Bagi saya, sering ada potongan gambar (puzzle) yang penting hilang dalam dialog-dialog Buddhis yang terlibat secara sosial, dalam kedua dialog baik tatap muka maupun terutama secara online saat dimana kita menyuarakan pendapat kita. Sekarang ini saya sangat merasakan bahwa ada penderitaan yang rupanya tak terlihat dikarenakan oleh linearitas dan ketidak-berwujudan di forum-forum aktivis online, dan saya bertanya-tanya adakah strategi-strategi pengaturan dan metode-metode pembangunan – gerakan yang dapat menyikapinya. Bagaimana kita bisa saling melihat, mendengar dan merasakan satu sama lain dengan lebih jelas dikala kita berusaha mencari tahu bagaimana memulai gerakan perubahan sistematis dalam kekuasaan dan dominasi sistem global yang rumit? Jadi bagaimana kita tampil dan berhadapan satu sama lain ketika kita mengekspresikan pandangan-pandangan kita? Adakah waktu dan ruang serta dukungan untuk pilin mendongeng dan berbagi?
Ketika kita tampil untuk menyuarakan pandangan-pandangan kita, untuk berinteraksi dan berhubungan satu sama lain secara Dharma dalam pelayanan kebebasan dan keadilan sosial, dapatkah kita tampil sebagai makhluk berwujud yang komplit, tanpa di-edit? Thich Nhat Hanh telah mengatakan bahwa, “Dalam Buddhisme, semua pandangan adalah pandangan-pandangan yang salah.” Tentu saja, kita harus memahami ini dalam konteks keseluruhan ajarannya. Namun bahkan seperti satu kalimat kutipan, saya rasa itu penting untuk dipertimbangkan bagaimana barangkali kita bisa membuat lebih banyak ruang untuk mendengar lebih banyak pandangan-pandangan yang “salah”, dan untuk mendengar secara lebih dekat lagi konteks-konteks dimana mereka muncul—untuk melingkupi diri kita dengan bahan hidup dari kehidupan satu dan lainnya. Barangkali pandangan-pandangan kita hanya “salah” seperti itu, oleh definisi, mereka hanya merepresentasikan sebagian dari realita yang lebih besar, dan kita membutuhkan satu sama lain lebih dari yang kita duga, terutama mereka yang merasa paling asing terhadap kita, dan bahkan, mereka yang tak nampak oleh kita.
Jadi, sebagai seorang Buddhis yang sudah lama bergerak di bidang sosial, saya punya sebuah kisah untuk diceritakan kepada anda, dan ini akan memantul balik menjadi pertanyaan kepada anda.
Ini adalah sebuah kisah nyata tentang seorang sahabat spiritual terbaik saya, yang meninggal di akhir Desember 2013.
Malam itu, saya sedang bekerja di komputer ketika program Skype untuk konferensi video berbunyi, dan saya menekan tombol dan berhadapan dengan Bhante Suhita Dharma. Beliau mengenakan jaket tipis berlengan panjang warna coklat berbahan polyester — versi yang biasa beliau kenakan dengan pakaian jalanan atau pakaian kerja kebhikkhuan — dan headphones terpasang di telinganya. Beliau menatap seperti burung hantu melalui kaca matanya yang besar, menunggu wajah saya muncul di layar komputernya. Ruang monastik dimana beliau menetap di sebuah biara Buddhis Vietnam di Los Angeles, bagian tahun yang kebanyakan gelap telah ditinggalkan. Tak ada satu pun yang aneh, tetapi yang berbeda kali ini adalah karena beliau diselubungi oleh kumpulan asap yang bergulung-gulung.
“Saya punya seorang teman bhikkhu di Bangladesh,” kata Bhante. “Dia dibunuh dan tubuhnya dipotong-potong menjadi potongan kecil-kecil. Dan saya punya semua foto-fotonya, di dalam sebuah kotak tepat di belakang saya. Saya punya rekamannya. Saya punya. Saya benar-benar punya!” Beliau menyalakan sebatang rokok lagi dengan api dari rokok yang sedang dihisapnya. Ia mendapat serangan jantung beberapa tahun yang lalu dan seharusnya tidak boleh merokok sama sekali, apalagi terus menerus seperti ini, tapi sekarang bukanlah waktunya buat saya untuk mengkuliahi masalah kesehatan.
Saya jarang melihat beliau tertekan. Beliau suka mencontohkan iklan deodoran tua di TV yang menautkan hasil produk mereka dengan gambaran: keren, tenang, dan menyatu; tetapi semua orang punya keterbatasan masing-masing. Cepat atau lambat, setiap orang menderita. Itulah yang Buddha ajarkan sebagai Kesunyataan Mulia yang pertama.
Ini terjadi mungkin sekitar bulan Juni 2012, ketika di Birma / Myanmar, menurut satu sumber berita, “Kebencian yang sudah lama terpendam antara kelompok Muslim Rohingya dan Buddhis Rakhine, dua kelompok etnis, kekerasan berdarah meletus.” Saya sudah membaca beritanya, tetapi saya tidak pernah ke Asia Tenggara, jadi perasaan ngeri dan prihatin saya tidak sekuat dan senyata Bhante Suhita. Beliau menghabiskan waktu dengan berpergian dan seringkali memperpanjang masa tinggalnya di Myanmar, Banglades, Thailand, Sri Langka, dan banyak negara-negara Buddhis lainnya. Dan lagi, dialah yang saya sebut penggila berita. Di kamarnya selalu ada televisi, yang terus-menerus menyala dengan siaran CNN, dimanapun beliau tinggal. Tidak seperti saya, Bhante sepertinya selalu suka tenggelam dalam arus ocehan laporan-laporan lokal dan internasional tentang kekejaman, hal-hal biasa, ramalan cuaca, dan laporan olahraga. Tapi kali ini televisinya padam dan saya dapat melihat bahwa dia sedang tertekan.
“Ini mengerikan,” Bhante berkata dengan menggebu-gebu ketika mengacu pada kekerasan dan pembunuhan di Myanmar. “Mengerikan.” Beliau menghirup dalam-dalam asap rokok yang sedang dihisapnya dan menghembuskannya. Itu menjelaskan naga purba didalam sarangnya. Saya duduk sedikit lebih tegak, meskipun sudah malam dan saya lelah. Hal terbaik yang bisa saya lakukan saat itu adalah mendengar dengan penuh perhatian, tanpa “mencoba membuat situasi lebih baik.” Situasi tak lebih baik — sebuah alasan utama mengapa ajaran Buddha tentang Kesunyataan Mulia Pertama masih relevan sampai sekarang seperti 2.600 tahun yang lalu.
Photo oleh globalformal |
Dapatkah kita, akankah kita, menemukan cara agar tidak lagi ada bom-bom baru? Itulah yang benar-benar ingin saya ketahui.
Teman spiritual terdekat saya, Ven. Suhita, selalu hadir untuk saya kapanpun beliau menelpon atau Skype, atau kapanpun kami bersama secara pribadi. Ini bisa menjadi berarti atau tidak berarti bagi anda, jika saya beritahu bahwa saya tengah duduk menuliskan ini di kamar saya yang berantakan di unit sewaan dengan satu kamar tidur, di lantai atas sebuah rumah tua di Oakland, California. Anak saya, yang sudah dewasa, tinggal disini, menempati kamar satu-satunya. Kamar saya adalah apa yang biasanya disebut sebagai ruang tamu. Ada kamar mandi dan dapur dan lemari dinding. Saya berusia 60 tahun, orang Amerika keturunan Jepang, dibesarkan di Ohio dalam komunitas pedesaan golongan pekerja, jadi saya berbahasa Inggris Amerika dengan aksen daerah Midwestern. Saya bekerja dengan para sukarelawan dan mengajar Buddhisme dan ke-elingan yang-terlibat-secara-sosial di Pusat Meditasi East Bay di tengah kota Oakland. Saya menderita keterbatasan yang disebut multiple chemical sensitivities (MCS), artinya saya banyak berdiam di rumah. Saya menjadi orang tua tunggal dan seorang monastik Buddhis. Untuk sarapan saya menghidangkan salad kol organik dan telur goreng. Saya jauh lebih banyak dari hal yang saya kisahkan kepada anda, dan semoga ini merupakan awal bagi kita untuk terhubungi.
Jika anda adalah seorang Buddhis atau praktisi spiritual yang terlibat dalam karya perubahan sosial atau keadilan sosial, apa pengalaman anda, bagaimana kita bisa hadir bagi satu dan lainnya? Apa isi cerita anda, cara anda maju, keluar dari penderitaan?
*Dari The Stick Soldiers, puisi oleh Hugh Martin, pemenang hadiah the A. Poulin, Jr. Poetry Prize
Esai ini awalnya dipublikasi di Turning Wheel Media, sebuah proyek dari Buddhist Peace Fellowship.
Mushim Ikeda
Photo credit:
Photo pertama oleh Victoria Pickering, Creative Commons license
Photo kedua oleh Ted Eytan from Washington, DC, USA CC-BY-SA-2.0 (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/2.0), via Wikimedia Commons
Photo ketiga oleh globalfromal melalui Compfight CC
No comments:
Post a Comment