Monday, March 24, 2014

Sangha adalah Kata Kerja: Membudayakan Praktek Relasional untuk Memupuk Inklusivitas

Sebene Selassie 

Belakangan ini, ada perhatian, diskusi — dan kontroversi — di sangha konversi US tentang tentang keanekaragaman di masyarakat kita. Kebanyakan anggota sangha terdiri dari masyarakat berkulit putih, kelas menengah dan menengah-ke-atas dan mereka mengakui adanya aspirasi untuk menjadi lebih beragam, tetapi adalah sebuah tantangan untuk bagaimana mengaktualisasikannya di kota-kota di mana terjadi segregasi rasial, ekonomi, dan budaya. Harapan bahwa komunitas-komunitas kita untuk mencerminkan kekayaan negara dan dunia kita adalah bagian dari upaya mulia untuk mewujudkan cinta kasih sepenuhnya. Selama dharma berkembang dalam masyarakat multicultural kita, kita memiliki kesempatan — bahkan kewajiban — untuk memahami dan mengubah pemisahan yang terus berlangsung dalam identitas relatif ini.

Untuk menjalani kehidupan tercerahkan dalam suatu komunitas berarti untuk bertemu orang lain tanpa melekat pada cara [lama] kita yang telah terkondisi tetang bagaimana berada bersama atau mengenal orang lain. Namun, apa yang saya saksikan dalam perjalanan saya sendiri adalah bahwa sebagai praktisi-praktisi kita bisa terbangun dengan kenyataan bahwa banyak persepsi-persepsi dan kehendak-kehendak kita tidak sehat, terkondisi, halus, dan mendalam, tetapi sering kita hampir sedikitpun tidak menyadari adanya keterpisahan dan delusi yang kita pegang untuk orang-orang lain yang secara tidak sadar kita anggap sebagai "lainnya."(1)

Pada dasarnya, kita tidak mengenali bias dan prasangka kita sendiri. Selain itu, keinginan tulus kita untuk mewujudkan hubungan melekat dan mutlak kepada orang lain sering dapat menjadi bumerang dan menciptakan lebih banyak pemisahan karena kita tidak mau mengakui dan mengeksplorasi bias-bias dan prasangka-prasangka ini atau kadang-kadang bahkan [tidak mau] mengakui atau mendiskusikan perbedaan ini. Kita mungkin percaya pada Sangha sebagai jawabannya, namun pusat dharma kita sering tidak "siap" untuk membawa kita bersama-sama karena mereka dapat mendorong dan menghargai pemisahan. Aspirasi kami untuk keragaman dan masyarakat inklusif memerlukan praktek relasional yang belum kita miliki.

Padahal, di Asia dan banyak sanghas Buddhis Asia di Barat, ajaran-ajaran ini kuat tertanam di dalam
rasa kemasyarakatan dan keterhubungan, dalam membawa dharma (mungkin karena individualisme sebagai hamparan budaya kita), ada lebih banyak penekanan diletakkan pada pencerahan melalui Buddha dan dharma.(2) Dari pengalaman saya, kita secara aktif mempraktekkan Buddha dan dharma sebagai tempat perlindungan, membuat mereka bagian integral dari kehidupan kita melalui studi dan praktek investigasi, tapi sangha sebagai tempat berlindung tidak terintegrasi dengan baik.(3) Ya, Sangha sering dirujuk sebagai permata ketiga. Dan, ya, Sangha berada dalam ruang dan waktu sebagai proses fungsional untuk menjaga masyarakat kita berjalan. Seperti banyak pusat dharma masyarakat, New York Insight Meditation Center (sangha mukim saya dan di mana saya bekerja penuh-waktu), adalah pusat yang aktif dengan banyak persembahan dan kita bergantung pada banyak anggota sangha/ relawan yang mengagumkan untuk bertahan. Tapi kebanyakan, kita tidak aktif/ resmi berlatih sangha sebagai keterhubungan. Ada penekanan kuat pada kebangkitan pribadi melalui studi dan praktek individu (bahkan jika yang sering dilakukan di ruang besar dengan praktisi-praktisi lain), tapi ada kurangnya penekanan pada dan bahkan menghindari berhubungan dengan orang lain, terutama tentang perbedaan dan terutama ketika perbedaan-perbedaan menantang ide-ide kita tentang apa yang dianggap pengamalan. Saya percaya jika kita bercita-cita untuk menumbuhkan sangha-sangha yang menyambut dan inklusif, kita harus memperkenalkan praktek dan proses untuk melibatkan dan mengeksplorasi perbedaan dan persamaan kita.

Di New York Insight, kami telah menjelajahi tantangan ini pada pokoknya salah satu budidaya praktek-praktek relasional, yang bisa sangat sulit dalam sebuah komunitas di mana praktek individu/soliter dan keheningan adalah praktik integral dan istimewa. Pertanyaan yang timbul bagi saya: "Bisakah kita mengenali kebutuhan untuk mengembangkan sangha sebagai praktek dan bahwa kita mungkin belum memiliki bentuk atau alat untuk melakukan itu" Kita sering berbicara tentang sangha sebagai obyek daripada praktek; Saya mengusulkan agar kita mengubah tata bahasa itu — sangha sebagai kata kerja.

Di musim gugur yang lalu, kami menawarkan kursus Cultivating a Beloved Community (Budidaya Komunitas yang Tercinta) di NYI. Subjudul kursus ini adalah "Membangun Sangha Otentik" yang mungkin akan menyiratkan bahwa ada sangha yang tidak otentik; itu bukan niat kami. Apa yang kita coba adalah menyorot cara di mana dalam sangha-sangha orang-orang yang berkonversi ke agama Buddha/Barat kita warisi, sangha sering kurang berkembang. "Komunitas Tercinta" adalah sebuah frasa dan gagasan yang sering digunakan oleh Dr. Martin Luther King, Jr  yang bahkan mengatakan bahwa tujuan akhir dari gerakan hak-hak sipil adalah mendorong dan menciptakan komunitas tercinta di Amerika. Ia berkata: "Tujuan kami adalah untuk menciptakan sebuah komunitas tercinta dan ini akan membutuhkan perubahan kualitatif dalam jiwa kita serta perubahan kuantitatif dalam hidup kita," dan ia percaya hubungan sebagai inti untuk menciptakan komunitas tercinta. Dalam konteks gerakan hak-hak sipil, yang difokuskan pada perubahan hukum yang diperlukan, Dr. King menyebutnya perubahan di luar undang-undang. Di NYI, di mana latihan meditasi pribadi melekat pada perkembangan kita saya akan menyebutnya perubahan melampaui meditasi.


Sebuah tempat perlindungan (refuge) adalah apapun yang memberi kita rasa memiliki karena akar dari kata refuge adalah kata flee (melarikan diri, seperti buronan). Jadi meskipun kita mengatakan kita berlindung pada Buddha, dharma, dan sangha, kita benar-benar bisa menganggapnya sebagai keduanya — sebagai tempat kita berlindung di dan tempat berlindung dari. Dan saya pikir banyak dari kita yang mencari perlindungan dari rasa isolasi dan pemutusan yang kita rasakan dalam masyarakat yang lebih besar —penderitaan kita yang berasal dari penyakit yang melekat dalam budaya konsumen yang membombardir kita dengan pesan-pesan pemisahan.

Saya datang ke praktik Buddhis secara sengaja atau mungkin naluriah mencari perubahan kualitatif dalam jiwa saya yang melibatkan melarutkan hambatan yang membangun pemisahan. Saya mencari perlindungan dalam tiga permata — untuk keselamatan, cinta, kebenaran, dan kebebasan. Tapi kadang-kadang, berlatih dalam sangha saya bisa mendorong saya untuk melakukan pekerjaan tentang kebenaran dan pembebasan  (Buddha dan dharma) yang sangat kuat, membuka hati, transformatif, dan terisolasi dari orang lain (sangha). Kita mungkin berada di ruangan yang sama, tetapi fokus pada meditasi, keheningan, dan studi membuat saya terputus. Sementara saya dapat menumbuhkan metta batin atau praktek cinta kasih bagi orang lain, saya menghabiskan lebih sedikit waktu mengeksplorasi keterkaitan dan hubungan sebagai praktek. Kemudian ketika saya di tengah-tengah kontak dan konsultasi dan (terutama) dalam konfrontasi , saya tidak selalu memiliki keterampilan untuk berlatih komunikasi — untuk berlatih sangha. Tantangan saya adalah bagaimana menyeimbangkan praktek pribadi/soliter mendalam dengan praktek relasional dalam komunitas yang beragam ketika kita tidak menghabiskan banyak waktu pada pengembangan sangha sebagai proses yang hidup.

Kita hidup dalam masyarakat yang membangun dan melanggengkan sistem untuk memisahkan kita dari orang-orang yang terlihat berbeda, memiliki sumber daya  yang berbeda, atau memiliki bahasa yang berbeda dan ekspresi budaya dari kita. Kemudian, dalam praktek Buddhis, bisa ada pengecilan perbedaan dalam cita-cita mulia untuk mengurangi identifikasi dengan diri sendiri. Juga, dalam berbagai tradisi agama Buddha, kita sering memiliki representasi homogen praktisi-praktisi dan praktek — kesenian Thai menggambarkan praktisi-praktisi orang Thai, Zen orang Jepang, Buddhis Amerika (sampai saat ini) digambarkan sebagai orang kulit putih dan kelas menengah/menengah atas, dan sebagainya.

Dalam setiap tradisi dan komunitas yang berbeda , bahasa yang digunakan (juga kiasan dan dalam hal gaya dan referensi) seringkali tidak bisa dimengerti orang luar. Dalam beberapa hal, ini wajar; saya berasal dari Ethiopia, ikon-ikon dan lukisan-lukisan gereja di Gereja Ortodoks Ethiopia  terutama yang sebelum kontak meluas dengan Eropa) menggambarkan Yesus dan para pengikutnya sebagai orang  Ethiopia dan bahasa yang digunakan kuno. Tapi saya tertarik untuk mendengar ceramah oleh Ayya Tathaaloka(4) di mana ia mengeksplorasi bagaimana awal sutta dan seni Buddha masa awal, pada kenyataannya, mencerminkan sangha yang beragam dan referensi-referensi tentang warna kulit dan etnisitas pengikut Buddha menyorot keanekaragaman ini. Dia berspekulasi bahwa ini mungkin cara sengaja untuk mengganggu hierarki dan sistem kasta saat itu. Selain itu, dalam Vinaya , Buddha menginstruksikan dua biarawan Yamelu dan Tekula bahwa dharma harus ditawarkan dalam dialek lokal dan tidak hanya dalam bahasa klasik karena dharma adalah kenyataan hidup yang harus tetap penting dan dapat diakses . Kita bisa menyaksikan bahwa bahkan dari awal, "perbedaan" kita diakui, disebutkan , dan disorot dan bahwa berbagai ekspresi dari dharma disarankan sehingga semua orang bisa disambut.

Peserta dalam kursus Beloved Community mewakili berbagai usia, kelas, ras, gender, budaya, orientasi seksual, dan identitas lainnya. Sejak awal, kami tidak menghindar dari perbedaan ini, tetapi mengeksplorasi dan merayakan mereka dalam konteks dharma. Secara pedagogis, kita memulainya dengan melonggarkan format ceramah dan membuat ruang bagi metode pendidikan dan teknik populer. Tapi kami melakukannya dalam konteks ajaran dharma khususnya satipatthana, Empat Kebenaran Mulia, dan penekanan terus-menerus pada melepaskan kemelekatan pada aku. Kami tidak berasumsi bahwa kami berlatih "dharma murni" diturunkan dari zaman Buddha dan, pada kenyataannya [kami] meminta orang untuk menamai dan mengeksplorasi apa yang mereka anggap sebagai kebudayaan dominan di New York Insight.

Menyadari bahwa bagi banyak dari kita, sumber penderitaan terbesar kita berasal dari kejahatan dan ketidakadilan dalam masyarakat, kita menjelajahi cerita-cerita kita, mengundang orang untuk mengenali identitas atau bagian dari diri mereka sendiri yang mungkin tidak cocok dalam budaya dominan pusat kita dan biasanya mereka abaikan. Dan orang-orang benar-benar mengeksplorasi bahwa kita sering merasa perlu untuk berperilaku secara tertentu di pusat-pusat dharma kita: bahwa kita mengubah cara kita berbicara dan mengekspresikan diri, bahwa kita tidak membahas rasisme atau seksisme atau realitas lain dari kehidupan kita, bahwa kita tidak ingin tampil marah atau kesal atau bingung, bahwa kita meninggalkan seksualitas kita di luar.

Perdamaian dan keheningan yang kita hargai tentang ruang praktik kita juga dapat menekan atau menutupi emosi yang kuat dan kesusahan. Untuk itu, kami mulai di sesi awal dengan menyelidiki konsep John Welwood tentang bypass spiritual, kecenderungan untuk menggunakan praktek-praktek spiritual sebagai cara untuk menghindari berurusan dengan rasa sakit yang belum diolah, dan bagaimana kita juga menggunakan bypass dalam masyarakat dharma untuk (secara harfiah) mendiamkan penderitaan orang lain. Dengan berbagi cerita-cerita kami (mahasiswa dan fasilitator), kami juga mulai menyebutkan penindasan-penindasan dalam hidup kita termasuk yang bermanifestasi sebagai agresi-mikro (micoaggressions) dalam sangha kita.

Kami menghabiskan sehari penuh dalam bercerita — proses yang juga digunakan dalam komunitas aktivis sebagai narasi publik.(5) Kami secara aman tapi jujur mengeksplorasi stereotip yang kita pegang tentang berbagai kelompok dan satu sama lain dan berbicara tentang bagaimana ini dapat melanggengkan penindasan dalam masyarakat. Kami mulai mengidentifikasi dan membangun tindakan bijaksana dan pidato bijak untuk sangha inklusif otentik dan terlibat. Dan kami berusaha untuk menyeimbangkan semua ini dalam kebenaran dharma yang menunjuk keketidakkekalan dan ketidakkukuhan itu semua.

Thich Nhat Hanh telah dikutip mengatakan bahwa "buddha berikutnya adalah sangha." Kutipan itu telah menggelitik saya sejak saya mendengarnya beberapa tahun yang lalu. Ada bagian dari diriku yang berharap secara mendalam untuk itu untuk menjadi kenyataan dan terwujud. Bagian lain dari saya mengakui tantangan nyata (dalam hidup saya) dalam mewujudkan visi ini. Seperti semua praktek, sangha sebagai praktek memiliki tantangan. Sangha sebagai praktek memiliki sesuatu yang setara dengan gatal-gatal, sakit bagian tubuh, pikiran yang gelisah, mengantuk, takut, marah, sedih, ilusi pemisahan, keraguan-keraguan—banyak keraguan-keraguan — bahkan mungkin jiwa yang segelap malam. Ia juga memiliki kasih, sukacita, kebijaksanaan, dan kebebasan.

Hubungan (relasi) sebagai praktek membutuhkan kualitas  keterbukaan, rasa ingin tahu, kebaikan, belas kasih and penerimaan yang sama seperti bagian-bagian praktek lainnya. Dan terpenting adalah, itu membutuhkan berhubungan (relasi) yang sebenarnya. Berhubungan dengan orang lain akan menyoroti perbedaan serta kesamaan, namun, bagi mereka yang beradaptasi dengan mudah dengan budaya dominan (dalam hal kemudahan baik mereka di segi bahasa, budaya, dan ekspresi serta bagaimana mereka diterima), berhubungan dengan mereka yang sangat berbeda akan memerlukan meninggalkan zona kenyamanan. Ini bisa berantakan. Jika kita bercita-cita untuk keragaman masyarakat dan budaya dalam komunitas kita, kita tentu akan menghadapi keragaman representasi, pendapat, referensi, selera, gaya komunikasi, dan cara-cara hidup. Bagaimana kita tinggal dengan semua itu dan tidak menggunakan "terampil" sebagai kata sandi untuk "tidak berantakan."

Kursus delapan minggu ini adalah langkah yang sangat kecil dan ia tumbuh dalam konteks pengembangan diri bertahun-tahun. Di New York Insight kami sangat berkomitmen untuk menghilangkan rasisme dan telah bekerja sama untuk menciptakan banyak peluang termasuk kelompok meditasi yang berjalan lama dan populer dan program untuk orang kulit berwarna,  kelompok dan acara duduk untuk orang kulit berwarna dan sekutunya, program pada hak istimewa kulit putih, bekerja sama dengan organisasi-adik kami Insight Meditation Society untuk memberikan pelatihan melepaskan rasisme dan kepemimpinan  kepada staf serta kesempatan berlatih jangka panjang untuk orang kulit berwarna, dan mengadakan kelompok yang beragam dan berkomitmen di New York Insight (disebut Pembangun Sangha) untuk mendesain program Beloved Community (Komunitas Tercinta).

Kami terus mengidentifikasi cara-cara (kecil dan besar—mayoritas kecil) untuk menggabungkan praktek hubungan: setiap meditasi/program yang sekarang dimulai dengan "undangan untuk berhubungan" (kesempatan-dan-pilihan untuk bertemu orang-orang yang duduk di dekat dan di sekitar Anda); kami menawarkan program seperti Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) dan Insight Dialogue; kami baru-baru ini memulai sebuah kelompok meditasi bagi mereka yang telah mengambil kursus Komunitas Tercinta; kami terus mengeksplorasi keseimbangan antara praktek pribadi dan praktek hubungan. Kami berlatih Buddha, dharma, dan sangha.


Sebene Selassie: Direktur Eksekutif


Sebene Selassie adalah direktur eksekutif dari New York Insight Meditation Center (NYI) dan telah mempelajari Dharma dan bekerja dalam waktu yang sektor swadaya masyarakat selama lebih dari dua puluh tahun. Ia memiliki gelar BA dalam Ilmu Perbandingan Agama dari McGill University dan MA dalam Studi Media dari New School. Ia adalah lulusan dari Program Komunitas Pemimpin-pemimpin Dharma Spirit Rock dan memimpin Meditasi Generation (Dewasa Muda) Sangha di NYI. Sebene merasa terhormat untuk melayani di Dewan Studi Buddhis di Barre Center.


Sumber photo Sebene Selassie

Endnotes
(1) Saya berbicara berdasarkan pengalaman dan opini saya sendiri dan berdasarkan apa yang saya lihat selama bertahun-tahun. Saya tidak berbicara atas nama semua tradisi, semua komunitas, bahkan tidak atas nama pengalaman dan opini orang-orang di komunitas saya.
(2) Seluruh perbincangan ini harus tentang sangha sebagai ekspresi feminim dan berikut supresi feminiminitas melalui pengucilan dari sangha... untuk waktu lain.
(3) Ini paling relevan untuk pusat-pusat dharma non-residential atau komunitas, bukan komunitas residensial dimana sangha mungkin dialami dengan sangat berbeda.
(4) "Race, Color and Ethnicity in the Early Buddhist Discourses": http://www.dharmaseed.org/teacher/468/talk/21102/
(5) Banyak dharma konversi/Barat telah memasukkan pelajaran dan pedoman psikologi Barat; saya percaya kita masih perlu banyak belajar dan memasukkan dari disiplin dan area lainnya, termasuk pendidikan dan aktivisme populer.

No comments:

Post a Comment