Monday, March 31, 2014

Pembangun Jembatan: Wawancara dengan Gloria Taraniya Ambrosia

Barre Center for Buddhist Studies
Saya akan mulai dengan pertanyaan kentara, Taraniya: Bagaimana anda mulai terlibat dalam semua ini? 
Sepanjang ingatan saya, saya selalu tertarik dengan apa yang kita sebut jalan spiritual. Hal itu terwujud dalam banyak bentuk di tahun-tahun awal keterlibatan saya, tetapi saya dapat memberitahu anda apa yang mengarahkan minat saya pada Buddhisme dan bagaimana saya awalnya berhadapan dengannya.

Saat berusia dua puluhan tahun dan awal tiga puluhan tahun, saya tertarik untuk melakukan perubahan melalui sistem politik, sosial dan ekonomi. Saya ingin bekerja di bidang yang membantu orang-orang dalam secara positif. Di usia awal tiga puluhan, saya bahkan kembali bersekolah untuk mengambil gelar master dalam bidang administrasi publik dan segera setelah itu bekerja bagi penasehat pemerintah di bidang Sains di Carolina Utara.  Saya tertarik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan posisi ini menawarkan sesuatu yang berhubungan dengan sains serta kebijakan publik. Melalui kantor ini dan agensi lainnya, yang merupakan perpanjangan dari kantor kami, saya bekerja untuk mempromosikan bioteknologi sebagai suatu teknologi baru bagi Carolina Utara.

Awalnya, teknologi-teknologi baru ini kelihatannya sesuai dengan keinginan saya untuk meningkatkan kehidupan manusia; mereka memberikan harapan untuk menyediakan makanan bagi yang kelaparan, obat bagi yang sakit, dan hal baik lainnya. Tetapi bagi saya, ada sesuatu yang melenceng. Saya mulai menyadari bahwa hati saya tidak puas bekerja di level politik dan ekonomi. Saya ingin, bahkan membutuhkan, pendekatan yang berbasis lebih pada hati untuk menghadapi penderitaan umat manusia. Sampainya saya pada kejernihan pemikiran ini tidaklah terjadi selama semalam. Saya melalui serangkaian rasa frustasi dan putus asa. Pekerjaan pilihan saya tidak cocok dengan idealisme saya, dan saya butuh sesuatu yang pas. Namun, butuh waktu bagi saya untuk mengetahui apa yang “melenceng” itu. 

Pada saat itulah saya mulai melakukan yoga sebagai jalan untuk menenangkan diri dan berdamai dengan konflik saya tentang pekerjaan. Akhirnya, saya cukup terampil dalam yoga, mempertahankan postur-postur dengan waktu lebih lama dan lebih lama, terutama postur lotus. Pada satu titik, saya berpikir, “Saya pikir saya sedang bermeditasi! Saya harus mendapatkan arahan meditasi.” Saya lalu meminta bimbingan dari guru yoga saya dan ia mengarahkan saya pada retret meditasi pandangan terang selama satu pekan. Retret itu berlangsung selama satu bulan dan bertempat dekat dengan rumah saya, sehingga saya memutuskan pergi. Seperti pulang ke rumah! Saya merasa begitu bahagia, sehingga saya menangis selama setengah akhir pekan itu. Ketika saya melakukan meditasi berjalan untuk pertama kalinya, saya merasakan kebahagiaan yang meluap. Saya tahu ini terdengar dramatis, tetapi pengalaman itu demikian hebatnya buat saya. 

Bagian apa dari pengalaman itu yang anda rasa begitu menyentuh?
Ketika saya melakukan langkah dengan sadar pertama dalam praktek meditasi jalan, saya menyadari bahwa saya tidak pernah demikian awas dengan setiap langkah yang saya lakukan. Perintah meditasi itu begitu sederhana: “Bernapas, dan tahu bahwa kamu sedang bernapas. Berjalan, dan tahu bahwa kamu sedang berjalan.” Dan sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, saya tiba-tiba memiliki suatu rasa bahwa sesuatu yang tadinya begitu melenceng telah diluruskan. Saya temukan ajaran Buddha begitu indah! Ajaran-ajarannya mengacu pada cara untuk mengembangkan kewaspadaan pikiran, juga cinta kasih, kebaikan, dan keadaan pikiran yang murah hati. Saya merasa seakan-akan seluruh pengalaman itu memanggil saya untuk hidup sepenuhnya, dan untuk mulai menjalani suatu kehidupan yang begitu dirindukan oleh batin saya. 

Dan apakah latihan meditasi mempengaruhi yoga anda? 
Saya menyadari bahwa meskipun jelas-jelas yoga adalah suatu latihan spiritual, tetapi saya telah menggunakannya seperti orang berlatih aerobik yaitu untuk mengeluarkan energi yang tertahan atau untuk mengurangi stres. Saya tidak benar-benar terhubung dengannya secara spiritual. Dengan latihan kesadaran, saya mengambil langkah itu. Dengannya, saya belajar menggunakan kemampuan pengamatan saya untuk melihat ke dalam hal-hal yang tampaknya menciptakan kesulitan dalam hidup saya, dan mencoba untuk memahami semua itu daripada hanya sekedar relaks di sekeliling kesulitan itu. 

BCBS
Apa yang terjadi kemudian? 
Hidup saya mengalami perubahan drastis. Retret pertama berlangsung pada April 1986. Saya menghabiskan musim panas selanjutnya dengan mengikuti semua retret selama masa cuti saya memungkinkan. Pada bulan Oktober, saya berhenti kerja, memutuskan hubungan asmara saya, menjual sebagian besar harta saya, dan pindah ke Southern Dharma, suatu pusat retret di pergunungan di Carolina Utara. Ide saya adalah untuk melibatkan diri secara total daripada hanya sekedar ikut retret. Saya bekerja sebagai manajer di pusat retret tersebut untuk selama hampir setahun.

Tetapi segera saya sadari bahwa meskipun pusat retret itu melakukan pekerjaan yang hebat bagi para peserta retret, tempat retret itu justru tidak menyediakan panduan bagi staf mukim tentang bagaimana menjalani kehidupan bersama sebagai bentuk latihan. Dan kami, para staf, ditinggalkan untuk mencoba mengatasinya sendiri. Tidak ada guru mukim, dan tidak ada bentuk yang khusus sebagai panduan. Kami akhinya berjalan tanpa arah serta penuh keluhan.

Saya pikir waktu saya akan lebih baik dihabiskan dengan melakukan praktek sendirian secara intensif, jadi saya pergi ke IMS (Insight Meditation Society). Saya memperpanjang retret tiga bulan pertama saya hingga berlatih jangka panjang, tinggal sebagai seorang “yogi jangka panjang” selama jangka waktu dua tahun. Saat itu, saya lebih banyak tinggal dalam ruangan batu bata di ruang bawah tanah yang diberi julukan “gua”. Tepat di depan pintu adalah arena bowling tua, yang menjadi jalur meditasi pribadi saya. Untuk menjaga wadah latihan saya tetap ketat, yaitu untuk menjaga kewaspadaan dan konsentrasi, saya tidak banyak menjelajahi bangunan itu. Saya hanya fokus pada latihan “mengangkat [kaki], bergerak, menurunkan [kaki]”, dan “bernapas masuk serta bernapas keluar” dengan sangat fokus. 

Apa rasanya melakukan begitu banyak latihan secara terus menerus? Banyak orang akan suntuk melakukannya.
Saya tahu. Bahkan sekarang ketika saya menengok ke belakang dan bertanya, “Bagaimana saya melakukan itu?” Pada saat itu, saya memiliki tekad yang kuat. Satu dari anggota staf saya pada masa itu biasa memanggil saya “hardcore (ekstrim)". Saya memang selalu orang yang bertekad—tapi tidak selalu terampil! Tetapi di sini tekad itu merupakan suatu keuntungan karena memungkinkan saya untuk mempertahankan jenis latihan ini selama waktu yang lama. Saya dapat dengan jujur mengatakan bahwa saya jarang bersikap longgar pada diri sendiri, dan sungguh-sungguh menggunakan struktur retret untuk memunculkan pandangan terang. 

Itu bukanlah sepenuhnya menyenangkan dan penuh permainan. Kadangkala, saya dapati diri saya menggeliat di lantai menderita karena siksaan mental, akibat beberapa kondisi dari hidup atau pola mental yang tidak bisa saya lepaskan, atau memori dari hal buruk yang telah saya lakukan atau yang telah dilakukan pada saya. Saat itu seakan-akan seperti saya terhampar di depan semua makanan yang tidak tercerna dari kehidupan emosional saya.

Tetapi tentu saja ada masa-masa bahagia juga. Ketika seseorang fokus dalam jalan ini selama waktu yang lama, ia tidak dapat tidak masuk dalam jhana-jhana (tingkat-tingkat pencerapan dalam meditasi) dan menikmati beberapa jenis kenikmatan. Dan ada momen-momen sangat hebat saat melihat ke dalam kebenaran. Sebagai contoh, suatu saat ketika saya sedang melakukan meditasi jalan di tanah yang dicor beton yang dulu merupakan cekungan kolam renang di IMS, saya melihat dengan sangat langsung bahwa pikiran berorientasi masa depan yang saya sedang pikirkan sebenarnya merupakan pikiran di saat ini. “Itu hanyalah suatu pikiran!” saya berseru dalam hati.  “Tidak ada masa depan! Masa depan tidak memiliki kenyataan absolut!”

Mendobrak pandangan terhadap dunia seperti itu memiliki efek yang sangat hebat. Hal itu melemahkan tarikan dari masa depan, kebiasaan yang disebut Buddha “pembentukan”. Selama beberapa bulan latihan, seseorang mulai mengalami semua aspek tubuh dan pikiran—sensasi, perasaan, dan pikiran—dengan sikap netral yang semakin besar dan besar. Hal ini membawa penyesuaian diri tentang definisi diri yang bertahap tapi mengakar.

Melewati beberapa bulan dan tahun latihan itu, saya mulai mendapatkan apa yang mirip dengan melepaskan kemelekatan dari seluruh hal ini, yang sampai pada titik itu, saya ketahui sebagai “saya”. Saya membentuk hubungan yang benar-benar berbeda dengannya. Ketertarikan akan kesenangan maupun penderitaan mulai melemah, saya mengurangi noda-noda batin kasar, dan saya mulai mendalami pemahaman yang muncul dari latihan itu.

Setiap tiga bulan atau lebih, saya akan berhenti berlatih dengan cara ini dan keluar menuju dunia (awam) selama beberapa hari atau seminggu, hanya untuk melakukan cek kenyataan. Saya belajar banyak dari datang dan pergi seperti ini. Saya dapat melihat langsung betapa hebatnya pengaruh dunia, betapa memikat, namun juga menyakitkan dorongan itu, dan apa rasanya terjerat olehnya. Saya dapat melihat, contohnya, pengaruh buruk dari kurangnya kata-kata penuh cinta kasih. Ketika pertama kali anda keluar dari retret dan mulai berbicara, segala sesuatu bahkan kata kasar yang tersembunyi pun terasa seperti noda hitam yang keluar dari mulut anda. Dan satu saat ketika seorang penjaga toko berbicara kasar pada saya, saya menangis! Saya dapat melihat bahwa saya menjadi lebih sensitif terhadap hal-hal yang kita lakukan yang saling melukai satu sama lain.

Jadi ke mana anda pergi setelah berlatih seperti itu?
Benih dari apa yang datang kemudian sesungguhnya terjadi ketika latihan panjang saya di IMS. Kecuali saat ceramah Dhamma di malam hari, saya jarang berpartisipasi dalam retret-retret yang diadakan dan sedang berlangsung di lantai atas ruangan saya. Saya mendapati bergerak kesana-kemari bersama meditator yang baru datanga dari situasi yang lebih gelisah mengganggu pikiran saya sangat hening. Tetapi kemudian ada suatu retret yang dipimpin oleh dua bhikkhu dari Komunitas Amaravati di Inggris, yaitu Ajahn Sucitto dan Ajahn Karuniko. Entah bagaimana, saya merasa tertarik untuk berpartisipasi.

Saya tidak akan pernah melupakan pengalaman ketika saya melihat dua bhikkhu ini masuk ke dalam ruangan di malam pertama. Ada rasa penuh meluap dari dalam diri. Tubuh saya ingin berpindah ke postur bersujud dan tangan saya bersikap anjali. Saya ingat bahwa saya begitu tersentuh oleh pelafalan mereka dan hampir tidak dapat menunggu baris-baris tertentu dalam pelafalan itu yang sangat menggetarkan saya. Semua itu terasa sangat menyenangkan bagi saya. 

BCBS
Setelah seminggu berlalu, jelas bagi saya bahwa ada sesuatu yang sangat berbeda dari orang-orang ini. Lebih dari sekedar cara mereka mengkomunikasikan ajaran—yang sangat menyentuh, yang diambil dari latihan dan pengalaman mereka sendiri—saya merasa bahwa mereka mewujudkan ajaran Buddha dengan sedemikian rupa yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Mereka menjalani gaya hidup pelepasan yang mengagumkan dan mereka tetap bahagia! Sebagai tipe orang yang disebut serakah, saya harus menyesuaikan diri pemikiran saya untuk mengerti hal ini. Dalam skala kecil, saya merasa sedang mengalami apa yang Buddha rasakan tentang utusan surgawi keempat, seorang pertapa. [Tiga utusan pertama adalah orang sakit, orang tua, dan sesosok mayat]. Bhikkhu-bhikkhu itu menginspirasi saya. Saya meninggalkan retret itu dengan perasaan bahwa [mendapatkan] buah dari latihan adalah hal yang mungkin. Saya menyukai perasaan itu. Saya memanfaatkan setiap momen dalam retret itu [baik-baik] dan menangis ketika mereka pergi, tetapi sebelum mereka pergi saya bertanya pada Ajahn Sucitto apakah ada tempat untuk wanita di biara mereka dan ia berkata, “Tentu saja, datang dan berkunjunglah ketika anda telah selesai mengangkat (kaki), memindahkan, dan menaruh (kaki).” 

Perlu waktu lebih dari setahun sebelum saya akhirnya pergi ke Amaravati [di Inggris]. Pertama kali saya pergi, saya tinggal selama enam bulan. Sejak itu, saya telah mengunjungi satu atau lebih dari biara dengan tradisi itu [silsilah Ajahn Chah] hampir setiap tahun, biasanya tinggal selama sebulan sampai tiga bulan.  

Apa yang anda temukan begitu memikat mengenai lingkungan praktek di biara itu?
Oke, pertama-tama ijinkan saya mengajukan beberapa aspek dari bentuk [latihan] ini. Ketika anda pergi ke biara sebagai seorang umat awam, anda harus setuju untuk tinggal dengan standar dan panduan yang telah ditetapkan. Bagi umat awam, hal ini mencakup untuk tinggal dengan delapan sila [lima sila, termasuk hidup selibat, ditambah tidak makan setelah tengah hari, tidak mendengarkan musik atau pergi ke pertunjukan, tidak mempercantik diri sendiri dengan wangi-wangian atau perhiasan]. Bagi beberapa orang seperti saya yang tumbuh di rumah yang penuh wanita yang suka makan dan menari serta berdandan, itu adalah satu langkah besar! Untuk perjalanan pertama saya ke biara itu, saya membawa satu koper yang sangat besar. Saya pikir saya akan butuh banyak baju! Tetapi seseorang dengan segera belajar betapa sedikit sesungguhnya yang kita butuhkan. Kebahagiaan hidup menyucikan diri mungkin sulit dicapai pada awalnya, tetapi dengan segera, seseorang menemukan dirinya bergembira dalam kesederhanaan dan puas dengan yang sedikit itu. 

Kemudian ada praktek puja setiap pagi dan malam. Ini adalah hal yang baru bagi saya dan saya terkejut mendapati bahwa saya memiliki banyak energi melakukan puja. Berada di biara dan bergabung dalam puja harian [meditasi dan melafal] menyediakan penyaluran yang terstruktur dari energi pemujaan yang terpendam yang saya sadari telah membuat saya tertekan. Menengok kembali, saya pikir saya perlu suatu bentuk untuk mengungkapkan inspirasi saya.

Tetapi bagi saya, aspek yang mendorong saya berlatih di biara itu terutama adalah hidup dalam komunitas dan bahwa kehidupan seperti ini menunjukkan tempat dimana saya perlu berkembang serta menarik keluar dan menguatkan kebaikan alami saya. Melakukan praktek sendirian itu bagus, tetapi ketika saya harus kembali berhubungan dengan manusia, saya dapat melihat bahwa saya masih memiliki begitu banyak kemarahan! Kehidupan monastik menyediakan suatu lingkungan yang aktif dan juga sangat aman serta mendukung untuk menjadi sadar akan tujuan akhir semua ini dan berlatih melewatinya.

Saya ingat suatu ketika saya mencoba untuk berbicara dengan seorang biarawan dengan cara yang tidak terampil–anda tahu, punya opini yang kurang baik mengenai seseorang dan ingin memulai percakapan yang buruk. Dengan terampil ia menolak untuk terlibat, dan ketidakikutsertaannya dalam upaya saya menyebarkan keburukan terlihat jelas oleh saya. Saya berdiri di sana dengan penyakit di diri saya. Keindahan dalam interaksi ini terletak pada tidak ada perasaan dinasehati atau dikritik atau dihakimi atas sikap saya yang tidak terampil ini. Saya sesungguhnya mendapat kesan bahwa biarawan itu mundur dari [situasi] itu, mengijinkannya, sehingga hal itu dapat berlalu. Saya mengalami dukungan seperti ini berulang-ulang di biara itu–terutama bersama para biarawati yang tinggal bersama saya ketika saya di sana. Seseorang mulai memahami apa itu sebenarnya persahabatan spiritual sejati. Dengan dukungan baik dan terampil ini, batin, tindakan, dan ucapan anda akan mulai condong pada yang baik.

Saya juga mendapati kecepatan aktivitas di biara sangat mendukung dan benar-benar masuk akal. Hal yang mendorong kecepatan dimana proyek-proyek dapat diselesaikan adalah tahapan dimana seseorang dapat tetap waspada di dalamnya. Itu bukan berarti bahwa tidak ada saat dimaka kita harus berpacu dengan waktu atau bahwa kecepatannya begitu santai sehingga kita hanya bermalas-malasan. Hanya saja kebutuhan untuk menyelesaikan sesuatu tetap dijaga dalam perspektif yang tepat. Tidak ada perasaan terburu-buru; seseorang tidak sedang berlomba melewati suatu aktivitas atau dari satu proyek ke proyek lainnya. Kehidupan sehari-hari tidaklah diobsesi atau diburu-buru. Saya mendapati diri saya secara otomatis lebih perhatian terhadap hal-hal karena ada lebih banyak ruang (gerak) di sekitar aktivitas. Dan saya dapat melihat secara kontras ketika saya meninggalkan biara betapa hiruk pikuknya hidup saya. Selama bertahun-tahun saya mendapati bahwa saya melakukan lebih sedikit, dan lebih gembira karenanya. Ada banyak ruang yang lebih besar dalam hidup saya yang muncul dari memberi perhatian pada apa yang sedang saya kerjakan. 

Barre Center for Buddhist Studies
Pernahkah anda mendapati diri anda berkeinginan untuk ditahbiskan menjadi biawarati? 
Ketika pertama saya pergi ke biara, itu adalah yang ada di dalam benak saya. Tetapi saya tidak tergerak untuk melakukan hal itu. Dan saya menyadari bahwa selama beberapa tahun kemudian serta beberapa perjalanan ke biara, saya masih tidak menginginkan untuk “maju”. Saya harus mengakui bahwa ini adalah suatu teka-teki bagi saya. Jelas, saya tertarik pada kehidupan monastik. Tetapi tampaknya itu tidak terjadi pada saya. 

Saya mengkaji pertanyaan itu selama sepuluh tahun–juga membandingkan diri saya dengan para biarawati serta biarawan, dan tetap belum sampai. Selama bertahun-tahun, saya berpikir kehidupan awam adalah hanya sisa setelah saya tidak dapat membuat keputusan untuk menjadi biarawati. Tetapi beberapa tahun kemudian, terjadi sesuatu yang menyadarkan saya dari cara membanding-bandingkan ini.

Selama bertahun-tahun saya sangat berterima kasih terhadap para biarawati dan biarawan dalam silsilah ini secara umum, dan terhadap dua individu secara khusus [bhikkhu] Ajahn Sucitto dan [bhikkhuni] Ajahn Siripanna. Selama bertahun-tahun, mereka telah menjadi guru utama saya. Saya ingin memberikan mereka hadiah khusus. Hal yang paling masuk akal menurut saya adalah mengatur retret individu panjang bagi mereka, jauh dari permintaan untuk menjalankan biara, jauh dari tanggung jawab mereka, dan retret dimana saya akan mendukung. Sebagai kepala biara, mereka secara konstan melayani komunitas luas, dan biasanya mereka jarang mendapat kesempatan untuk melakukan retret meditasi yang panjang dan menyendiri.

Ajahn Siripanna meninggalkan kehidupan monastik sebelum ia dapat menerima penawaran saya, tetapi pada musim dingin tahun 2000 saya dapat mendukung retret enam minggu untuk Ajahn Sucitto. Saya mengatur agar ia dapat melakukan retret sendiri di satu kabin di hutan di Barre Center for Buddhist Studies, dan membuat komitmen untuk memastikan kebutuhan dan perlengkapan dasarnya tersedia setiap hari selama enam minggu.

Selama periode pelayanan langsung kepada Sangha seperti ini, saya merasakan perubahan dramatis dalam sikap saya. Kekuatan hormat, bakti, dan murah hati membantu saya untuk melihat dengan lebih jelas betapa saya sesungguhnya telah terhubung pada monastik selama tahun-tahun tersebut: saya senang mendukung mereka. Dan begitu saya berhenti membandingkan kehidupan saya dengan mereka, saya dapat melihat bahwa saya sesungguhnya benar-benar bahagia menjadi umat awam yang mendukung (Sangha). Saya menyenangi apa hal itu timbulkan pada batin saya. Saya tidak pernah melihat dengan sangat jelas seperti itu sebelumnya. 

Sejak saat persembahan pada Ajahn Sucitto, saya menyelidiki ajaran Buddha pada kehidupan awam dengan lebih dekat dan saya berusaha keras untuk belajar dan menjalani hidup Buddhis sebagai umat awam dengan lebih sepenuhnya. Ini membuat saya sangat bahagia.

Tetapi kehidupan anda sebagai umat awam masih berpusat pada Sangha monastik?
Ya,  saya tentu saja melakukan hal itu dengan cara tradisional. Saya tidak dapat membayangkan suatu kehidupan sebagai seorang Buddhis non-monastik, yang tidak berhubungan dengan komunitas-monastik. Itu adalah jalan yang telah diatur oleh Buddha–empat serangkai bersamaan, yaitu umat awam dan monastik, perempuan dan laki-laki. Dan jelas bagi saya bahwa hubungan ini bersifat sangat penting. Umat awam Buddhis tanpa monastik bagi saya akan merasa tanpa kemudi dan saya tidak dapat membayangkan bahwa itu akan bertahan lama, dan Buddhisme monastik tanpa umat awam akan merasa dingin dan terasing serta tentu saja tidak akan bertahan. Monastik menjaga tradisi dengan mewujudkannya. Hidup mereka, teladan mereka, mengeluarkan kebaikan dari tiap orang dan dari komunitas awam yang mendukung mereka.

Apakah anda berpikir bahwa monastisisme membutuhkan akar yang lebih tertanam di dunia Barat bagi Buddhisme untuk berkembang?
Saya tidak dapat membayangkan Buddhisme bertahan di Barat tanpa akar monastik yang kuat dan ini akan membutuhkan hubungan kuat antara umat awam dan monastik. Berdasarkan apa yang saya lihat selama bertahun-tahun, saya berpikir prediksi untuk hubungan ini menjanjikan. Orang-orang menjadi semakin dan semakin tertarik pada monastisisme, sebagian besar melalui model dan contoh yang dari monastik itu sendiri. Tidak mungkin berada di sekitar mereka tanpa merasakan kekuatan dari bentuk dan efek penggunaannya yang terampil. Jadi, semakin banyak kontak antara komunitas umat awam dengan para biarawan, saya percaya semakin banyak orang yang tertarik pada mereka dan mendukung mereka dalam tahun-tahun yang akan datang. Jika Buddhisme adalah tentang nilai...jika monastisisme adalah tentang nilai...jika hubungan umat awam atau monastik adalah tentang nilai...ini akan maju dan berkembang.

Dapatkah anda memberikan contoh dari meningkatnya ketertarikan pada bentuk-bentuk tradisional dari praktek Buddhis?
Saya lihat banyak perubahan dalam hal-hal sederhana seperti bersujud. Beberapa tahun lalu ada penolakan atau keengganan untuk melakukan hal ini. Saya pikir orang-orang malu bersujud karena tidak umum dengan budaya mereka. Mereka mungkin sedikit malu bersujud pada Buddha, Dhamma, Sangha, apalagi bersujud pada individu biarawati atau biarawan. Namun, ketika anda melihat ke sekeliling ruangan sekarang ini–tidak hanya dalam retret-retret monastik,  tetapi juga pada semua retret–ada lebih banyak orang yang bersujud.

Pada tahun 2003, saya membantu Ajahn Amaro di satu retret di IMS, dan ia berkata, “Mengapa kamu tidak mengadakan latihan kecil di salah satu sesi meditasi untuk mengundang orang untuk merenungkan apakah yang dimaksudkan dengan bersujud? Tunjukkan pada mereka bagaimana itu melakukannya dengan benar dan cukup tawarkan ajakan saja.” Apa yang saya berikan adalah penjelasan singkat mengenai apa itu bersujud dan ajakan ramah, “Cobalah jika anda mau.”

Tanggapan yang saya dapat dari beberapa individu setelahnya adalah sesuatu seperti, “Saya takut melakukan hal itu karena saya tidak tahu apakah saya melakukannya dengan benar,” Sangat membantu mereka hanya dengan mempelajari bagaimana caranya. Seorang wanita mengalami “perasaan hebat akan penyerahan dan melepaskan serta merelakan.” Dalam praktek puja sederhana ini, ia dapat dengan segera melihat hubungan simbolis antara bersujud dan melepas dari sudut pandang seseorang mengenai diri. Itu adalah pengalaman yang sangat menyentuh untuknya. Hal-hal semacam itu lalu lebih sering terjadi. Belakangan ini juga ada lebih banyak ketertarikan untuk melafal [paritta, sutra, mantra]. 

Saya juga melihat perubahan hubungan orang-orang dengan pindapata [persembahan makanan] dari tahun ke tahun. Dalam retret, kita sering mengatur sehingga peserta retret menyajikan makanan–tidak hanya untuk para monastik tetapi juga satu sama lain. Awalnya saya pikir orang-orang takut berpartisipasi, tetapi sekarang selalu ada banyak orang yang ingin menyajikan makanan. Begitu seseorang merasakan pengalaman memberikan makanan, pengalaman menempatkan makanan dalam mangkuk sedekah, seseorang mengalami keindahan dan kebijaksanaan dari tradisi sederhana ini. Pengalaman tersebut menimbulkan kebaikan dari sifat alami kita sendiri, harapan dalam diri untuk menjadi murah hati serta baik. Pengalaman langsung ini begitu kaya dan sangat menarik sehingga seseorang mulai cenderung melakukannya.

Saya pikir orang-orang benar-benar ingin menjadi baik dan merasa baik, dan hubungan monastik-awam dirancang sebagai suatu kesempatan untuk mengungkapkan kebaikan itu secara rutin. Itu membuat orang menjadi sangat penuh harapan, serta secara langsung memperkokoh kebaikan dalam diri umat manusia.

Bagaimana akhirnya anda mengajar?
Umum bagi orang-orang yang menghabiskan beberapa tahun melakukan praktek ini dan merasakan tradisi ini untuk merasa penuh dengan rasa terima kasih dan apresiasi yang demikian besar atas ajaran. Dalam kasus saya, melihat betapa Buddhisme telah begitu bermanfaat bagi saya, rasanya pelit jika saya hanya menyimpannya untuk diri saya sendiri. Saya tergerak untuk membagikan apa yang saya telah pelajari dengan memberikan ajaran bagi orang lain. Saya telah mendiskusikan hal ini dengan salah satu biarawan senior yang sekarang merupakan salah satu dari kepala biara Abhayagiri Buddhist Monastery in California [Pada saat wawancara ini di tahun 2003, Ajahn Pasanno dan Ajahn Amaro adalah rekan-kepala biara. Sejak saat itu Ajahn Amaro telah kembali ke Inggris dan sekarang menjadi kepala biara Amaravati Monastery] dan ia menyemangati saya untuk mengikuti kata hati saya. Selama beberapa tahun, saya mengajar kelas di pusat ekletik spiritual dekat rumah saya di Carolina Utara, dan selanjutnya saya diundang menjadi guru mukim di IMS–suatu posisi yang saya emban selama tiga setengah tahun. Sejak itu, saya mengajar di beberapa pusat lokal di Amerika Serikat, terutama di bagian timur laut dan selatan. 

Dan sekarang? Di mana ketertarikan terbesar anda?
Saya sangat tertarik pada sutta-sutta–mempelajari ajaran serta belajar lebih dan lebih lagi mengenai apa yang Buddha katakan. Saya beruntung dapat berpartisipasi dalam program yang diorganisir oleh Ajahn Amaro dan Ajahn Pasanno melalui Abhayagiri Buddhist Monastery. Program yang disebut CALM (Community of Abhayagiri Lay Ministers) ini sesungguhnya merupakan suatu program latihan bagi beberapa pendukung awam yang telah lama memberikan dukungan terhadap komunitas monastik–untuk melatih mereka dalam sutta, dalam berbagai latihan meditasi, serta dalam tradisi upacara Buddhisme Theravada. Saya juga beruntung datang ke sini ke pusat studi di Barre selama beberapa bulan dalam setahun, tidak hanya untuk mengajar tapi juga melakukan dalam riset saya sendiri mengenai aspek-aspek berbeda dari ajaran. Saya mengajarkan apa yang paling menarik bagi saya, baik dalam praktek dan dalam hidup saya.

Sekarang saya terutama tertarik pada “ajaran bertahap” yang diajarkan oleh Buddha. Beliau mengajarkan contoh ini pada umat awam dan monastik, serta menegaskan tentang pentingnya latihan dasar seperti dana [kemurahan hati] dan sila [kebaikan]. Saya mengalami bagi diri saya sendiri bahwa semakin terampil saya dalam praktek-praktek itu, semakin bahagia saya jadinya, dan saya bisa tambahkan, semakin baik meditasi saya! Kebahagiaan yang datang dari melayani dan hidup dengan baik sangat mempengaruhi meditasi saya. Saya merasakan meditasi saya semakin berkembang lewat latihan dari bulan ke bulan, tahun ke tahun.

Saya juga sangat tertarik pada kekuatan pikiran reflektif, dan bagaimana kita mendapatkan pandangan terang. Pikiran melongok kembali ke dalam dirinya sendiri, dan secara konstan menempatkan hal-hal bersamaan dan mengerti mereka. Dengan panduan Dhamma, ajaran Buddha, yang membantu kita memiliki panduan yang mengagumkan dan tepat untuk membantu kita mengetahui apa yang dilihat dan untuk membantu menganalisa apa yang kita lihat. Saya rasa anda dapat mengatakan sebagai tambahan untuk melihat betapa kebaikan mendukung meditasi, saya juga sangat tertarik dalam melihat bagaimana meditasi berkembang menjadi kebijaksanaan. Sesungguhnya, saya mulai membuat buku mengenai cerita praktek pribadi yang menjelaskan bagaimana secara perlahan kita mendapatkan pandangan terang ke dalam ajaran-ajaran.

Satu pertanyaan terakhir...bagaimana anda mendapatkan nama dan apa artinya?
Retret monastik di IMS pada tahun 1999 merupakan pengalaman yang paling menyentuh bagi saya. Saya merasa seakan-akan rasa komitmen dan keyakinan saya pada ajaran Buddha mengalami lompatan besar. Pada akhir retret, saya meminta pada Ajahn Sucitto sebuah nama Pali sebagai simbol dari semakin mendalamnya keyakinan ini. Ia memberikan saya nama Taraniya yang artinya “seseorang yang membuat penyeberangan itu menjadi mungkin, pembangun jembatan, seseorang yang membantu orang lain lewat.” Ia berkata bahwa nama itu disandang oleh beberapa arahat (semuanya pria, tetapi tidak apa-apa) yang paraminya [penyempurnaan moral] dipusatkan pada menyeberangkan Buddha melalui jalan atau membangun sebuah jembatan. Ia juga mengatakan bahwa nama itu disandang oleh seseorang yang mendalami pengembangan Bodhisattwa yang berhati sangat luas. Jelas, saya harus tumbuh dalam bidang itu! Tetapi saya benar-benar senang memiliki nama Pali. Saya rasa itu banyak membantu saya.

Wawancara di atas aslinya ditampilkan dalam Insight Journal, diterbitkan oleh Barre Center for Buddhist Studies. Kami sangat berterima kasih pada Barre Center yang telah mengijinkan kami untuk mencetak ulang.


Gloria Taraniya Ambrosia 


Gloria Taraniya Ambrosia adalah siswa di Western Forest Sangha, murid dari Ajahn Chah. Ia adalah duta Buddhis umat awam dalam hubungannya dengan Abhayagiri Buddhist Monatery di California dan bertugas sebagai anggota staf pengajar di Barre Center for Buddhist Studies dimana ia melakukan sebagian besar pengajarannya. Ia bertindak sebagai guru mukim di Insight Meditation Society di Barre, Massachusetts dari tahun 1996 sampai tahun 1999 dan telah menjadi guru Dhamma sejak tahun 1990. Pembaca yang ingin tahu lebih lanjut mengenai ajarannya dapat masuk ke situs Study Center di Barre Center atau mengirim surat  padanya di Study Center. Ia juga mengajar di Philadelphia, New York, St. Louis, Albuquerque, dan Carolina Utara. Rekaman ceramahnya tersedia di Dharma Seed.


No comments:

Post a Comment