Monday, October 13, 2014

Menemukan Buddhisme di Bangladesh

Stav Zotalis

Stav bersama ayahnya
Perjalanan saya ke Buddhisme sungguh tak disangka. Saya lahir di keluarga migran Yunani Ortodoks 48 tahun lalu. Meskipun dilahirkan di Sydney, Australia, rasanya seperti tinggal di desa Yunani. Saya berbahasa Yunani di rumah, kebanyakan teman saya adalah orang Yunani, saya menghadiri sekolah Yunani (sesudah sekolah berbahasa Inggris reguler), menghadiri sekolah minggu Yunani Ortodoks, menari tarian Yunani, makan makanan Yunani, memimpikan impian Yunani (yaitu menikah dengan pria profesional Yunani, dua anak, pekerjaan dengan gaji tinggi, dan rumah dua lantai di daerah bagus). Pendeta Yunani Ortodoks memainkan peranan penting dalam hidup saya, meskipun pengaruhnya lebih pada moral dan sosial daripada spiritual. Ia membaptis saya, mendirikan sekolah Yunani yang saya hadiri, dan selalu hadir dalam acara penting seperti Natal, Paskah, pernikahan dua kakak perempuan saya kepada pria profesional Yunani, dan sayangnya, juga pada penguburan ayah saya ketika saya berusia 29 tahun.


Cinta dan dukungan yang ayah saya berikan adalah salah satu harta terbesar yang saya terima dalam kehidupan ini. Ia adalah pria luar biasa. Ia lahir dalam kemiskinan dan kekurangan pada tahun 1939, yang diperburuk dengan dibunuhnya ayahnya pada tahun 1946, oleh orang-orang sekampungnya dan sesudah menyaksikan pemerkosaan anak perempuan tertuanya yaitu kakak tertua ayah saya yang saat itu berusia 19 tahun. Ayah saya tidak menunjukkan kegetiran atau kemarahan yang seringkali mengikuti tragedi seperti ini. Ia adalah pria yang lembut, dermawan, sederhana, suka humor dan fantastis. Sejujurnya, ia memiliki banyak kualitas hebat dari Sang Buddha—cinta dan kemurahan hati yang fenomenal. Ia juga percaya pada karma, ucapan benar, tindakan benar, dan menjiwai kebaikan-hati dan cinta.

Ia menyayangi dan mencintai saya tanpa kondisi, sebagaimana saya apa adanya. Ia tidak menunggu saya untuk menemukan suami yang tepat atau pekerjaan bergaji tinggi. Ia hanya meminta saya untuk berbahagia. Ia menyetir taksi ketika saya berusia 20an ketika saya diantara pekerjaan dan berpergian, dan ia begitu bangga pada saya. Ketika saya sangat cemas tentang apakah saya akan menemukan pekerjaan yang saya cintai—sehingga saya bekerja untuk bank dan perusahaan-perusahaan akuntansi di bidang audit dan kebangkrutan, yang menutup perusahaan dan menyatakan kebangkrutan individu-individu—ia hanya meminta saya untuk tenang dan menikmati berpergian ketika saya masih punya energi untuk itu.

Ayah saya juga mempengaruhi pilihan pekerjaan saya—di bidang bantuan. Ketika saya kecil, ia menceritakan tentang masa kecilnya, ketika dia selalu kelaparan, dan saya terkejut ketika mengetahui masih banyak orang di tahun 1980an yang masih kelaparan. Saya ingat saya ketika itu berpikir, mengapa kita semua tidak marah ketika lebih dari satu miliar orang kelaparan? Saya teralihkan dan bereksperimen dengan beberapa karir berbeda, tetapi satu tahun sebelum ayah meninggal, saya menemukan kembali kesukaan saya, kembali ke bangku kuliah untuk mempelajari perkembangan internasional, dan mendapatkan pekerjaan di agensi bantuan pemerintah Australia selama sembilan tahun. Pada tahun 2006, mengikuti mantan pasangan saya, saya pergi ke Bangladesh dan mendapatkan pekerjaan di sebuah LSM internasional yang bergerak di bidang kedaruratan dan bantuan. Selama empat setengah tahun, saya tinggal di negara dimana saya dikelilingi orang-orang kelaparna—50% anak-anak di Bangladesh malnutrisi. Saya berusaha untuk memahami ini dan bertanya: Apakah karma mereka yang membawa mereka pada kekurangan dan penderitaan ini?

Salah satu harta tak terduga dengan pindah ke Bangladesh adalah menemukan Buddhisme. Siapa sangka ini bisa terjadi di negara yang mayoritas Muslim. Grup kecil kami bertemu setiap Sabtu untuk bermeditasi dan mengeksplorasi Buddhisme. Kami punya kesempatan untuk retret-retret di Dhaka yang dipimpin oleh guru-guru fantantis dari Kopan Monastery dan di Dhaka-lah saya bertemu Bhiksuni Karma Lekshe Tsomo, yang latihannya dan nilai-nilai kehidupan Buddhis-nya telah menjadi sumber inspirasi besar bagi saya.

Yang Mulia Karma Lekshe Tsomo, bersama Stav dan anggota komunitas lainnya di Dhaka, Bangladesh.
Tinggal di Bangladesh memberikan saya kesempatan besar untuk berlatih Buddhisme, mulai dari berkendara ke kantor, yang membutuhkan antara 12 menit hingga 1,5 jam dan terkadang membutuhkan kesabaran besar, hingga orang-orang yang jumlahnya tak terhitung yang datang ke kantor saya setiap hari. Pekerjaan saya sebagai asisten direktur negara dari LSM internasional besar, saya memonitor tim yang terdiri dari lebih dari 500 orang yang bekerja di bidang kedaruratan dan pengembangan. Seperti yang selalu diingatkan teman spiritual saya yang bijak, Laura, saat kami berjalan pagi, saya perlu memastikan saya mengikuti paham “tidak menimbulkan luka.” Ketidak-setaraan di sekitar saya begitu besar dan priviledge yang saya miliki sebagai wanita kulit putih “kaya” begitu kentara. Dengan hak-hak istimewa itu, saya merasa, datang pula tanggung jawab—tanggung jawab untuk melakukan kedermawanan, kesabaran, empati dan cinta kasih.

Saya tidak tahu bagaimana saya menghadapi hal-hal tanpa latihan spiritual saya. Ajaran-ajaran Buddhis tentang kemelekatan, delusi, dan bagaimana kita menciptakan kesengsaraan kita sendiri begitu masuk akal bagi saya. Grup kami di Dhaka mengikuti tulisan-tulisan Jack Cornfield, Pema Chodron, dan guru-guru hebat lainnya. Dharma telah menjadi harta besar saya dalam mengelola kehidupan sehari-hari dan kejadian besar dalam hidup. CD Jack Cornfield tentang pemaafan membantu saya ketika hubungan saya runtuh di Dhaka. Retret 10-hari di Kopan Monastery membantu saya berdamai dengan ibu saya, mendapat penerimaan, dan menghindari kesengsaraan yang timbul dari delusi tentang bagaimana hubungan kami seharusnya.

Dharma terus membantu saya menghadapi kesengsaraan, sistem yang tidak masuk akal, dan praktek-praktek yang tidak logis dan tidak adil yang saya hadapi. Kehidupan sebagai seorang ekspatriat, yang saya jalani satu dekade terakhir ini, adalah pengalaman tentang perubahan—membuat teman baru, mengucapkan sampai jumpa, pindah dari rumah ke rumah, dan banyak perpisahan. Mengerti ketidak-kekalan, mempraktekkan ketidak-melekatan, dan melepas, bukannya menggenggam, sangatlah bermanfaat.

Ruang meditasi, Phnom Penh, Kamboja
Saya pernah memberitahu Lekshe bahwa saya ingin menjalankan organisasi yang berlandaskan pada nilai-nilai Buddhis dan saya mendapatkan kesempatan itu ketika saya pindah ke Kamboja pada tahun 2010 untuk mengambil peran sebagai direktur negara bagi sebuah organisasi pengembangan internasional. Saya beruntung bahwa nilai dasar dari organisasi saya adalah rasa hormat, integritas, komitmen, dan mutu. Nilai-nilai ini mempengaruhi baik pekerjaan pengembangan yang kami lakukan, sekaligus lingkungan kerja yang saya coba ciptakan bagi semua staf saya.

Saya terinspirasi oleh apa yang Lekshe tulis di esai yang berjudul Women as Leaders in Buddhism (Wanita sebagai Para Pemimpin di Buddhisme), “Dari pandangan Buddhis, kualitas yang dihargai dalam seorang pemimpin yang hebat adalah kualitas yang dihargai dari seorang yang hebat. Contohnya, orang yang berlatih dalam enam kesempurnaan: kedermawanan, perilaku etis, kesabaran, upaya yang gembira, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Kedermawanan berarti dermawan dengan waktu, energi, dan sumber daya seseorang, yang menunjukkan komitmen seseorang dan menginspirasi orang lain yang sama berkomitmennya.

Perilaku etis berarti sungguh dalam ucapan dan jujur dalam tindakan—keuangan, misalnya—yang menginspirasi kepercayaan dan mendukung yang lainnya untuk lebih sesungguhnya dan jujur pula. Kesabaran berarti menahan diri dari kemarahan dan agresi, bahkan ketika diprovokasi, yang menciptakan lingkungan yang damai dan menyenangkan dimana orang-orang dapat bekerja bersama dalam harmoni. Upaya dengan gembira berarti rajin dan tekun, bekerja dengan energi penuh seseorang, yang menginspirasi yang lain juga untuk melakukan yang terbaik. Konsentrasi berarti menjaga perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dilakukan dan mewaspadai pikiran, ucapan, dan tindakannya. Kebijaksanaan berarti mengerti dan memiliki pandangan mendalam, yang menumbuhkan persepsi jernih dan cara-cara yang terampil dalam merespon situasi-situasi kompleks dengan cara yang konsisten dengan nilai-nilai Buddhis."[1]

Kalimat ini benar-benar menyentuh saya, “Seseorang yang tidak terbatas oleh kepentingan-sendiri, melainkan bertindak karena kepedulian murni untuk semua, secara alami dihormati yang lain dan diakui sebagai seorang pemimpin yang baik."[2] Yang menginspirasi saya adalah latihan kewaspadaan membuat seseorang lebih fokus dan berenergi dan mampu bekerja lebih efektif.

Komunitas Dharma di Phnom Penh, Kamboja
Ketika saya pindah ke Kamboja, negara yang mayoritas Buddhis, hampir empat tahun lalu, saya yakin saya akan menemukan komunitas Dharma. Wat Lanka adalah tempat yang bagus untuk bermeditasi dengan tenang, tapi yang teramat bermanfaat dari grup meditasi saya di Dhaka adalah percakapan dan saling bertukar informasi sesudah meditasi tenang. Ketika Lekshe mengunjungi saya di Phnom Penh di Agustus 2011, ia berbaik hati menawarkan untuk memberikan ajaran setengah-hari di rumah saya. Karena saya masih baru di Phnom Penh, saya tak tahu seberapa banyak orang yang tertarik. Mengagetkan saya, 45 orang datang untuk ajaran Lekshe. Sejak itu, kami bertemu setiap minggu di rumah saya. Sekitar lima hingga 25 orang datang untuk meditasi Minggu dan ada lebih dari 250 orang di mailing list kami. Kami sangat beruntung memiliki Reverend Beth Goldring sebagai guru Dharma reguler kami dan mempunyai keberuntungan untuk memiliki guru-guru dari penjuru dunia datang mengunjungi grup kami pula.

Saya tak pernah membayangkan perjalanan saya dalam hidup akan membawa saya ke tempat saya saat ini. Berlatih Dharma membantu saya dalam misi hidup saya untuk membuat yang lainnya bernafas lebih lega. Ini juga membantu saya menemukan kebebasan internal—pengalaman-pengalaman ketenang-seimbangan dan keluasan internal adalah keajaiban murni. Dharma dan Sangha benar-benar adalah salah satu harta terbesar saya!

Stav Zotalis: Direktur Negara bagi Care International


Stav memiliki pengalaman selama 15 tahun di bidang pengembangan internasional untuk CARE dan AusAID, memimpin program-program pengembangan dan kedaruratan; serta pengalaman lima tahun di bidang keuangan.

Berasal dari Sydney, Australia, Stav memiliki gelar S2 di bidang International Relations dan S1 di bidang Commerce dari University of New South Wales di Australia.

No comments:

Post a Comment