Monday, March 10, 2014

Tidak Ada Selfie

Jenna Vondrasek

Jenna Vondrasek di Big Sur, California - tempat yang paling disukainya di dunia

Potret diri sendiri, yang pernah dianggap sebagai representasi dari suatu karya seni, telah berevolusi menjadi konsep terobosan baru: selfie [mengambil foto diri sendiri]. Selfie menjadi sangat populer dengan adanya teknologi ponsel pintar. Mengambil selfie melibatkan membalik kamera dan mengambil foto diri kita sendiri–sering kali dengan posisi yang membuat kita terlihat lebih menarik. Bertambahnya jumlah selfie dengan pesat dan memenuhi media sosial seperti Facebook dan Instagram, kita harus mempertanyakan alasan di balik kehebohan ini. Kepentingan dasar dari suatu selfie mengkomunikasikan pengenalan diri dan identitas dan juga rasa berlebih-lebihan dan obsesi terhadap diri.

Tetapi, kapan jenis ekspresi ini menjadi obsesi terhadap diri sendiri? Situs seperti Facebook dan aplikasi-aplikasi ponsel pintar seperti Instagram telah menjadi tempat untuk orang membangun citra diri dan identitas sosial. Popularnya selfie memberikan kontrol bagaimana seseorang dilihat pada halaman atau akunnya. Intinya, seseorang dapat sepenuhnya berubah dan mengubah citra diri dengan tren ini.

Budaya obsesi terhadap diri ini bertentangan dengan konsep Buddhis “tanpa-diri” atau penolakan terhadap pengidentifikasian diri. Esai ini bertujuan untuk mendiskusikan prinsip Buddhisme anatman, atau tanpa diri, dan implikasi secara psikologis tentang tren selfie menurut perspektif Buddhis.

Walaupun kita sering menggunakan kata “diri” atau “saya” dalam kehidupan sehari-hari, Buddha mengajarkan bahwa kata-kata referensi ini bukanlah indikasi bahwa ada diri yang ajek [tidak kekal] —melainkan mereka hanya merujuk pada diri konvensional. Seorang Buddhis akan pergi mendalami referensi doktrin tidak-kekal, bahwa hal-hal selalu berubah. Lima agregat dari manusia, yaitu bentuk, perasaan, persepsi, pikiran, dan kesadaran selalu berubah. Oleh karena itu, seorang Buddhis menyadari bahwa dengan demikian seseorang seharusnya tidak melekat pada agregat ini karena dengan melakukan itu akan berujung pada ketidakbahagiaan dan penderitaan. Satu-satunya agregat yang dibawa sesudah meninggal adalah kesadaran.

Dengan menerima doktrin anatman, seorang Buddhis akan mempertanyakan fenomena budaya selfie. Jika tidak ada diri yang ajek [tidak kekal], seorang Buddhis akan merasa heran atas obsesi budaya terhadap mengkonstruksi dan mempertahankan identitas media sosial. Ray Crozier dan Paul Greenhalgh melakukan satu studi berjudul, “Self-Portraits as Presentations of Self” (Potret Diri Sebagai Presentasi Diri), yang menyelidiki makna psikologis dari potret diri dalam segi kesadaran diri, presentasi diri, dan konstruksi sosial dari diri. Studi mereka menyediakan kerangka yang sangat berguna untuk menyelidiki isu selfie dari perspektif Buddhis yang investigatif.

Sub-bagian pertama dari “Self-Portraits as Presentations of Self” mengatakan bahwa mengambil foto selfie meningkatkan kesadaran diri. “Ini adalah keadaan yang tidak menyenangkan karena ini membuat seseorang menaruh perhatian pada perbedaan antara standarnya dan keadaannya sekarang—ini mengurangi rasa percaya diri dan secara umum membuat seseorang lebih kritis pada diri” (Crozier dan Greenhalgh, hal. 29). Poin ini saja menyajikan hal-hal yang akan disetujui oleh pemikir Buddhis bahwa kemelekatan pada konsep diri akan menuntun ke penderitaan. Ketidakpedulian terhadap kemelekatan pada ide tentang diri akan membawa seseorang untuk membuat perbandingan yang salah dengan orang lain, yang akan membuat orang itu merasa dirinya lebih buruk.

Contohnya, ketika seseorang berpartisipasi dalam membuat dan mempertahankan halaman Facebook, sebuah siklus berbahaya terbentuk. Detil rumit dan waktu yang dihabiskan untuk memfoto selfie, termasuk memosisi kamera dengan pencahayaan tertentu dan kemudian mengedit foto, terlihat agak aneh dan memberi makanan pada keterpakuan pada diri. Itu akan menjadi gambar yang dikonstruksi dan dimanipulasi, dengannya seseorang didefinisikan berdasarkan perbandingan dengan orang lain. Crozier dan Greenhalgh juga mempertanyakan apakah pembentukan potret diri seperti ini akan membuat seseorang lebih percaya diri dengan identitas sosialnya, atau justru menjadi lebih sadar akan bagian-bagian tertentu yang ingin ia tonjolkan—yaitu membahas bahwa kenyataannya foto-foto itu tidaklah alami.

Jenna di San Diego
Karena saling-terkoneksinya budaya kita melalui Internet dan kemajuan teknologi, dunia kita semakin melekat pada identitas dan pencitraan. Seorang Buddhis akan setuju dengan Crozier dan Greenhalgh bahwa obsesi narsis yang tidak alami terhadap gambar dan identitas diri akan menyuburkan  “kemelekatan ego” dan membangun anggapan diri yang salah. Semakin banyak seseorang mengunggah selfie, semakin besar keinginannya untuk mengunggah, dan dengan cepat itu menjadi suatu obsesi.

Lebih jauh, seorang Buddhis akan menghubungkan “kesadaran” diri yang salah ini dengan teori psikologi yang kedua mengenai presentasi diri. Teori ini berhubungan dengan bagaimana seseorang mempresentasikan dirinya ke orang lain. Dalam popularitas selfie, teori presentasi diri ini berwujud dalam gabungan selfie dengan media sosial. Apa yang sebenarnya dikomunikasikan dari jenis gambar seperti ini?

Mark Epstein, penulis Thoughts Without a Thinker: Psychotherapi from a Buddhist Perspective (Pikiran Tanpa Pemikir: Psikoterapi dari Perspektif Buddhis), membabarkan, “Karena itu [diri] adalah hanya ide tetap–dan diri yang dibentuk oleh seorang anak, tidak kurang—itu tidak mungkin menjadi representasi yang akurat dari seorang manusia yang terus berubah dari momen ke momen. Karena itu, ketika mempertahankan konsep diri ini, kita akan terus menerus bertempur untuk mempertahankan sesuatu yang tidak bisa dipertahankan.”[2] Epstein dengan berhati-hati memilih untuk mendeskripsikan fenomena sebagai pertempuran untuk menunjukkan perjuangan yang menghubungkan diri dengan menjadi bagian dari siklus ini. Dalam membuat foto selfie, seseorang dapat memanipulasi reaksi orang lain. Itu mengundang kritik dan menguatkan emosi yang dimanipulasi secara sosial, seperti kecemasan dan kepercayaan diri yang rendah. Jika tujuan seseorang mengambil foto selfie adalah untuk merasa lebih baik, efeknya malah bertolak belakang. Itu menjadi pertempuran internal dan dari perspektif Buddhis, sebuah pertempuran yang bisa sepenuhnya dihindari.

Seorang Buddhis memandang keduanya, rasa percaya diri yang tinggi dan yang rendah, sebagai problematis. “Tak peduli sedeskriptif apapun kedua konstruksi-konstruksi [dari rasa percaya diri] sepertinya terlihat, mereka tidak lengkap dan bias, dan mereka merepresentasikan hanya satu cara dari konstruksi diri di saat tertentu. Ketika disalahartikan sebagai “nyata”, maka kenyataan bahwa mereka diciptakan oleh motivasi dilupakan. “ Seorang Buddhis akan menganjurkan pengembangan kesadaran dan kewaspadaan mendalam. Menggunakan kewaspadaan menghilangkan kemelekatan pada ide “diri”, dan sebaliknya berfokuskan pikiran pada konteks dari suatu situasi dan dari pengalaman dan perilaku seseorang.

Mewaspadai bagaimana pengalaman-pengalaman dan perilaku mempengaruhi identitas bekerja seiring dengan teori terakhir yang dibabarkan Crozier dan Greenhalgh, yaitu teori konstruksi sosial. Mirip dengan prinsip Buddhis tentang saling-mempengaruhi (interpermeation), teori ini memberikan ide bahwa semua fenomena dan persepsi dari individu, kelompok, atau ide itu dibentuk bersama oleh masyarakat. Dari perspektif Buddhis, David Loy menggambarkan rasa keterpisahan kita sebagai suatu  delusi. Interkoneksi dunia kita ini membentuk budaya kita dan alhasil melahirkan  fenomena seperti “selfie” ini. Tapi pada titik mana budaya kita menjadi terlalu terhubung?

Seorang Buddhis mungkin berkata bahwa kita sudah lewat terlalu jauh; bahwa dukungan dan obsesi kita pada Facebook, Instagran dan media sosial lainnya telah membentuk kenyataan-ganda: literal dan teridealisasi. Selfie menjadi bagian kecil dari masalah yang lebih besar. Apakah mengambil foto dari diri adalah suatu tindakan yang tidak baik? Seorang Buddhis akan mengatakan tidak. Namun, ketika seseorang menjadi melekat pada pandangan teridealisasi tentang realita dan menjadi semakin dilebih-lebihkan di profil media sosial seseorang, maka perang telah dimulai. Tetapi beberapa orang mengatakan bahwa ada harapan untuk menghindari impresi tidak baik bahwa masyarakat sedang menghadapi krisis identitas yang lebih besar. Jadi—sebagai catatan singkat dari seorang Buddhis tak dikenal—saya memperingatkan pengambil selfie yang setia di seluruh dunia untuk mengambil foto dengan hati-hari, dengan kewaspadaan menyadari kenyataan yang mana yang sedang anda pupuk, dan sadari ketidakberadaan selfie.

Jenna Vondrasek: Mahasiswa


Jenna Vondrasek adalah mahasiswa di University of San Diego. Sejak kecil, ia gemar mengumpulkan patung Buddha dari berbagai penjuru dunia. Ia membaca tentang Buddhisme dan mengambil kelas-kelas tentang agama-agama dunia. Sesudah pindah ke California untuk bersekolah, ia mulai merasa sebagai Buddhis. Pandangan-pandangan Buddhis terus membantunya mengikis klesha usia mudanya—kemarahan, kebencian, dan keserakahan. Ia telah menunjukkan manfaat meditasi dan yoga untuk penyembuhan kepada keluarga dan teman. Sesudah mengikuti kelas Ven. Karma Lekshe Tsomo di USD tentang pemikiran dan budaya Buddhis, ia semakin yakin pada pengembangan wanita yang sehat dan kuat di Buddhisme dan di luarnya.

Foto-foto koleksi Jenna Vondrasek

No comments:

Post a Comment