Monday, April 28, 2014

Kontemplatif Awam Menjalani Hidup Seperti Monastik di Tengah Kehidupan Urban Aktif

Tuere Sala

Kiri ke kanan: Ruby Phillips, Devin Berry, Joan Lohman and Jenn Biehn

Seorang “kontemplatif”, dalam Buddhisme tradisional, adalah seseorang yang meninggalkan kehidupan awam untuk menjadi seorang monastik [anggota Sangha]--pengelana yang meninggalkan kehidupan perumah tangga[i] untuk menjalani kehidupan suci tanpa rumah[ii]. Cara hidup komunitas monastik berbeda dari komunitas awam, tetapi ada hubungan simbiosis diantara keduanya dimana satu tak akan dapat berlangsung tanpa yang lainnya.

Namun di Barat, Buddhisme Theravada tetaplah latihan yang, secara umum, berorientasi pada umat awam, terutama yang berkegiatan di pusat-pusat Dharma dan pusat-pusat retret jangka pendek/panjang[iii]. Tak terlihat aspek-aspek religius yang identik dengan Buddhisme tradisional dalam praktek orang-orang non-Asia di Barat. Beberapa orang Barat memasuki kehidupan monastik tradisional, namun kebanyakan mempraktekkan Buddhisme sebagai filosofi sekuler, sebagai cara hidup, sebagai latihan spiritual, bahkan sebagai terapi penyembuhan.[iv]

Monday, April 21, 2014

Makan dengan Waspada, Sesendok Demi Sesendok

Judith Toy

Foto oleh  Jamain
Makan dengan kewaspadaan perlu latihan. Awalnya terasa seperti terpaksa, namun anda harus akui bahwa makanan terasa lebih lezat daripada sebelumnya ketika anda meletakkan garpu anda dan mengunyah setiap suapan 30 kali atau lebih, atau hingga makanan itu menjadi “lembut,” sambil memikirkan apa yang anda kunyah, menamainya—misalnya, kacang hijau.

Anda membayangkan kacang itu dulunya adalah benih yang ditanam di tanah hangat, kemudian tunas dan daun muncul berlilitan, kemudian bunga kecil seperti anggrek dengan empat kelopak, atau mekaran kelopak putih berbentuk bintang-lima dengan tengah kuning, tergantung jenis kacang itu. Anda membayangkan gambaran mental tentang sinar mentari yang jatuh pada bunga itu, bagaimana bunga itu memutar wajahnya menghadap ke cahaya, mengintip dari balik kehijauannya. Kemudian dengan perlahan dan ajaib terjadi transformasi dari bunga menjadi polong putih kecil yang berubah menjadi hijau sembari mengembang dan tumbuh di bawah sinar hangat dan siraman hujan. Dalam kacang ini, kosmos hadir.

Monday, April 14, 2014

Bertemu Biarawati-biarawati dari Zanskar

Dominique Butet
Fotografi oleh Olivier Adam
Untuk membaca versi original dalam bahasa Perancis (dengan foto-foto), klik disini.


Zanskar, yang terletak di ujung barat laut India di propinsi Jammu dan Kashmir, adalah suatu lembah yang terisolasi di ketinggian lebih dari 3.900 meter. Daerah itu adalah salah satu daerah ketinggian tertinggi yang berpenghuni di Himalaya. Di sana, di tengah panasnya musim panas di jalan-jalan yang berangin dan berdebu, tidaklah aneh untuk bertemu dengan lambaian riang kain-kain merah, ditutupi topi jingga berbahan felt— dan juga para biarawati berlalu-lalang! Banyak biara-biara perempuan yang telah didirikan di sana, bertengger tinggi di lembah.

Saat ini, Zanskar memiliki sepuluh biara perempuan, sembilan diantaranya bernaung pada ordo Gelugpa. Beberapa, seperti Karsha dan Dorje Dzong, terletak dekat Padum, yang merupakan ibukota wilayah, sementara lainnya seperti Pishu lebih terisolasi. Beberapa didiami hingga 20 biarawati, sementara lainnya didiami tujuh atau delapan. Beberapa punya sekolah, yang lainnya tidak—atau belum. Di musim dingin, ketika semua pipa membeku, para biarawati berjalan jauh ke sungai untuk mengambil air, memecahkan es dan kemudian mendaki lagi dengan cepat untuk mendapatkan perlindungan di kamar-kamar di mana atap-atapnya tidak begitu terinsulasi sehingga salju dan dingin meresap masuk. Tetapi adalah isolasi mendalam itulah yang seseorang perlukan untuk bertahan hidup, suatu isolasi yang hanya ritual-ritual panjang yang dapat melampauinya. Namun, semuanya memiliki tekad tanpa-kompromi untuk terus dan berkembang, mengaduk semangat spiritual dengan rasa kehidupan kolektif yang luar biasa dimana semua [orang] dari berbagai usia hidup bersama, dari usia sembilan hingga lebih dari 84 tahun!

Monday, April 7, 2014

Teror di Dalam Diri

Zenju Earthlyn Manuel


Sebagai seorang gadis kecil berusia 10 tahun, dengan pita satin di rambut dan mengenakan gaun yang baru dikanji, saya memiliki tempat duduk khusus di gereja setiap minggu, yaitu di sebelah ayah saya, Lawrence Manuel Jr. Bersama adik perempuan saya dan ibu saya di sisi lainnya, saya duduk berdempetan dengan ayah saya sambil mengapresiasi hubungan spesial kami di seputar kata Tuhan. Pada Sabtu malam, di tengah hiruk pikuk kota Los Angeles dimana saya lahir dan dibesarkan, saya akan membacakan ayah saya pelajaran sekolah minggunya. Saat saya membacanya, beliau membuat simbol-simbolnya sendiri di pinggiran kertas yang merepresentasikan bunyi suara itu. Beliau melakukan ini karena ia buta huruf. Sebagai anak seorang petani penyewa lahan yang lahir pada tahun 1898 di Opelousas, Louisina, beliau hanya berbicara bahasa Creole, sehingga bahasa Inggrisnya sulit dimengerti. Meskipun beliau tidak dapat membaca, ia tidak membiarkan hal tersebut menjadi penghalang untuk berpartisipasi di sekolah minggu. Dengan simbol-simbol yang beliau kembangkan sendiri, ia akan “membaca” sebagian pelajaran itu di kelas yang terdiri dari pria-pria berkulit hitam yang lebih tua. Saya tidak akan pernah sebegitu berani untuk melakukan hal seperti itu. Tetapi ayah saya adalah pria yang berbakat dan pemberani; dibesarkan di daerah terpencil, beliau belajar untuk melakukan apapun untuk bertahan hidup. Beliau adalah apa yang saya sebut sebagai “tanpa rasa takut”, dan, ketika saya duduk di sampingnya di gereja, saya berdoa untuk menjadi pemberani seperti beliau.