Stav bersama ayahnya |
Cinta dan dukungan yang ayah saya berikan adalah salah satu harta terbesar yang saya terima dalam kehidupan ini. Ia adalah pria luar biasa. Ia lahir dalam kemiskinan dan kekurangan pada tahun 1939, yang diperburuk dengan dibunuhnya ayahnya pada tahun 1946, oleh orang-orang sekampungnya dan sesudah menyaksikan pemerkosaan anak perempuan tertuanya yaitu kakak tertua ayah saya yang saat itu berusia 19 tahun. Ayah saya tidak menunjukkan kegetiran atau kemarahan yang seringkali mengikuti tragedi seperti ini. Ia adalah pria yang lembut, dermawan, sederhana, suka humor dan fantastis. Sejujurnya, ia memiliki banyak kualitas hebat dari Sang Buddha—cinta dan kemurahan hati yang fenomenal. Ia juga percaya pada karma, ucapan benar, tindakan benar, dan menjiwai kebaikan-hati dan cinta.
Ia menyayangi dan mencintai saya tanpa kondisi, sebagaimana saya apa adanya. Ia tidak menunggu saya untuk menemukan suami yang tepat atau pekerjaan bergaji tinggi. Ia hanya meminta saya untuk berbahagia. Ia menyetir taksi ketika saya berusia 20an ketika saya diantara pekerjaan dan berpergian, dan ia begitu bangga pada saya. Ketika saya sangat cemas tentang apakah saya akan menemukan pekerjaan yang saya cintai—sehingga saya bekerja untuk bank dan perusahaan-perusahaan akuntansi di bidang audit dan kebangkrutan, yang menutup perusahaan dan menyatakan kebangkrutan individu-individu—ia hanya meminta saya untuk tenang dan menikmati berpergian ketika saya masih punya energi untuk itu.
Ayah saya juga mempengaruhi pilihan pekerjaan saya—di bidang bantuan. Ketika saya kecil, ia menceritakan tentang masa kecilnya, ketika dia selalu kelaparan, dan saya terkejut ketika mengetahui masih banyak orang di tahun 1980an yang masih kelaparan. Saya ingat saya ketika itu berpikir, mengapa kita semua tidak marah ketika lebih dari satu miliar orang kelaparan? Saya teralihkan dan bereksperimen dengan beberapa karir berbeda, tetapi satu tahun sebelum ayah meninggal, saya menemukan kembali kesukaan saya, kembali ke bangku kuliah untuk mempelajari perkembangan internasional, dan mendapatkan pekerjaan di agensi bantuan pemerintah Australia selama sembilan tahun. Pada tahun 2006, mengikuti mantan pasangan saya, saya pergi ke Bangladesh dan mendapatkan pekerjaan di sebuah LSM internasional yang bergerak di bidang kedaruratan dan bantuan. Selama empat setengah tahun, saya tinggal di negara dimana saya dikelilingi orang-orang kelaparna—50% anak-anak di Bangladesh malnutrisi. Saya berusaha untuk memahami ini dan bertanya: Apakah karma mereka yang membawa mereka pada kekurangan dan penderitaan ini?
Salah satu harta tak terduga dengan pindah ke Bangladesh adalah menemukan Buddhisme. Siapa sangka ini bisa terjadi di negara yang mayoritas Muslim. Grup kecil kami bertemu setiap Sabtu untuk bermeditasi dan mengeksplorasi Buddhisme. Kami punya kesempatan untuk retret-retret di Dhaka yang dipimpin oleh guru-guru fantantis dari Kopan Monastery dan di Dhaka-lah saya bertemu Bhiksuni Karma Lekshe Tsomo, yang latihannya dan nilai-nilai kehidupan Buddhis-nya telah menjadi sumber inspirasi besar bagi saya.
Yang Mulia Karma Lekshe Tsomo, bersama Stav dan anggota komunitas lainnya di Dhaka, Bangladesh. |
Saya tidak tahu bagaimana saya menghadapi hal-hal tanpa latihan spiritual saya. Ajaran-ajaran Buddhis tentang kemelekatan, delusi, dan bagaimana kita menciptakan kesengsaraan kita sendiri begitu masuk akal bagi saya. Grup kami di Dhaka mengikuti tulisan-tulisan Jack Cornfield, Pema Chodron, dan guru-guru hebat lainnya. Dharma telah menjadi harta besar saya dalam mengelola kehidupan sehari-hari dan kejadian besar dalam hidup. CD Jack Cornfield tentang pemaafan membantu saya ketika hubungan saya runtuh di Dhaka. Retret 10-hari di Kopan Monastery membantu saya berdamai dengan ibu saya, mendapat penerimaan, dan menghindari kesengsaraan yang timbul dari delusi tentang bagaimana hubungan kami seharusnya.
Dharma terus membantu saya menghadapi kesengsaraan, sistem yang tidak masuk akal, dan praktek-praktek yang tidak logis dan tidak adil yang saya hadapi. Kehidupan sebagai seorang ekspatriat, yang saya jalani satu dekade terakhir ini, adalah pengalaman tentang perubahan—membuat teman baru, mengucapkan sampai jumpa, pindah dari rumah ke rumah, dan banyak perpisahan. Mengerti ketidak-kekalan, mempraktekkan ketidak-melekatan, dan melepas, bukannya menggenggam, sangatlah bermanfaat.
Ruang meditasi, Phnom Penh, Kamboja |
Saya terinspirasi oleh apa yang Lekshe tulis di esai yang berjudul Women as Leaders in Buddhism (Wanita sebagai Para Pemimpin di Buddhisme), “Dari pandangan Buddhis, kualitas yang dihargai dalam seorang pemimpin yang hebat adalah kualitas yang dihargai dari seorang yang hebat. Contohnya, orang yang berlatih dalam enam kesempurnaan: kedermawanan, perilaku etis, kesabaran, upaya yang gembira, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Kedermawanan berarti dermawan dengan waktu, energi, dan sumber daya seseorang, yang menunjukkan komitmen seseorang dan menginspirasi orang lain yang sama berkomitmennya.
Perilaku etis berarti sungguh dalam ucapan dan jujur dalam tindakan—keuangan, misalnya—yang menginspirasi kepercayaan dan mendukung yang lainnya untuk lebih sesungguhnya dan jujur pula. Kesabaran berarti menahan diri dari kemarahan dan agresi, bahkan ketika diprovokasi, yang menciptakan lingkungan yang damai dan menyenangkan dimana orang-orang dapat bekerja bersama dalam harmoni. Upaya dengan gembira berarti rajin dan tekun, bekerja dengan energi penuh seseorang, yang menginspirasi yang lain juga untuk melakukan yang terbaik. Konsentrasi berarti menjaga perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dilakukan dan mewaspadai pikiran, ucapan, dan tindakannya. Kebijaksanaan berarti mengerti dan memiliki pandangan mendalam, yang menumbuhkan persepsi jernih dan cara-cara yang terampil dalam merespon situasi-situasi kompleks dengan cara yang konsisten dengan nilai-nilai Buddhis."[1]
Kalimat ini benar-benar menyentuh saya, “Seseorang yang tidak terbatas oleh kepentingan-sendiri, melainkan bertindak karena kepedulian murni untuk semua, secara alami dihormati yang lain dan diakui sebagai seorang pemimpin yang baik."[2] Yang menginspirasi saya adalah latihan kewaspadaan membuat seseorang lebih fokus dan berenergi dan mampu bekerja lebih efektif.
Komunitas Dharma di Phnom Penh, Kamboja |
Saya tak pernah membayangkan perjalanan saya dalam hidup akan membawa saya ke tempat saya saat ini. Berlatih Dharma membantu saya dalam misi hidup saya untuk membuat yang lainnya bernafas lebih lega. Ini juga membantu saya menemukan kebebasan internal—pengalaman-pengalaman ketenang-seimbangan dan keluasan internal adalah keajaiban murni. Dharma dan Sangha benar-benar adalah salah satu harta terbesar saya!
Stav Zotalis: Direktur Negara bagi Care International
Stav memiliki pengalaman selama 15 tahun di bidang pengembangan internasional untuk CARE dan AusAID, memimpin program-program pengembangan dan kedaruratan; serta pengalaman lima tahun di bidang keuangan.
Berasal dari Sydney, Australia, Stav memiliki gelar S2 di bidang International Relations dan S1 di bidang Commerce dari University of New South Wales di Australia.
No comments:
Post a Comment