Monday, February 3, 2014

Urusan di Balik Jubah Perca

Ryūmon Hilda Gutiérrez Baldoquín Sensei


Hari ini saya jalan-jalan sore di jalan yang dinamai Cemetery Road (Jalan Kuburan). Jalan ini tidak panjang—hanya seperempat mil [sekitar 400 meter]. Jika anda jalan ke arah utara, jalannya meliuk ke kanan, menurun ke  South Road, jalan utama yang memotong pusat kota. Jalan Kuburan berakhir di sana dan bertemu South Road, dimana jalan ini lagi-lagi meliuk naik sepanjang sekitar 600 meter, seperti tanpa kurung yang menghadap ke atas, atau sebuah senyum. Di kota kecil dan sangat pedesaan di New England ini—tanpa lampu jalan, tanpa kantor pos, salah satu dari 18 kota-kota kering di Commonwealth—dimana saya tinggal empat tahun belakangan ini, sangat umum ditemukan jalan seperti ini.

Kota ini adalah “komunitas berhak-untuk-bertani dan ada hukum hak-untuk-bertani yang berlaku,” seru pengumuman di Kantor Pajak di kota itu. Saya tidak pernah merasa diri sendiri seorang petani, karena berasal dari silsilah keturunan pembantu, pembuat roti, juru masak, buruh, pekerja bangunan, petugas pom bensin, pemiliki kios, penjahit, dan ahli kecantikan. Namun, dengan tinggal di sana, saya merasakan kebahagiaan dan kepuasan mendalam bahwa tiga gundukan kebun sayuran—berukuran 1,8 meter kali satu meter—dan kebun herbal kecil yang pasangan saya dan saya tanam setiap musim semi adalah bagian konstelasi manusia yang menghargai, merawat, dan bekerja dengan bumi yang telah berlangsung ribuan tahun, bukan hanya suatu tren urban.

Sesuai dengan namanya, di tengah Jalan Kuburan, setelah anda mendaki sedikit dan tiba di tempat datar, adalah kuburan yang duduk di sisi agak tinggi. Nisan-nisan keluarga yang telah berusia ratusan tahun berdiri di sana dengan suatu keteraturan yang umum pada kuburan-kuburan lainnya. Saya sering bertanya-tanya, ketika mayat pertama dikubur di kuburan baru, siapa dan bagaimana mereka memutuskan di mana ia harus dikubur. Dan mengapa begitu. Saya tidak berniat berhenti di kuburan itu, tetapi ketika saya melewati gerbang utamanya, langkah saya melambat dan tubuh saya perlahan berhenti. Sesuatu menghentikan saya dan meminta saya untuk tidak lewat begitu saja tanpa kehilangan momen itu. Saya tidak tahu dari mana instruksi itu muncul; yang saya tahu saya benar-benar mengikutinya. Jadi saya berhenti. Di sana, di tengah jalan itu. Awalnya saya memutar kepala ke kanan, kemudian, secara otomotis, tubuh saya mulai mengikuti gerakan ke kanan. Di jalan itu, yang kosong dan hening, saya berada di antara sinar mentari sore musim dingin di sisi kanan saya, dan pemandangan yang menghentikan nafas saya, bulan setengah penuh yang telah hadir di langit biru, ketika memutar kepala saya ke arah kuburan. Begitu hening. Pohon-pohon bergoyang ketika angin bergumam lewat. Burung-burung juga seakan-akan mengatakan sesuatu, namun telinga saya tak mampu menangkapnya. Bahkan sesudah latihan berpuluh-puluh tahun, saya belum bisa mendengarkan nyanyian burung.

Photo: Andrew Prescod melalui Compfight cc
Saya menyusuri jalan ini sebagai bagian dari meditasi yang saya rancang sendiri dan dari retret menulis yang saya lakukan selama musim dingin. Meskipun salju menumpuk bagaikan bukit dan suhu membeku, saya berkomitmen untuk keluar rumah kebanyakan hari dan merasakan dunia yang luhur. Di jalan sore itu, dunia luhur terkuak, dengan intimasi yang begitu terasa, terbuka apa adanya. Dan sesungguhnya, semua adalah satu di momen yang berhenti itu di depan kuburan di Jalan Kuburan.

Intimasi memainkan peran penting dalam ajaran-ajaran Zen. Dapat dibilang Zen adalah intimasi. Berawal di India dengan Buddha Sakyamuni dengan berdiam memegang bunga dan Mahakasapa tersenyum (saya selalu merasa kebahagiaan besar dengan kenyataan bahwa Zen dimulai dengan satu senyuman!), lalu ada pertemuan-pertemuan intimasi yang tak terhitung banyaknya, yang tercatat dalam ajaran-ajaran kuno Cina dan Jepang, yang menjadi alat untuk pencerahan bagi murid yang bertemu di pertemuan-pertemuan seperti ini. Satu pertemuan klasik terjadi antara pendeta bernama Liangshan, seorang partriaki China ke-42, dan gurunya, Tongan. Ceritanya seperti ini:

Tongan: “Apa urusannya di balik jubah perca?”
Pendeta Liangshan tidak punya jawaban.
Tongan kemudian berkata: “Belajar Jalan Buddha dan masih belum mencapai alam ini adalah yang paling menyakitkan. Sekarang, tanya saya.”
Pendeta Liangshan bertanya: “Apa urusannya di balik jubah perca?”
Guru Tongan berkata:“Intimasi”.

Pada saat itu, seperti yang terjadi di pertemuan Zen tatap-muka zaman dulu, Pendeta Liangshan sangat tercerahkan.

Saya ingin tercerahkan seperti Liangshan. Dengan seluruh hati saya, saya ingin tahu apakah urusan di balik jubah perca ini. Meskipun saya mencoba sekeras mungkin, urusan ini masih menghindari saya. Bahkan di hari-hari terbaik sekalipun, saya lupa tersenyum.

Patung Suci, Kuburan Okunoin di Koyasan,
Jepang, Photo : Stefan melalui Flickr
Tidaklah mencengangkan bahwa saya menemukan [intimasi] yang penting itu ketika berdiri di tengah jalan, di depan kuburan. Tepat di depan mata saya adalah ajaran tentang Ketidakkekalan dan Kematian. Suatu ajaran yang telah saya pelajari selama bertahun-tahun, baik sebagai bagian dari persyaratan belajar maupun untuk mengajari yang lain dalam seminar-seminar tentang Empat Tanda Keberadaan (Four Marks of Existence). 

Ketidakkekalan dan Kematian menghampiri saya di tahun terakhir ini ketika tiga teman saya meninggal tiba-tiba dan tanpa alasan jelas dalam kurun waktu sembilan bulan. Mereka adalah Dr. Marlene Jones, Dr. Alexandra Mazard, dan Rebecca Lee. Usia mereka antara 44 dan 68 tahun. Cantik, brilian, kuat, dekat dengan keluarga, penuh pencapaian, ibu. Dan ketiganya adalah wanita kulit berwarna. 

Betapa mendadaknya kematian mereka meninggalkan shock setiap kali saya mendapatkan kabar. Dengan kematian mereka, mereka mengajari saya lebih dari yang mereka bayangkan. Suatu pelajaran menyakitkan dimana saya melihat bahwa kematian mereka yang tak terduga adalah harga mahal sebagai wanita kulit berwarna, hidup di kultur Amerika Serikat. Satu bayaran yang jarang diakui. Saya mempertanyakan apakah istilah “hidup” adalah satu deskripsi yang tepat. 

Saya ingin memceritakan tentang salah satu teman ini, Dr. Marlene Jones. Marlene juga merupakan rekan kerja Dharma. Selama beberapa tahun kami bekerja bersama, sebagai bagian dari grup Dharma Practitioners of Color, untuk mengangkat perihal eksklusifitas, hak istimewa, dan rasisme dalam beberapa komunitas-komunitas Dharma di Northern California (AS). Saya pertama kali bertemu Marlene ketika menghadiri satu grup meditasi Women of Color (Wanita Kulit Berwarna) di Marin City, California, di tahun 1990an. Ia memimpin grup itu. Saya ingin percaya bahwa duduk di sekitar orang-orang kulit hitam, coklat, dan Latina putih adalah rasa intimasi pertama di dalam Dharma. Lingkaran seperti ini tidak ada di sangha* Zen saya sendiri ataupun di sangha lainnya di masa itu; dan ini sepertinya masih terus berlangsung meskipun berpuluh-puluh tahun sudah lewat. 

Ketika Marlene meninggal, banyak tulisan mengangkat pekerjaannya sebagai pionir di bidang diversitas sangha-sangha, tetapi sedikit sekali tulisan mengenai perjuangannya dalam komunitas Dharma yang didominasi kulit putih. Atau, tentang lingkungan kultur yang beracun mungkin telah merampas hidupnya, menggerogoti kesehatannya. Atau, tentang efek dari hidup sebagai wanita kulit hitam di negara dan masyarakat yang belum mengakui trauma historis tentang rasisme dan genocide (pembunuhan massal). Ketika saya mendengar ia mendapat serangan jantung, yang pertama yang timbul dalam diri saya adalah “rasisme telah menghancurkan hatinya.” Ketika saya tahu Marlene mendapat serangan jantung di hari ulang tahun ke-60 saya, saya tahu ia telah menjadi guru saya. Kematiannya telah memberi saya instruksi penerang tentang bagaimana menyelamatkan hidup saya. Di antara instruksi-instruksi itu adalah satu pernyataan sederhana dalam esainya, “Maju menuju ke Akhir Penderitaan”:

“Segalanya itu latihan, suatu pengalaman yang personal dan sangat suci. Ada kebebasan di dalam tenangnya latihan, di dalam keheningan juga di dalam gerakan latihan kehidupan. Ajaran besar bagi saya adalah berlatih welas asih, pertama untuk diri saya, kemudian untuk orang lain, dan untuk segala makhluk di seluruh arah. Di sinilah saya telah menemukan kebebasan sejati.” (Hilda Baldoquín, ed., Dharma, Color, and Culture: New Voices in Western Buddhism [Berkeley, CA: Parallax Press, 2004], hal. 45)

Urusan di balik jubah perca sangat nyata di sini. Ia ada di sini, di nafas momen ke momen. Di sini, di yang hidup dan yang sekarat. Intimasi ini seperti balsem spiritual yang menyejukkan, yang lembut, dan murah hati. Namun, di dalam latihan saya sendiri, ada saat-saat dimana di dalam hati saya api membakar terhadap peninggalan-peninggalan—untuk mengutip Marlene lagi--”Dominasi sejarah, kolonialisasi, perbudakan dan opresi atas orang-orang kulit berwarna oleh orang-orang Eropa yang telah memimpin dunia selama beratus-ratus tahun. Dalam pengalaman di komunitas saya sendiri saya merasa dikucilkan, tidak terlihat, dan terasing, pada saat yang sama... saya merasa bahwa saya telah menanggalkan diri saya di pintu dan berasimilasi agar dapat berbaur.” Api benar-benar bergelora ketika legasi-legasi seperti ini, seperti kealamian legasi, tetap berlangsung tak terlihat, seperti “kegiatan seperti biasanya”, meskipun komunitas Dharma kita memiliki niat terbaik. Saya harus percaya ini juga urusan di balik jubah perca. 

Ketika Marlene meninggal, saya diundang oleh teman kami dan sesama kolega Dharma untuk berbagi kesan di perayaan kehidupannya, meskipun saya tak bisa hadir secara fisik. Teman ini menawarkan untuk membacakan kata-kata saya. Saya menulis sebuah puisi, yang penuh dengan ekspresi intimasi dan terbakar dengan pengalaman kehilangan. Puisi yang saya tulis untuk Marlene ini disensor, tidak diberikan suara. Dibungkam pada perayaan kehidupannya. Ketika menanyakan sebabnya, saya tertegun ketika diberikan jawaban yang terinstitusi. Saya membuat cerita-cerita tentang alasan-alasan untuk membungkam kata-kata saya. Itu akan menarik untuk diceritakan, tapi bukanlah apa yang terpenting. Yang terpenting bagi saya adalah mengetahui kata-kata saya untuk Marlene yang saya ungkapkan dengan sepenuh hati telah ditiadakan. Satu ekspresi intim yang mempertanyakan mengapa satu lagi wanita kulit hitam yang harus meninggal begitu muda. 

A Prayer in the Dark, sosok bhikku Mahakashyapa berdiri,
dari Vietnam Utara sekarang berada di Museum Asian Civilizations di Singapore
Photo: Ee Shawn melalui Flickr
Bagaimana menyatukan pengalaman praktek yang luhur, personal dan intim, dengan pengalaman sehari-hari sebagai bagian dari kelompok yang terpinggirkan yang hidupnya, secara spiritual—dan bagi banyak dari kami, secara fisik—di bawah ancaman dari waktu ke waktu? Bagaimana menangani dan menyembuhkan agresi-mikro yang terus terjadi muncul dari persepsi terkondisi orang terhadap perbedaan? Bagaimana setiap orang dengan mahir hadir di pengalaman dirinya yang terluka? Bagaimana kita dapat dengan sukses menegosiasi ulang trauma sejarah-sejarah socio-kultur yang lintas generasi? Bagaimana kita mengemasnya dalam kebijaksanaan dan welas asih Dharma?  

Ajaran-ajaran Buddha mengajari kita bahwa tidak ada pengotakan, tetapi, kita berpersepsi—dan mengalami—divisi di mana-mana! Antar kultur, agama, kelas ekonomi, warna kulit, seksualitas, kemampuan fisik dan mental, jenis kelamin, bahasa, akses ke sumber daya sosial, dan masih banyak lainnya. Dan tak hanya melihat perbedaan, ada pula pengalaman sensorial tentang dampak-dampak perbedaan-perbedaan ini. 

Jadi apakah yang ajaran ini benar-benar bicarakan ketika ia mengatakan tak ada divisi? Saya menyarankan pengertian bahwa ini bukanlah “hidup” yang kita tangkap melalui indra kita (mata, telinga, hidung, lidah, badan); bukan, ini hanyalah hidup apa adanya, tanpa intrepretasi sensoris. Di dalam ruang ini, dengan tiadanya interpretasi sensoris, kita dapat menangkap perbedaan dan secara simultan menerima mereka di luar alam kognitif. Dan untuk mengalami intimasi ini adalah kebebasan. 

Ini adalah kebebasan karena di tengah perbedaan ini, di dalam pengalaman duka cita dan ratapan, di tengah keputusasaan dan kemarahan, di tengah ketakutan dan kebingungan, ada kebahagiaan dan tawa. Tepat di sana, melingkupi realita momen kini, adalah pencerahan, dan di tempat melebihi kata-kata itu, tiada divisi. Hanya ada nafas panjang... punggung sakit... anak kesepian... balita kelaparan... orang tua ketakutan... penyakit kronis... pikiran yang melantur... tenggorokan yang sakit... hati yang bergetar... lagu yang indah... burung di pagi hari... pelikan yang berlumuran minyak... subuh musim dingin... hujan yang hangat sesudah badai. 

Di dunia yang relatif ini—selagi menghadapi legasi historis terhadap opresi, menavigasi kekuatan-kekuatan institusional yang telah buta terhadap efek endemik dari hak istimewa [kelompok-kelompok tertentu], dan mengalami agresi-mikro sehari-hari, hidup dengan ketakutan akan masa depan anak-anak kita, dan mengeraskan diri kita untuk mengantisipasi penolakan—kita juga lapar terhadap pelukan kasih. Kita mengharapkan intimasi hati yang menyentuh hati. 

Saya suka membayangkan bahwa esensi dari hidup dan ajaran Buddha Sakyamuni, juga para orang suci zaman dulu, adalah intimasi hati yang menyentuh hati. Di dalam hal Buddha, ia menunjukkan jalan untuk bertransformasi dan jalan pembebasan. Di jalan transformasi ini, ia mengajarkan kebaikan—ia mendiagnosa dan ia memberikan resep untuk mengakhiri penderitaan, ajaran tentang apa itu tercerahkan. Dan ia menunjukkan sebuah jalan kebebasan pada kita dengan mengatakan semua makhluk adalah Buddha. 

Di jalan transfomasi ini, kita mulai dengan mengenal penderitaan, penderitaan kita sendiri dan semua makhluk. Dengan mengenal penderitaan, kita dapat mengenal apa artinya berwelas asih. Kita melihat bagaimana untuk mengembangkan welas asih dengan cinta-kasih dan kemurahan-hati, kebahagiaan simpatik, dan ketenang-seimbangan. Kita berkomitmen untuk menjinakkan pikiran, untuk membersihkan noda-noda kita, untuk memahami hukum sebab-akibat, untuk mengembangkan kewarasan, dan untuk menjadi baik hati dan pemaaf. 

Jalan pembebasan membawa kita melampaui transformasi. Di sini Buddha memberikan kita ajaran-ajaran tentang tanpa-dualisme, tanpa divisi; tentang kosongnya segala fenomena, tentang penyadari sifat pikiran, dan bahwa sifat kebuddhaan ada dalam kita semua. 

Patung Gunung Jizo, Kuburan Okunoin di Koyasan, Jepang, Photo: Stefan melalui Flickr
Berjalan di dua rel transformasi dan pembebasan, kita tetap kokoh dalam latihan kita. Dengan perhatian yang fokus, luas yang mendalam dan intimasi tanpa takut, kita melihat inti dari penyakit-penyakit spiritual yang menghalangi kita dalam benar-benar mewujudkan sifat alami kita. 

Jadi, tanpa interpretasi sensoris hanya ada ini: Marlene, Alexandra dan Bekki pernah hidup, dan tidak lagi hidup. Mereka tak lagi ada di badan yang ada di alam ini, [yang] hidup melalui persepsi indra saya. Mereka telah berlalu. Ke mana mereka pergi? Guru China zaman dulu bernama Tao Wu berkata, “Saya tidak bilang hidup, dan saya tidak bilang mati,” sebagai jawaban atas seruan duka muridnya Chien Yuan yang memukul peti mati dan berkata pada Tao Wu, “Hidup atau mati?”

Namun, saya masih ingin mempertahankan setiap teman saya di dekat saya, sehingga saya tidak merindukan mereka. Di dalam intimasi kerinduan yang diam-diam, ketika saya masuk ke keheningan saat ini, bahwa saya mendengar dan melihat dan merasakan ajaran-ajaran mereka di sekitar saya. Mereka adalah jam, yang sekarang berdentang di jam 12.30. Seekor rubah, dengan hati-hatinya merangkak mendekati ke biji-bijian yang tumpah dari tempat makan burung. Mentari New England, kuning muda dan pucat, dengan malasnya menyelimuti pohon birch di luar jendela. Burung-burung melompat dari cabang satu ke cabang lain, dari pohon magnolia, pohon pussy willow dan pohon pir. Pohon-pohon itu telah hidup [kembali] di cuaca seperti musim semi di suatu hari di bulan Januari ini. Di sini, mereka dekat, sedekat ujung hidung saya.  

Berikut ini adalah cerita terakhir mengenai salah satu pertemuan-pertemuan Zen itu, contoh di dunia modern: Seorang psikiater bertanya pada Suzuki Roshi mengenai kesadaran. Suzuki menjawab, “Saya tak tahu apapun tentang kesadaran. Saya hanya berusaha mengajari murid-murid saya bagaimana mendengar burung bernyanyi.” Semoga saya hidup cukup panjang untuk mewujudkan ajaran Roshi. 

Ryūmon Hilda Gutiérrez Baldoquín: Pendeta Soto Zen, Penulis, Penyair, dan Editor

Ryūmon Hilda Gutiérrez Baldoquín adalah seorang penulis, penyair, dan editor antologi Dharma, Color and Culture: New Voices in Western Buddhism, dan kontributor untuk koleksi Women Practicing Buddhism: American Experiences. Ia adalah pendeta Soto Zen priest dan guru pembimbing untuk vihara utama Zen Peace Dragon (AnRyūJi) di Westhampton, Massachusetts, yang beliau dirikan bersama Dr. Catherine Anraku Hondorp, Two Streams Zen, suatu kendaraan Dharma multikultural dengan misi mentransformasi orang dan komunitas melalui intimasi tanpa takut dan hidup dengan welas asih. Ryūmon juga adalah praktisi resolusi trauma dan asisten di Somatic Experiencing® Trauma Institute. Ia juga mengadakan praktek privat Zen Trauma Healing™ di Northampton, Massachusetts. Ini adalah kontribusi keduanya kepada blog Awakening Buddhist Women; post pertamanya yang berjudul “Liberation in the Midst of Suffering” dipublikasi pada bulan Mei 2013.

No comments:

Post a Comment