Monday, June 23, 2014

Dipa Ma: Seorang Guru Wanita Buddhis Luar Biasa di Abad Kedua Puluh

Yang Mulia BD Dipananda

Sangat jarang cerita mengenai seseorang begitu menyentuh hati. Setelah membaca Dipa Ma, Anda akan merasa telah bertemu dengannya -- dan anda tidak akan pernah melupakannya.
— Paul Hawken, co-author dari Natural Capitalism

Dipa Ma
Di India beberapa tahun lalulah, saat saya mendengar namanya: “Dipa Ma.” Saya tidak tahu siapa dia, tapi namanya terdengar keibuan. Rupanya, dia adalah seorang Guru  perempuan Buddhis yang terkemuka di Asia dan di seluruh dunia, tapi aku masih belajar dan tidak punya waktu untuk lebih mengenalnya

Sebagaimana karma mengaturnya, beberapa minggu yang lalu saya meminjam sebuah buku di perpustakaan Vihara Wang Fat Ching She. Buku itu dikarang oleh Amy Schmidt dan berjudul, Dipa Ma: Kehidupan dan Warisan dari Guru Buddhis. Saya membacanya beberapa kali dan meninjau kembali wawancara dengan Dipa Ma yang disebut "Pencerahan di Kehidupan Ini: Pertemuan dengan Wanita Luar Biasa" yang diterbitkan oleh Tricycle tahun 2004. Wawancara itu dilakukan oleh Jack Engler di berlangsung di Kalkuta pada tahun 1977. Menggali lebih dalam, saya menelepon yang Mulia Shilananda, salah satu guru saya di Bangladesh, dan bertanya tentang Dipa Ma. Aku tercengang ketika dia mengatakan kepada saya bahwa ia dilahirkan di desa tetangga dekat dengan saya, Padua, di Chittagong. Aku tidak pernah bertemu wanita ini dan dia telah lama hilang. Tapi kedekatan dirinya dengan rumah dan hati saya membawa saya merasa bahwa saya benar-benar bertemu dengannya, dan bahwa saya tidak akan pernah melupakannya.

Monday, June 16, 2014

Buddhisme Theravada dan Tujuan Pembangunan Milenium 3: Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Wanita dalam Buddhisme Theravada

Jurnal berikut ditulis oleh Ajahn Brahm untuk menginspirasi para Buddhis untuk berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Milenium PBB, terutama tujuan ketiga “Mempromosi Kesetaraan Jender dan Memberdayakan Wanita.”

Ajahn Brahm menjelaskan bahwa Sang Buddha menempatkan monastik wanita di tempat utama dalam Dhamma, dan mereka telah membuat kontribusi luar biasa untuk Dhamma dan untuk kesejahteraan semua orang. Meskipun ada argumen-argumen yang berbeda pandangan, namun sejarah Buddhisme, prinsip-prinsip Buddhis, dan Vinaya tidak memberikan basis logis apapun untuk menolak legalitas penahbisan bhikkhuni Theravada masa ini. Ajahn Brahm mendorong anggota monastik dan umat untuk membuka mata pada fakta-fakta ini. Ia juga meminta pemimpin-pemimpin agama, terutama pemimpin Buddhis Theravada, untuk memimpin melalui tindakan, mulai dari tradisi agama mereka sendiri sehingga mereka dapat benar-benar menginspirasi pengikut Buddhis untuk bekerja untuk kesetaraan jender dan dunia yang lebih baik.

Tulisan ini seharusnya dipaparkan dalam International Committee for the United Nations Day of Vesak, tanggal 8 Mei 2014, yang mengangkat tema “Perspektif Buddhis terhadap Mencapai Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium PBB.” Namun, pemaparan itu dibatalkan oleh pihak penyelenggara beberapa saat sebelum presentasi tanpa cukup penjelasan dan sejak itu telah mendapatkan banyak respon dari Buddhis di seluruh dunia.



 *   *   *   *

Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Wanita dalam Buddhisme Theravada


Oleh Ajahn Brahm

Ajahn Brahm
Pada tanggal 1 Desember 1955, di Montgomery Alabama, seorang wanita Afrika-Amerika menolak untuk mengikuti perintah seorang supir bus untuk memberikan tempat duduknya kepada seorang penumpang kulit putih. Tindakan penentangan sederhana untuk tujuan keadilan sosial ini menjadi salah satu dari beberapa simbol penting dalam Gerakan Hak Asasi Manusia modern di Amerika Serikat. Orang itu adalah Rosa Parks. Kongres Amerika Serikat memberikannya julukan “perempuan hak asasi manusia pertama” dan “bunda pergerakan kebebasan”. Tanggal 1 Desember dirayakan di Negara Bagian California dan Ohio sebagai “Hari Rosa Parks”. Rosa Parks menjadi seorang Buddhis sebelum ia meninggal pada tahun 2005 di usia 92. Kita bisa berspekulasi bahwa ikon perempuan terhadap diskriminasi ini memilih Buddhisme karena Buddhisme sangat sesuai untuk memajukan isu-isu keadilan sosial. 

Di tulisan ini, saya akan mendiskusikan bagaimana Buddhisme mungkin memajukan isu keadilan sosial khusus dalam Tujuan Pembangunan Milenium Ketiga: Kesetaraan Jender and Pemberdayaan Perempuan (Millennium Development Goal No. 3: Gender Equality and the Empowerment of Women). Saya juga akan berfokus pada perlunya bagi kepemimpinan laki-laki Theravada Buddhisme saat ini untuk dengan jelas mendemonstrasikan menunjukkan komitmennya sendiri pada MGD 3 dengan menerima penahbisan (ordinasi) bhikkhuni. Hanya dengan begitulah cara itulah ia dapat menggunakan pengaruh besarnya untuk membuat dunia kita menjadi lebih adil, di mana orang-orang dinilai berdasarkan karakternya dan bukan berdasarkan jendernya. 

Monday, June 9, 2014

Kematian yang Intim

Leila Bazzani

Waktu kematian: 09:21 pada 19 Januari 2014, hanya dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-69. Ibuku membesarkan dua anak yang cantik, adalah istri dari seorang pria yang paling manis dan lembut yang pernah saya kenal, dan di kalangan banyak teman ia juga terkenal jujur dan baik hati. Dia hidup dengan penuh pengalaman selama 68 tahun dan melakukan perjalanan jauh, baik di dalam maupun luar batin. Dan, dia juga punya kehidupan yang susah—diisi dengan banyak hari-hari sepi dan impian yang tak terpenuhi. Berkata jujur tentang orang, baik yang hidup maupun mati, adalah hal yang baik.

Saya percaya rasa tak-nyamannya mulai ada saat dia masih sangat muda, ketika ibunya meninggal di bangsal bersalin di Glouster, Massachusetts di mana dia dibesarkan. Dia bercerita bahwa tidak seorangpun di keluarganya mendatanginya dan menceritakan apa yang telah terjadi, bahwa dia harus mencari tahu banyak hal sendiri saat itu. Jadi dia meratapi kehilangannya sebagai anak lima tahun tanpa bimbingan atau penjelasan, meratap sebisa mungkin.

Monday, June 2, 2014

Melepas: Sebuah refleksi oleh Ajahn Candasirī

Ajahn Candasirī

Berjalan di Dunruchan Stone, Perthshire,
Scotland
Hidup ini tidak pasti. Refleksi inilah yang mendorong Siddhartha Gotama, seorang pangeran muda, untuk meninggalkan perlindungan semu keluarga dan istananya di mana ia dibesarkan untuk mencari keamanan dan kedamaian batin yang lebih handal. Banyak orang mungkin merasa apa yang ia temukan selama pencarian itu lebih mengejutkan lagi.

Ia melepaskan posisinya, relasinya, dan kenyamanan materinya, dan membuat upaya begitu besar untuk menundukkan dorongan nafsu keinginan, semua dalam upaya untuk menemukan ketenangan pikiran—hanya untuk menemukan bahwa pikiran pun bukan 'miliknya' sama sekali! Setelah enam tahun berusaha keras, ketika ia mencapai pemahaman itu, yang tersisa adalah kedamaian yang tak tergoyahkan. Dia tidak lagi memiliki apapun yang perlu dikhawatirkan atau dilindungi. Tidak ada lagi alasan untuk menganggap dirinya sebagai diri dengan 'kepribadian' yang harus dipertahankan berapapun juga harganya. Ia bebas.

Menghargai kemungkinan kita masing-masing untuk menemukan dan mengetahui hal ini untuk diri kita sendiri sangat menarik bagi saya dan melihatnya secara sepintas—meskipun sekilas—adalah sesuatu yang membuat saya tetap berjalan di jalan ini. Kejadian eksternal dapat terjadi tiba-tiba, mengganggu, dan dramatis; dapat juga tragis dan membingungkan. Mereka juga memberikan peringatan keras, dan dapat membantu kita untuk menyadari kerapuhan 'dunia kita'; mereka dapat menjadi dorongan untuk terus mencondongkan kita menuju keadaan stabilitas batin. Pertanyaan-pertanyaan muncul: "Tapi bagaimanakah cara kita melakukannya?”, “Bagaimana cara kita dapat mencapai keadaan itu untuk diri kita sendiri?”.