Monday, March 30, 2015

RAIN: Bekerja dengan Kesulitan

Tara Brach

Sekitar 12 tahun yang lalu, beberapa guru Buddhis mulai berbagi tentang cara kewaspadaan baru yang membantu secara langsung untuk bekerja dengan emosi yang intens dan sulit. Alat ini disebut RAIN (akronim dari proses empat langkah), yang dapat diterapkan di berbagai tempat dan situasi. RAIN mengarahkan perhatian kita secara sistematis dan jelas sehingga memotong kekacauan dan stres.

Langkah-langkah ini memberi kita ruang saat muncul momen yang menyakitkan; dan begitu kita sering mengulangnya, langkah-langkah ini memperkuat kapasitas kita untuk kembali pada kebenaran diri yang terdalam. Seperti langit yang jernih dan udara yang bersih setelah hujan yang dingin, latihan kewaspadaan ini membawa suatu pembukaan yang baru dan menenangkan kehidupan kita sehari-hari.

Sekarang aku telah mengajarkan RAIN kepada ribuan siswa, klien, dan profesional kesehatan mental, sambil terus mengadaptasi dan mengembangkannya menjadi versi yang dapat ditemukan di bab ini. Aku menjadikannya sebagai latihan inti dalam kehidupanku sendiri. Inilah empat langkah RAIN yang disajikan dengan cara yang kuanggap paling bermanfaat:

R   Recognize what is happening (mengenali apa yang sedang terjadi)
A  Allow life to be just as it is (mengizinkan hidup seperti apa adanya)
I   Investigate inner experience with kindness (menginvestigasi pengalaman batin dengan kebaikan)
N  Non-Identification (tanpa identifikasi).

RAIN secara langsung mengkondisi-ulang kebiasaan-kebiasaan dimana Anda menolak pengalaman pengalaman momen ke momen. Tidak perduli apakah Anda menolak “hal tersebut” dengan mencaci dalam kemarahan, dengan merokok, atau membenamkan diri dalam pikiran obsesif. Upaya Anda untuk mengendalikan kehidupan di dalam diri dan di sekitar Anda yang sesungguhnya memotong Anda dari hati Anda sendiri dan dari kehidupan ini. RAIN mulai untuk memangkas pola-pola tanpa-sadar segera setelah kita mengambil langkah pertama.

Monday, March 23, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: 2

Bhikkhuṇīs dan Pertapa Perempuan Indonesia: Kilasan Sejarah dan Survei Terminologi

Artikel oleh Tathālokā Bhikkhuṇī  
Pengantar oleh Ādhimuttā Bhikkhuṇī

Ini adalah bagian kedua dari seri Sejarah Wanita dalam Buddhisme yang merupakan ekstrak dari jurnal oleh Ayyā Tathālokā’s berjudul“Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors.” Tulisan ini memberikan ringkasan terminologi dan sejarah, mengupas tentang monastik Buddhis wanita dan pertapa wanita zaman dulu di kepulauan Inodnesia yang digali  lewat catatan perjalanan, tradisi oral, prasasti, monumen dan patung-patung yang membawa konteks kultul dan sejarah. 

__

Para Wikuni dan Kili: Rangkuman Terminologi Indonesia untuk Pertapa, Guru dan Orang Suci Wanita 

Kata wikuni dalam Bahasa [1] mempunyai akar bahasa dari kata bahasa India bhikkhuṇī dalam bahasa Pali dan bhikṣuṇī dalam bahasa Sansekerta. Bentuk maskulin dari kata ini adalah wiku,[2] bhikkhu/bhikṣu. Dalam teks-teks bahasa Indonesia, seperti dalam teks India, [3] kata ini juga untuk merujuk pada pertapa monastik pria dan wanita secara kolektif.
Wikuni kini diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai pendeta Buddha (seorang “pandita Buddhis”), yang kali ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “pastor Buddhis” atau “penginjil.”

Photo 1:  Bhikkhuṇī-bhikkhuṇī dipahat di batu
Bahasa Indonesia kuno dan teks-teks kuno penuh dengan kata-kata yang mendeskripsikan pertapa religius wanita. Kata kili mungkin adalah kata yang paling terkenal di antaranya. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata diulang untuk menyatakan bentuk jamaknya, sehingga dikenal sebagai kili-kili.

Beberapa cendikiawan mengatakan bahwa kili adalah murni bahasa Indonesia. Yang lainnya mengatakan mungkin kata ini berasal dari bahasa India giri yang berarti “gunung,” dan juga digunakan dalam bahasa Sansekerta untuk merujuk pada pertapa di India. Gunung, formasi gunung, dan goa-goa punya sejarah panjang sebagai yang disucikan, dan dalam kosmologi kuno, gunung adalah wanita. Kili-kili sering diasosiasikan dengan retret pertapa-pertapa di gunung-gunung, sehingga mereka sering disebut pertapa wanita.

Monday, March 16, 2015

Apakah Kewaspadaan Membuatmu Lebih Welas Asih?

Shauna Shapiro

Aku mengikuti retreat meditasi pertamaku 17 tahun yang lalu di Thailand. Saat tiba, aku kurang memahami tentang kewaspadaan dan tentunya aku tidak bisa berbahasa Thai.

Di vihara, aku samar-samar memahami ajaran bhikkhu Thai yang indah, yang mengajarkanku untuk memperhatikan nafas yang masuk dan keluar melalui lubang hidung. Tampaknya cukup mudah. Maka aku duduk dan mencoba memperhatikan, [dengan target] enam belas jam sehari, dan dengan cepat aku mendapatkan realisasi besar pertama: aku tidak dapat mengendalikan pikiranku.

Aku putus asa dan agak terganggu dengan banyaknya pikiran yang mengembara tersebut. Aku perhatikan satu, dua atau tiga nafas – lalu pikiranku pergi, melamun, meninggalkan tubuhku duduk di sana, dalam kerangka kosong. Putus asa dan tidak sabar, aku mulai bertanya-tanya, “Mengapa aku tidak dapat melakukannya? Orang lain tampaknya sedang duduk dengan tenang. Apa yang salah denganku?”

Monday, March 9, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: Pengantar

12 Monumen & Situs di Jawa yang Berhubungan dengan Wanita Buddhis & Bhikkhuni


Ekstrak Artikel Tempat Bersejarah: Tathālokā Bhikkhuṇī, 
Peta: Ānandajoti Bhikkhu, 
Pengantar: Ādhimuttā Bhikkhuṇī and all, 
Layout: Ānagarikā Michelle 

Komunitas monastik dan umat awam Buddhis dari seluruh dunia tengah bersiap-siap berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri Konferensi Sakyadhita ke-14 di Yogyakarta. Bagi yang tertarik pada sejarah wanita Buddhis dan Sangha Bhikkhuṇī/Bhikṣuṇī masa lampau di Indonesia, kami akan berbagi info tentang beberapa tempat-tempat bersejarah yang layak dikunjungi.

Ini akan memperkaya pengalaman para peserta Konferensi melalui pembelajaran intelektual maupun melalui pengalaman langsung, dan agar orang-orang yang tidak dapat hadir dapat pula belajar dan meningkat pengetahuannya dan mendapatkan manfaat dari jauh.

Bulan-bulan sebelum Konferensi di Borobudur di bulan Juni nanti, yaitu dari Maret hingga Mei, kami akan meluncurkan serangkaian post yang diringkas dari jurnal karya Ayyā Tathālokā's "Light of the Kilis: Our Ancient Bhikkhuṇī Ancestors", yang diriset dan dipersiapkan untuk Konferensi Sakydhita-Borobudur.

Post yang berisi ekstrak ini akan memberikan informasi mendalam tentang berbagai aspek Sejarah Wanita dalam Buddhisme di Indonesia, banyak yang berhubungan dengan tempat-tempat bersejarah yang dibicarakan di sini.

Lokasi terakhir, Borobudur dan sekitarnya, akan diangkat dan dipresentasikan di Konferensi itu sendiri, dan para peserta akan mengunjungi Candi Borobudur. Saat Konferensi, kami berharap untuk menawarkan panduan dalam bentuk pdf yang dapat diunduh yang berisi sejarah dan seni dari tempat-tempat bersejarah yang berhubungan dengan para wanita Buddhis Indonesia yang kita bicarakan di blog post yang disajikan di serial ini.

Peta dan informasi di sini memberikan pengantar singkat tentang beberapa lokasi di Jawa yang kami rasa akan bermanfaat untuk diketahui terlebih dahulu, dan mungkin dapat direncanakan untuk dikunjungi. 

Thursday, March 5, 2015

Konferensi Sakyadhita ke-14: Kasih Sayang & Keadilan Sosial

Setiap dua tahun, Sakyadhita mengadakan pertemuan untuk berbagi riset dan pengalaman dan proyek-proyek untuk meningkatkan taraf kehidupan perempuan buddhis khususnya perempuan di negara berkembang. Konferensi tahun 2015 ini memilih tema penting Kasih Sayang dan Keadilan Sosial.

Selama ratusan tahun, wanita-wanita Buddhis berkontribusi pada kesejahteraan spiritual dan sosial komunitas mereka. Tapi mereka jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan kontribusi mereka dilupakan.

Konferensi di Indonesia ini akan menjadi ajang bagi para wanita (dan pria) untuk berdiskusi dan membangun koneksi yang lebih baik lagi antara Dharma dan kesejahteraan sosial dan politik para wanita. Bersama-sama, kita mengeksplorasi bagaimana kasih sayang dan keadilan sosial serta perkembangan spiritual dapat membantu membentuk dunia yang lebih damai dan sejahtera.

Pendaftaran telah dibuka untuk peserta dari Indonesia dan internasional. Early bird akan mendapatkan harga spesial. Silakan isi dan email formulir pendaftaran ini


Tentang Sakyadhita
Sakyadhita International Association of Buddhist Women Sakyadhita berarti “puteri Buddha”, Asosiasi Wanita Buddhis Internasional, didirikan atas kesepakatan Konferensi Wanita Buddhis Internasional yang pertama kali diselenggarakan di Bodhgaya, India, pada tahun 1987 atas prakarsa Dalai Lama. Konferensi ini terlaksana atas inisiatif dari Ayya Khema dari Jerman, Bhiksuni Karma Lekshe Tsomo dari Amerika, dan profesor dari Thailand yakni Chatsumarn Kabilsingh (sekarang Bhiksuni Dhammananda).

Tujuan organisasi ini menggabungkan perempuan Buddhis dari negara dan tradisi yang berbeda, untuk mempromosikan kesejahteraan mereka dan untuk memfasilitasi pekerjaan mereka untuk membawa manfaat bagi kemanusiaan. Anggota Sakyadhita sekarang hampir 2.000 anggota di 45 negara di dunia.


Detil
Lokasi: Sambi Resort Jl. Kaliurang km 19.2 Desa Wisata Sambi Pakembinangun - Sleman, Yogyakarta
Telp : +62.274.4478.666
Fax : +62.274.4478.777

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Sherly   :  +62.815.9552.552
Elwiana : +62.812.1288.122
Pin BB   : 7D21CF1E
Mail      : info@sakyadhita-indonesia.org
Site       : www.sakyadhita-indonesia.org, www.sakyadhita.org


Mau Membantu? 
Dibuka kesempatan untuk menjadi sukarelawan (volunteer). Anda akan bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai negara dan membuka wawasan serta pertemanan. Anda bisa membantu di bidang interpreter/terjemahan, tour guide, logistik, ketua sukarelawan, kesehatan/kesejahteraan, konsumsi, kebersihan, jasa bagi penyandang cacat.

Silakan isi dan email formulir sukarelawan ini.
Info lengkapnya di sini.

Wednesday, March 4, 2015

Kesempatan Sukarelawan di Konferensi Sakyadhita Ke-14

Indonesia mendapatkan kehormatan sebagai tuan rumah Konferensi Internasional Sakyadhita ke-14 tahun 2015. Konferensi kali ini mengambil tema Compassion & Social Justice (Kasih Sayang & Keadilan Sosial) dan akan diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 23-30 Juni 2015, dilanjutkan dengan temple tour pada tanggal 1-2 Juli 2015. Konferensi ini akan dihadiri peserta dari lebih dari 40 negara dengan latar belakang tradisi yang berbeda.

Untuk itu, dibuka kesempatan untuk menjadi sukarelawan (volunteer) di berbagai pos! Bagi yang berminat, silakan baca info selengkapnya di poster berikut:


Monday, March 2, 2015

Ketakutan Terhadap Dunia: Menyalahartikan Welas-asih dengan Keputus-asaan

Bhiksuni Thubten Chodron

Banyak sekali berita akhir-akhir ini, yang mengarahkan orang-orang yang peduli untuk merefleksi keadaan dunia saat ini. Namun umumnya kita tidak melakukannya dengan cara yang bijak. Bagi banyak orang, refleksi ini menciptakan penderitaan mental, dan pikiran kita menjadi ketat dan ketakutan.

Di dalam ketakutan itu terdapat banyak “I-grasping” atau “kemelekatan-saya”, yang kadang-kadang kita salah-artikan sebagai welas-asih. Kita pikir, “Ketika saya melihat dunia, dan melihat begitu banyak penderitaan [artinya] saya merasa welas-asih pada orang-orang.” Tapi sebenarnya kita sengsara, kita merasakan suatu rasa putus asa, takut, depresi dan sebagainya. Ini bukanlah welas-asih sungguhan. Dengan tidak mengenali ini, ada orang yang takut merasa welas-asih karena mereka menyangka welas-asih hanya membuat kita merasa sengsara. Ini adalah pemikiran yang berbahaya karena dapat membuat kita menutup hati terhadap orang lain.

Welas-asih berfokus pada penderitaan orang lain, tetapi kita merasa putus-asa dan ketakutan, kita berfokus pada penderitaan kita sendiri. Oleh karena itu, merasa depresi ketika melihat penderitaan di dunia bukanlah indikasi dari welas asih. Melainkan kita jatuh dalam kesengsaraan pribadi. Sangat berguna untuk menyadari hal ini ketika kita sepertinya masuk ke dalam kondisi putus-asa.