Monday, April 28, 2014

Kontemplatif Awam Menjalani Hidup Seperti Monastik di Tengah Kehidupan Urban Aktif

Tuere Sala

Kiri ke kanan: Ruby Phillips, Devin Berry, Joan Lohman and Jenn Biehn

Seorang “kontemplatif”, dalam Buddhisme tradisional, adalah seseorang yang meninggalkan kehidupan awam untuk menjadi seorang monastik [anggota Sangha]--pengelana yang meninggalkan kehidupan perumah tangga[i] untuk menjalani kehidupan suci tanpa rumah[ii]. Cara hidup komunitas monastik berbeda dari komunitas awam, tetapi ada hubungan simbiosis diantara keduanya dimana satu tak akan dapat berlangsung tanpa yang lainnya.

Namun di Barat, Buddhisme Theravada tetaplah latihan yang, secara umum, berorientasi pada umat awam, terutama yang berkegiatan di pusat-pusat Dharma dan pusat-pusat retret jangka pendek/panjang[iii]. Tak terlihat aspek-aspek religius yang identik dengan Buddhisme tradisional dalam praktek orang-orang non-Asia di Barat. Beberapa orang Barat memasuki kehidupan monastik tradisional, namun kebanyakan mempraktekkan Buddhisme sebagai filosofi sekuler, sebagai cara hidup, sebagai latihan spiritual, bahkan sebagai terapi penyembuhan.[iv]

Saya bertanya-tanya bagaimana orang-orang Barat menjalani kehidupan spiritual sebagai seorang kontemplatif. Jika Buddhisme Barat umumnya adalah latihan yang berorientasi pada umat awam, apakah mungkin untuk menjalani kehidupan yang cukup kontemplatif sebagai praktisi awam, dan jika iya, bagaimana bentuknya? Apakah ada tempat untuk latihan ini bagi orang-orang, yang menurut saya, adalah kontemplatif urban?

Saya menanyakan beberapa pertanyaan-pertanyaan ini pada lima orang yang saya tahu mencoba hidup sebagai kontemplatif urban, seperti saya. Artikel ini adalah kompilasi dari diskusi-diskusi dengan mengacu pada delapan sila yang Buddha berikan pada ibu tirinya tak lama sesudah penahbisannya:[v] Seseorang harus menjalani hidup dengan pengendalian, membebaskan diri dari tendensi kebiasaan, memotong kemelekatan, memiliki sedikit keinginan, puas pada kehidupan, puas pada kesendirian, teguh dalam latihan, dan mudah disokong.

Ruby Phillips

Diantara para kontemplatif urban ini adalah Ruby Phillips, seorang praktisi Dharma dari Seattle yang telah mengintegrasi latihan Dharma mendalam dengan layanan sosial dan aktivisme selama bertahun-tahun.

“Beberapa orang diantara kita memiliki panggilan hati untuk hidup dengan latihan spiritual sebagai pusat kehidupan kita, pada saat bersamaan kita juga sangat menghargai dan menjunjung pelayanan kepada semua makhluk melalui sumpah bodhisattva kita. Dapat dibilang saya telah hidup dengan cara ini selama dua puluh tahun atau sepanjang kehidupan dewasa saya. Prinsip-prinsip dan latihan-latihan ini selalu penting bagi saya. Hanya saja sekarang mereka dijalankan dengan niat lebih besar dan lebih jelas.“

Phillips adalah anggota aktif dari People of Color and Allies Sangha dan Lotus Sisters. Bagi Phillips, pelayanan dan aktivisme bagi hak asasi adalah pintu Dharma menuju pencerahan. Ia mengatakan akar dari keselamatan adalah mengenal saling-kebergantungan kita yang mendalam.

“Adalah tujuan saya untuk mengintegrasi kerinduan untuk hidup berdasarkan Dharma di kehidupan sehari-hari sambil bekerja untuk menyokong orang-orang yang hidup dalam keterbatasan. Adanya teman-teman spiritual menunjang kehidupan kontemplatif.”

Rita Howard

Kontemplatif urban lainnya, Rita Howard, adalah anggota Seattle Insight Meditation Society dan umat Kristiani. Ia kesulitan untuk mengatakan sudah berapa lama ia menjalani kehidupan kontemplatif.

“Segalanya selalu berubah. Saya menjalankan praktek meditasi selama 35 tahun; saya punya 25 tahun pengalaman yoga, dan mempraktekkan hari sabat pribadi selama 10 tahun. Ini bukan tentang berapa lama anda berlatih. Yang penting adalah hubungan dekat dengan latihan.”

Howard menentukan Sabtu sebagai hari sabat. Di hari itu, ia tidak menyetir, tidak menggunakan uang, dan tidak menggunakan alat elektronik. Ia menutup jam dan mengacuhkan daftar pekerjaannya. Ia menyelaraskan dirinya sebagai manusia dan menghabiskan hari itu dalam kontemplasi.

“Saya punya komitmen pada kehidupan spiritual dan menyediakan cukup waktu dan tempat baginya untuk terjadi. Ini membutuhkan kedisiplinan dan prioritasi.”

Devin Berry

Devin Berry sedang mengambil langkah radikal dalam menjalani kehidupan “tunawisma” di Berkeley, Sonoma, dan Mendocino di California bagian utara, dimana ia juga mengajar Dharma.

Pada musim panas 2010, Berry melepaskan apartemennya, menjual hampir seluruh hartanya termasuk mobil, dan mulai menjalani kehidupan tunawisma. Ia adalah murid Thich Nhat Hanh dan praktisi Theravada, dan mengajar dan berlatih di East Bay Meditation Center di Oakland.

“Orang mungkin melihat cara hidup saya dan menyangka saya miskin atau bangkrut karena saya memiliki begitu sedikit. Saya dengan sengaja menyederhanakan hidup saya agar dapat mengikuti lebih banyak retret panjang. Saya keluar dari kesibukan, dari balapan tikus, dimana saya merasa agak jengkel dan sedikit kesal.”

Berry melakukan retret meditasi diam pertamanya selama tiga bulan di musim gugur tahun 2010. Ia tetap hidup sederhana empat tahun sesudahnya.

“Ketika orang bertanya di mana saya tinggal, ini bisa menarik karena saya tinggal di mana pun saya berada saat itu. Jadi jika saya mengikuti suatu retret, di sanalah saya tinggal.”

Ketika Berry tidak menjalani retret, ia menjaga rumah orang, atau tinggal dengan teman. Ia juga selalu berusaha untuk mengintegrasi ajaran-ajaran dengan mengulang-ulang kata-kata cinta-kasih selama aktifitas lainnya, dari sekolah, hingga mengajari kewaspadaan kepada anak-anak, hingga menaiki sepeda.

“Saya hidup dan bernafas Dharma. Dharma mewarnai segalanya dan terintegrasi dengan segalanya,” katanya. “Kita hidup di kultur yang berpikir ada yang salah dengan tidak mencari lebih, tetapi segala yang saya butuhkan ada di dalam [diri]... tidak banyak hal di luar diri saya yang saya inginkan.”

Jenn Biehn and Joan Lohman

Jenn Biehn dan Joan Lohman bertemu dalam diam sekitar 21 tahun lalu di satu retret meditasi, dan mereka adalah anggota aktif di East Bay Meditation Center. Biehn menjelaskan,

“Saya menjalani hidup saya sepanjang hari dan malam dengan berhubungan dengan Dharma. Hidup dan Dharma tak ada batas pemisahnya.”

Bagi Lohman, pencarian ke dalam atau kehidupan kontemplatif termasuk tindakan kesetaraan sosial.

“Ketika saya masuk dan merefleksikan apa artinya menjadi seorang kontemplatif urban, saya temukan bagian dari menjadi urban dan menjadi kontemplatif adalah menjadi aktifis bagi kesetaraan sosial.”

Biehn menambahkan,

“Kami bangun tidur dengan Dharma dan mencari struktur-struktur yang memelihara dan mendukung latihan kami. Kami menggunakan kewaspadaan untuk lebih mampu sepenuhnya bersama tantangan-tantangan kehidupan urban.”

Lohman dan Biehn mengatakan mereka senang menjadi pasangan di jalan ini, karena mereka punya satu sama lain untuk menyemangati dan mendukung. Pada awal 2013, mereka menjalankan retret tiga bulan di rumah mereka. Setiap pagi mereka bangun dengan keheningan luhur dan tetap hening hingga jam 1 siang. Mereka menghabiskan pagi hari untuk latihan meditasi duduk dan meditasi jalan.

Sebagai hasil dari retret di rumah mereka, mereka belajar apa yang perlu disesuaikan untuk memungkinkan mereka untuk menjalankan retret tiga bulan bersama-sama. Sekarang mereka menyewakan rumah mereka untuk membiayai lebih banyak retret. Mereka juga membuka rumah mereka untuk retret satu-hari, wawancara dengan guru, dan pertemuan sangha*. Tempat mereka telah menjadi tempat persinggahan praktisi-praktisi lainnya.

Kelima-limanya menjalankan banyak latihan meditasi harian; mereka mendengarkan ceramah-ceramah Dharma secara teratur, dan sebagian besar membaca materi-materi Dharma. Mereka semua berbicara tentang kehidupan sesederhana mungkin tentang uang dan barang. Semuanya membiarkan latihan mereka menantang ide, penilaian dan opini mereka tentang kehidupan. Mereka hidup menyepi karena mereka mencurahkan diri untuk latihan dan perkembangan spiritual. Mereka semua terlihat sangat puas dengan pilihan hidup mereka.

Dicetak ulang dengan izin dari Northwest Dharma News, Musim Semi 2014, Volum 27, #1.
Catatan editor di sana menjelaskan bahwa artikel ini bercerita tentang fenomena yang semakin popular dengan praktisi Buddhis awam di barat-laut Amerika Serikat yang hidup seperti monastik untuk memperdalam kehidupan mereka di dalam Dharma. Penulis Tuere Sala adalah salah satunya.
*catatan penerjemah: sangha di artikel ini merujuk pada kumpulan umat Buddhis, bukan monastik.

Endnotes
[i] “Kami adalah orang awam yang menikmati kenikmatan indria, tinggal di rumah dengan ranjang yang penuh anak-anak, menyukai kayu wangi, memakai perhiasan, wewangian... menerima emas dan perak.” Bhikkhu Bodhi, ed. 2005. In the Buddha’s Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Somerville, MA, Wisdom Publications, 124.
[ii] Digha Nikaya, 2.
[iii] Seager, Richard Hughes. 2011. “Innovative Trends in Euro-American Buddhism.” Dharma World. Kosei Publishing Co. (38).
[iv] Id.
[v] Ibu tiri Buddha, Mahapajapati Gotami, meminta petunjuk bagaimana mengenal mana yang Dhamma ketika menjalankan hidup sendirian. Anguttara Nikaya 8.5.

Tuere Sala

Tuere Sala telah berlatih meditasi vipassana selama lebih dari 20 tahun. Ia adalah anggota Seattle Insight Meditation Society sejak 2001, dan saat ini melayani sebagai seorang pemimpin Dharma lokal. Ia telah menyelesaikan Spirit Rock Community Dharma Leader Program.








Photo credit:
Photo one oleh Kathy Overstreet & Ursula Popp, courtesy of Tuere Sala
Photo two courtesy oleh Pink Sherbet Photography via Compfight CC
Photo three courtesy oleh AnubhutiRetreatCenter via Compfight CC.
Bio photo courtesy of Tuere Sala

No comments:

Post a Comment