Raymond Lam (kiri) dengan Tam Po Shek, musisi dan kaligrafer dari China |
Sebagai contoh, marilah kita amati peristiwa penting yang terjadi di bulan Februari 2014. Di Universitas Hamburg, suatu kursus online tentang bhikkhuni (para biksuni) dibuka pendaftarannya. Sebagian besar kursus tersebut akan diisi dengan topik bagaimana penahbisan perempuan diperlakukan dalam tiga kitab dari peraturan Buddhis: Theravada, Dharmaguptaka, dan Vinaya-vinaya Mulasarvastivada.
“Minat utamanya tidak saja melakukan perbandingan mendetail terhadap tiga Vinaya tersebut,” kata Ven. Analayo. “Masing-masing dari ketiga Vinaya ini akan dipresentasikan dalam satu kuliah tunggal oleh seorang cendekiawan yang kompeten dalam bidangnya, kemudian kita akan membahas situasi aktual di setiap negara yang bersangkutan.”
Ven. Analayo |
Dalam debat yang terkadang-emosional mengenai penahbisan perempuan, sangatlah mudah untuk kehilangan sikap praduga-tak-bersalah [benefit of doubt] terhadap pihak lain. Ini tampaknya mudah terlebih bagi sebagian dari kita yang betul-betul mengadvokasi penahbisan penuh di dalam Theravada dan Vinaya-vinaya Mulasarvastivada. Sungguh tak dapat dibayangkan di masa seperti sekarang ini, para perempuan dari tradisi Theravada dan Mulasarvastivada dicegah untuk mendapatkan penahbisan penuh dan [mereka] mendapatkan lebih sedikit dukungan dibandingkan para biksu. Tetapi hal ini merupakan dugaan yang tidak adil.
“Pada kenyataannya, saya kira, isu tersebut tidak terlalu mengenai ‘menyetujui penahbisan’atau tidak, tetapi perasaan berwewenang untuk memberi penahbisan,” menurut pengamatan Ven. Analayo. “Hal ini tentu saja tidak menjadi isu ketika sudah ada biksuni-biksuni yang sudah ditahbiskan dalam suatu tradisi yang masih berlangsung, seperti dalam tradisi Dharmaguptaka di China dan Korea, tetapi dalam dua tradisi di mana keadaannya berbeda, tradisi Theravada dan Vinaya-vinaya Mulasarvastivada Tibet, sangat berkebutuhan untuk mengklarifikasi situasi legal yang memperbolehkan atau mencegah pemberian penahbisan yang lebih tinggi kepada para biksuni. Penahbisan adalah suatu tindakan formal yang legal dan agar penahbisan tersebut menjadi efektif dan diakui, perlu dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan legal yang relevan.” Dengan kata lain, kita perlu mengizinkan argumen yang semulia mungkin bagi mereka yang menentang penahbisan perempuan, yaitu kode-kode monastik mereka tidak mengijinkannya.
Posisi yang diambil YM Analayo diinformasikan tidak saja oleh pengalaman monastiknya yang bertahun-tahun, tetapi juga oleh penelitian ekstensifnya atas Vinaya Pali. Naskah esai yang beliau hasilkan mengenai legalitas penahbisan para biksuni merupakan publikasi yang tegas dan menentukan. Esai tersebut menjabarkan basis legal penahbisan yang dipersyaratkan oleh para kritik-kritik penahbisan bhikkhuni. Beliau melanjutkan lintasan intelektual ini dengan menguraikan masalah-masalah metodologis yang melingkupi area pembelajaran ini.
“Diskusi-diskusi seputar isu-isu kontroversial ini membutuhkan informasi yang memadai yang bisa dihasilkan dari penelitian akademik yang solid. Terlalu sering, opini-opini yang didasarkan pada persepsi-persepsi yang kurang akurat terus bersirkulasi dan mempengaruhi penilaian situasi, sehingga menuntun pada proses pengambilan keputusan tanpa informasi yang cukup. Hal ini membuat kami berminat untuk menawarkan kesempatan untuk memperoleh suatu pemahaman yang mendalam serta apresiasi atas berbagai aspek yang terlibat dalam isu-isu yang begitu kontroversial seperti penahbisan bhikkhuni.”
Saya bertanya pada beliau tentang kemungkinan bias dan diskriminasi yang telah muncul sepanjang sejarah untuk menentang perempuan. “Tentu saja ada bias gender, dan hal ini sudah ada terus menerus mulai dari sumber-sumber [literatur] awal hingga pada masa kini. Tetapi saya kira akan terlalu disederhanakan (oversimplification) untuk menghubungkan situasi ini hanya kepada aspek itu saja,” beliau mengamati.
“Dari perseptif ajaran Buddhis tentang hukum pengkondisian, selalu ada bermacam-macam penyebab dan kondisi yang mempengaruhi suatu situasi. Suatu pandangan monokausal [satu penyebab] itu seperti suatu perumpamaan seorang laki-laki buta dan seekor gajah, [dimana laki-laki itu] memegang satu bagian [gajah] lalu meyakininya sebagai seluruh bagian. Kursus ini mudah-mudahan akan mampu menyampaikan beberapa kompleksitas penyebab dan kondisi dari kasus ini.”
YM Analayo berharap kursus ini akan memperluas pandangan siswa-siswanya, membuat mereka mampu lebih memahami apa yang memotivasi orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan mereka sendiri. Bagi beliau, nilai dari mempelajari studi-studi Buddhis adalah mampu mengevaluasi situasi berdasarkan apa yang ia lihat sebagai konvergensi penelitian akademik dan praktik meditasi: pengetahuan dan visi tentang segala hal sebagaimana mereka adanya, yang kemudian bisa bertindak sebagai penuntun atas segala perbuatan yang akan diambil. Inilah cara akademi bisa berkontribusi terhadap tradisi-tradisi yang berlangsung, dan ini layak mendapatkan perhatian serius dari umat Buddha yang tulus.
Raymond Lam: Editor & Jurnalis
Raymond menerima wisudi umat awam sebagai seorang upasaka (pelayan) dari tradisi Vinaya Tionghua dan merupakan praktisi dari Buddhisme Tanah Murni Mahayana. Berprofesi sebagai jurnalis agama, ia adalah koresponden senior bagi Buddhistdoor International. Ia juga menjadi juru arsip Perpustakaan Arsip Awakening Buddhist Women. Ia merupakan anggota dari Institut International Buddhisme Ch’an dan Asosiasi Jurnalis Hong Kong. Minat utamanya adalah studi Jalan Sutra, sejarah, teologi komparatif, dan Buddhisme Huayan.Foto satu (Raymond Lam & Tam Po Shek): Koleksi Pribadi Raymond Lam
Foto dua (Venerable AnalayoBhikkhu ): Sumber, Wikipedia
Foto tiga (Para biksuni): Songkran via Compfight CC
Foto empat (bio, foto): Koleksi Pribadi Raymond Lam
No comments:
Post a Comment