailand sangat sedikit, kita hanya tahu sedikit tentang apa yang memotivasi penahbisan wanita. Namun, beberapa petunjuk menunjuk tentang  rendahnya status perempuan di Thailand;

"Mengapa pintu bagi perempuan untuk ditahbiskan terkunci tapi pintu bagi perempuan untuk pergi ke prostitusi begitu terbuka lebar? Jika kita membuka pintu bagi perempuan untuk ditahbiskan, bukankan itu membantu mengangkat status perempuan. "(The Age, 2004)
Dari dialog ini, dapat diamati bahwa masyarakat menganggap wanita memiliki peran terbatas. Oleh karena itu jika pemberian penahbisan perempuan dimungkinkan, status sosial perempuan akan terangkat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan secara singkat bahwa perempuan Buddhis Thai yang ingin menjadi bhikkhuni harus menerima lebih banyak pengakuan sosial sebagai sarana untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat Thailand dalam mendapatkan kesetaraan jender akhirnya dapat mengabulkan cita-cita mereka untuk diterima dalam Buddhisme Theravada Thai, dan penahbisan perempuan secara resmi dapat terjadi.

Penutup

Kesimpulannya, diskusi ini menyoroti ketidaksetaraan jender dalam Buddhisme Theravada di Thailand, dan masyarakat Thailand yang lebih luas. Setelah mengeksplorasi peran mae chi di Thai, terpampang dengan jelaslah status bawahan perempuan di Buddhisme Thai. Meskipun tidak semua umat Buddha wanita Thai mengejar kehidupan monastik dan tidak semua mae chi ingin ditahbiskan sebagai bhikkhuni, kasus-kasus ini menggambarkan peran bawahan wanita Thai dibandingkan dengan rekan-rekan pria mereka. Status rendah diberikan kepada mae chi menunjukkan hambatan religius dan sosial yang mendera para bhikkhuni. Gerakan bhikkhuni adalah resistensi langsung kepada Sangha Thai dan masyarakat patriarkal Thai, yang menantang penahbisan wanita dan restrukturisasi peran gender di Thailand.

Thailand sedang mengalami perubahan sosial yang lambat, di mana wanita sekarang menolak peran tradisional mereka sebagai istri dan ibu. Pada inti dari kebangkitan bhikkhuni adalah usaha sadar agar masyarakat menghormati wanita sama dengan pria, dan karena agama di Thailand begitu rumit terkait dengan praktik sosial sehari-hari, penerimaan agama menjamin penerimaan di masyarakat. Gerakan bhikkhuni digunakan sebagai alat untuk meningkatkan status wanita dalam masyarakat, pertama memberikan penerimaan agama, dan akibatnya pengakuan jender lebih besar dalam masyarakat Thailand. Oleh karena itu, gerakan bhikkhuni dianggap sebagai bentuk baru feminisme agama di Thailand.

Artikel ini dicetak ulang atas izin dari Alochonaa.

Tanaporn Pichitsakulchai


Tanaporn Pichitsakulchai adalah mahasiswa internasional Thailand di semester terakhirnya di Griffith University, Australia. Tanaporn saat ini sedang menyelesaikan gelar Master of Asian Studies. Teks ini adalah versi blog dari sebuah esai akademik disampaikan sebelumnya untuk penyelesaian program akademik Tanaporn

No comments:

Post a Comment