Monday, March 17, 2014

Membangkitkan Para Wanita Buddhis, Sekarang

Karma Lekshe Tsomo

Upacara pembukaan pada the 13th Sakyadhita International Conference on Buddhist Women
Satu tahun membawa perbedaan apa! Tak pernah dalam sejarah dunia tercatat adanya blog wanita Buddhis dan inilah dia! Hingga hari ini, 33.831 orang telah mengunjungi blog Awakening Buddhist Women. Siapa sangka wanita-wanita Buddhis bisa menciptakan kehebohan seperti ini? Tidak hanya jumlah yang mengesankan, tapi juga keragaman post di blog ini—penulisnya, pembacanya, dan isinya–sungguh mengagumkan. Spektrum luas topik, perspektif, dan kultur yang ditulis oleh para wanita dari beragam latar belakang—cendikia, praktisi, cendikia/praktisi, aktivis, seniman, ibu, dan biarawati–blog Awakening Buddhist Women telah menjadi salah satu fenomena kontemporer yang seru di dalam Buddhisme lintas negara.

Blog ini unik dengan menanggapi beberapa hal yang kontroversial secara frontal. Perihal penahbisan wanita Buddhis, contohnya, menimbulkan perasaan kuat dari berbagai sisi. Apakah mendukung penahbisan penuh para wanita Buddhis mencemarkan peran religius para biarawati yang memilih bentuk-bentuk lain dari praktek pelepasan? Apa penjelasan untuk penolakan penahbisan penuh bagi para wanita dan apa yang diperlukan untuk mengatasi perilaku kuno terhadap para wanita di dunia Buddhis?

Peserta konferensi dari Mongol
Isu lain yang menimbulkan 'rambu lampu merah' adalah mengenai istilah “Buddhisme Amerika.” Siapa itu dan siapa yang direpresentasikan oleh istilah ini? Apakah orang-orang yang memiliki kartu izin tinggal tetapi belum mendapatkan paspor termasuk “Buddhis Amerika”? Pertanyaan ini penting karena meskipun sebagian besar umat Buddhis di Amerika adalah orang Asia atau orang Asia Amerika, namun baik literatur populer maupun riset akademis tentang Buddhisme Amerika seringkali berfokus pada para Buddhis non-Asia. Akankah orang-orang Buddhis Amerika yang sesungguhnya unjuk diri? Debat ini memaksa kita untuk menghadapi isu hak istimewa dan pencabutan hak dalam lingkup Buddhis di Amerika Serikat. Apakah mungkin orang-orang Buddhis, yang menyebut dirinya orang berpikiran terbuka, lebih memilih berlatih di pusat-pusat Buddhis dimana orang-orangnya serupa dengan diri mereka sendiri?  Mengapa banyak “orang-orang Buddhis Amerika” ragu untuk mengunjungi vihara-vihara Thai atau Kamboja di tempat mereka? Apa yang terjadi pada nilai-nilai liberal tentang keragamanan kultur? 

Debat lain berhubungan dengan tren kewaspadaan (mindfulness). Bisakah latihan kewaspadaan dikeluarkan dari konteks religius dan filosopinya? Beberapa orang mengklaim bahwa praktek kewaspadaan, seperti “Buddhisme sekuler”, adalah hal ideal bagi masyarakat kapitalis. Allan Hunt Badiner dalam bukunya  Mindfulness in the Marketplace: Compassionate Responses to Consumerism mengadvokasi kesadaran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam menggunakan pilihan kita dalam berbelanja dengan harapan untuk mengurangi efek dari kapitalisme korporasi pada lingkungan dan masyarakat. Suatu interpretasi yang sangat berbeda dari “kewaspadaan di pasar” adalah suatu cara untuk memasarkan kewaspadaan—kepada korporasi, penjara, militer, dan publik—telah semakin menjadi barang konsumer itu sendiri. Praktek kewaspadaan Buddhis secara luas diakui sebagai daya penyembuh yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah nyata di dunia, namun apakah absah untuk memasarkan kewaspadaan tanpa mengakui akarnya dalam tradisi Buddhis? Seberapa berguna kewaspadaan tanpa pondasi etika, terlepas dari welas asih, cinta kasih, dan kebijaksanaan? Bagaimanapun, seseorang dapat membunuh atau merampok bank dengan sangat waspada. 

Para Bhiksuni dari tradisi yang berbeda
Dalam merespon debat-debat ini dan lainnya, Awakening Buddhist Women telah menjadi zona bebas-berpikir, terbuka untuk berbagai ide dan opini. Blog ini telah menjadi forum global yang berharga dalam berbagi pengalaman dan intepretasi dari pemikiran dan praktek Buddhis, dengan intipan-intipan ke dalam kehidupan para wanita Buddhis di belantara Thailand hingga ke daerah kumuh di India hingga ke kelas-kelas universitas di California. Blog ini menyediakan tautan-tautan ke berbagai proyek-proyek dan berita tentang kegiatan yang akan datang, termasuk konferensi 14th Sakyadhita International Conference on Buddhist Women yang dijadwalkan untuk diadakan pada tanggal 23-30 Juni 2015 di Yogyakarta, Indonesia. Tetaplah bergabung untuk post-post yang semakin menarik. 


Karma Lekshe Tsomo: Bhiksuni 


Karma Lekshe Tsomo tumbuh besar dengan berselancar dan menjelajahi pantai di Malibu, California. Nama keluarganya Zenn mendekatkannya pada Buddhisme sejak usia muda. Pada tahun 1964, ia pergi ke Jepang untuk berselancar, namun malah melakukan meditasi Zen. Sesudah berbagai petualangan, ia ditahbiskan sebagai seorang biarawati di Perancis pada tahun 1977, dan hidup selama bertahun-tahun di India dan Hawaii. Saat ini, ia mengajar Buddhisme di Universitas San Diego, memimpin Jamyang Foundation, dan menjadi sukarelawan bersama Sakyadhita.

No comments:

Post a Comment