Photo: Bellah lewat Compfight cc |
Setiap kali kita mengambil napas, kita berbagi nafas itu dengan setiap bentuk kehidupan lain yang bernafas! Sementara kita menghirup oksigen dan membuang nafas berisi karbon dioksida, pohon dan tumbuhan lainnya menyerap karbon dioksida yang dihasilkan dan mengeluarkan oksigen.
Ini adalah suatu simbiosis yang indah, tapi selama kita menganggap diri kita sebagai menjadi satu-satunya yang benar-benar relevan, kita sudah mengganggu keseimbangan itu.
Setelah menebang begitu banyak pohon di planet yang indah ini untuk keuntungan jangka pendek, kita menemukan diri kita tidak hanya kehilangan keagungan dan keragaman hutan, tapi kita menemukan diri kita dalam keraguan apakah akan ada udara yang tersisa untuk bernapas.
Beberapa kebudayaan adat, bukannya berbicara tentang diri mereka sendiri sebagai individu yang terpisah, tetapi menganggap diri mereka sebagai bagian dari suatu "aliran." Aliran itu mengalir kepada mereka dari orang tua mereka, pengasuh, guru, kakek-nenek, dan melalui nenek moyang yang sudah jauh. (Jika kita telusuri cukup jauh, kita semua berkerabat.) Aliran yang sama ini mengalir melalui anak-anak mereka, cucu-cucu mereka, dan melalui semua yang berhubungan dalam kehidupan mereka. Tantangan-tantangan juga terjadi dalam aliran tersebut, bersama dengan kekuatan bersama untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan cara berpikir tersebut, apa yang kita sebut sebagai "sukses pribadi" dipahami sebagai milik semua orang. Ini adalah pola pikir yang sangat berbeda dari model "perjuangan individu."
Photo: Romsrini lewat Compfight cc |
Kita benar-benar saling-terhubung (interconnected). Ketika kita membawa kehadiran pada kebenaran ini, di manakah ruang untuk konglomerasi diri? Kita hanya dapat mempertahankannya terus berjalan dengan bercerita dan menceritakan kembali kisah-kisah mengenai siapa dan bagaimana kita, apa yang telah kita lakukan dengan baik dan apa yang telah kita lakukan salah, dan siapa diri kita di masa depan. Tapi sekarang, hanya ada ini dan kemampuan kita untuk bersama ini.
Sebagai biarawati kami memiliki refleksi harian "hidup kami dipertahankan melalui pemberian karunia oleh orang lain..."Ini menunjuk ke kehidupan kita sebagai pengemis sedekah, di mana kita benar-benar tergantung pada kemurahan hati orang lain sebagai pendukung kita sehari-hari. Saya ingin menunjukkan bahwa setiap makhluk hidup di planet ini juga dipertahankan melalui hadiah dari orang lain. Apakah anda seorang yang berpenghasilan tinggi atau sedang berjuang untuk bertahan hidup, anda terus menerus memberi kepada orang lain dan menerima – dengan sadar atau tidak sadar. Menyadari hal ini membuka pilihan: untuk memberikan apa yang akan menguntungkan orang lain dan diri kita sendiri, atau untuk memberikan apa yang tidak akan menguntungkan.
Sang Buddha mendorong anaknya Rahula untuk merenungkan setiap tindakan batinnya, ucapannya, dan tindakannya -- merenungkan apakah tindakan akan menyebabkan kerugian bagi diri sendiri, dengan kerugian bagi orang lain, atau kerugian bagi keduanya dan jika itu demikian, janganlah melakukannya; kemudian renungkan apakah pemikirannya, ucapannya, atau tindakannya akan mengakibatkan kesejahteraan untuk diri sendiri, untuk kesejahteraan orang lain, atau untuk kesejahteraan kedua belah pihak dan jika itu demikian, lakukanlah.
Ini adalah rumus sederhana jika kita bisa ingat untuk menerapkannya pada saat ini. Kita mungkin tidak bisa berlatih pada tingkat yang sama seperti Rahula – dia sudah sepenuhnya tercerahkan! – tapi kita bisa mengingat bahwa kita terus menerus mempengaruhi dan dipengaruhi oleh siapapun dan apapun yang berhubungan dengan kita setiap saat. Bagaimana kita menyelami pengalaman kita dan merespon, daripada bereaksi, adalah sumbangsih kita kepada dunia. Kita tidak harus terus mengikuti kebiasaan lama pikiran kita, berulang kali menciptakan skenario yang sama. Dengan sedikit fokus ekstra, kita bisa berada di saat ini dengan rasa ketertarikan, kemurahan hati, dan cinta.
Ayya Anandabodhi: Bhikkhuni
Ayya Anandabodhi pertama kali menyelami ajaran Buddha di awal masa remajanya, yang memicu minat yang mendalam dalam Jalan Kebangkitan Sang Buddha. Ayya telah berlatih meditasi sejak tahun 1989, dan tinggal di biara Amaravati dan Chithurst di Inggris dari tahun 1992 hingga 2009, ketika dia pindah ke AS atas undangan Saranaloka Foundation untuk membantu mendirikan sebuah biara pelatihan bagi perempuan. Dia mengambil penahbisan bhikkhuni pada tahun 2011 dan bergabung dengan para perempuan, yang meningkat jumlahnya, dalam tradisi Bhikkuni Theravada, yang menghidupkan kembali Ordo Bhikkhuni, awalnya dibentuk oleh Sang Buddha. Ajaran dan contoh Ajahn Chah telah menjadi pedoman yang stabil dan inspirasi bagi Ayya Anandabodhi sepanjang kehidupan monastiknya.
No comments:
Post a Comment