Monday, April 7, 2014

Teror di Dalam Diri

Zenju Earthlyn Manuel


Sebagai seorang gadis kecil berusia 10 tahun, dengan pita satin di rambut dan mengenakan gaun yang baru dikanji, saya memiliki tempat duduk khusus di gereja setiap minggu, yaitu di sebelah ayah saya, Lawrence Manuel Jr. Bersama adik perempuan saya dan ibu saya di sisi lainnya, saya duduk berdempetan dengan ayah saya sambil mengapresiasi hubungan spesial kami di seputar kata Tuhan. Pada Sabtu malam, di tengah hiruk pikuk kota Los Angeles dimana saya lahir dan dibesarkan, saya akan membacakan ayah saya pelajaran sekolah minggunya. Saat saya membacanya, beliau membuat simbol-simbolnya sendiri di pinggiran kertas yang merepresentasikan bunyi suara itu. Beliau melakukan ini karena ia buta huruf. Sebagai anak seorang petani penyewa lahan yang lahir pada tahun 1898 di Opelousas, Louisina, beliau hanya berbicara bahasa Creole, sehingga bahasa Inggrisnya sulit dimengerti. Meskipun beliau tidak dapat membaca, ia tidak membiarkan hal tersebut menjadi penghalang untuk berpartisipasi di sekolah minggu. Dengan simbol-simbol yang beliau kembangkan sendiri, ia akan “membaca” sebagian pelajaran itu di kelas yang terdiri dari pria-pria berkulit hitam yang lebih tua. Saya tidak akan pernah sebegitu berani untuk melakukan hal seperti itu. Tetapi ayah saya adalah pria yang berbakat dan pemberani; dibesarkan di daerah terpencil, beliau belajar untuk melakukan apapun untuk bertahan hidup. Beliau adalah apa yang saya sebut sebagai “tanpa rasa takut”, dan, ketika saya duduk di sampingnya di gereja, saya berdoa untuk menjadi pemberani seperti beliau.

Di sisi lain, di gereja pula rasa takut terbesar saya muncul sebagai anak-anak. Bagaimana saya bernegosiasi dengan Tuhan di usia muda saya ini supaya saya tidak masuk neraka? Saya ketakutan.

Cerita-cerita yang diceritakan orang tua saya tentang Selatan [Amerika Serikat] dan hubungan antar ras membawa ketakutan lebih besar lagi. Dan di suatu malam yang tak terlupakan di tahun 1966, tepat di Inglewood, California, sebuah salib dibakar di depan halaman kami. Mengapa saya menceritakan hal-hal ini? Saya berbagi cerita-cerita ini untuk mendemonstrasikan bagaimana ketakutan dan kekhawatiran dapat menumpuk sepanjang kehidupan. Kebanyakan dari kita tidak menyadari akibat dari ketakutan yang kita bawa. Ketakutan bertumpuk dengan sendirinya, atau tepatnya, ketakutan menciptakan lebih banyak ketakutan. Alhasil, ketakutan kita yang menumpuk menjadi teror yang tertancap mendalam yang sulit untuk dicabut. Jika kita memandang ketakutan sebagai teror—suatu kondisi yang mendalam pada manusia dibandingkan sesuatu yang hanya terjadi akibat suatu kejadian-kejadian tertentu—kita akan lebih merasa terdesakan untuk menanganinya. Kita terus menerus berbicara tentang terorisme di dunia, tapi kita belum tentu mengakui teror yang menyerang dunia dalam diri kita. Sebaliknya, kita malah menampilkan diri kita sebagai orang yang berani atau penuh nyali.

Banyak diantara kita yang takut pada rasa takut, dan takut mengakuinya—termasuk kepada diri kita sendiri—bahwa kita merasa takut. Kita menekan pengalaman ketakutan dalam tubuh kita begitu efektifnya sehingga kita sangka ketakutan itu sudah kita hapus. Tetapi jika kita melihat ke sekeliling atau ke dalam diri, kita dapati rasa takut itu tersembunyi dan tertutupi: orang yang selalu menjadi “pusat perhatian” sangat mungkin adalah orang yang takut tidak disadari keberadaannya atau takut pada penolakan. Mungkin orang yang memberikan presentasi yang bagus di tempat kerja sebenarnya adalah orang yang takut kehilangan pekerjaannya. Semakin lama kita menutupi rasa takut kita, semakin kita merasakan teror dari kepalsuan kita—mungkin malah akan menciptakan kegelisahan kronis dan rasa putus asa. Tanda alarm lampu merah menyala-nyala karena perasaan teror yang kita tutupi mungkin akan terbongkar. Dapat disimpulkan bahwa teror telah menjadi sistemik dalam diri kita sebagaimana terdapat di dunia luar. Kita menjadi teroris pada diri kita sendiri.

Kita mencoba banyak strategi untuk menghilangkan perasaan teror ini dengan menata ulang kehidupan eksternal kita bagaikan menata furnitur di rumah. Jika saya mengubah penampilan saya, maka saya akan lebih tidak takut. Jika saya punya lebih banyak uang untuk mempertahankan penampilan tertentu, maka saya akan lebih tidak takut. Tapi semua strategi itu sudah pasti gagal. Di titik tertentu kita perlu mengkonfrontasi teror dari dalam ini.

Dalam pengalaman saya mengikuti jalan Buddha, saya telah belajar bahwa pertama-tama kita perlu membuka topeng ketakutan itu; kita perlu berhenti berpura-pura tidak takut. Jika kita berpura-pura tidak takut, kita terlihat seperti tidak tertarik atau tidak terkoneksi dengan semua orang dan segala hal. Seorang guru spiritual mendemonstrasikan kepada saya seperti apa kita terlihat bila berpura-pura tidak merasakan apapun. Wajah tanpa ekspresi di mukanya terlihat aneh dan tak menarik. Beliau melanjutkan dengan mengingatkan saya bahwa rasa takut juga bagian dari keberadaan saya sebagai manusia. Saya mendapatkan pengalaman mendalam dari ajarannya.


Suatu ketika saya sedang bersiap-siap untuk menghadapi wawancara televisi, yang pertama dari beberapa wawancara tentang buku yang baru saya publikasikan. Dalam perjalanan ke studio, rasa takut menduduki saya seperti ada keledai di punggung saya. Pikiran-pikiran berseliweran dengan cepat, dan setiap pikiran berbisik bahwa “Saya tidak cukup bagus.” Di ruang tunggu, saya bertemu dengan seorang pengacara hak sosial yang sedang menunggu gilirannya untuk diwawancara. Ia tersenyum dan menyakinkan saya bahwa semua akan berjalan lancar. Jelas-jelas ia sudah melihat nafas saya yang pendek-pendek dan gerakan saya yang kaku. Rasa teror saya terlihat jelas, dan saya merasa malu. Saya sadari pada saat itu bahwa hampir sepanjang hidup saya telah membuat banyak upaya untuk terlihat tenang ketika saya sedang benar-benar ketakutan. Untungnya, begitu kamera mulai berjalan dan wawancara itu dimulai, saya dapat berbicara dari hati tentang apa yang penting bagi saya; adrenalin menurun dan saya tak lagi takut. Tentu saja, begitu kamera berhenti, rasa takut muncul lagi. Kali ini, rasa takut yang berbeda—takut tentang apa yang sudah saya katakan, bukannya apa yang akan saya katakan.

Apa yang telah menyebabkan saya melepaskan teror itu, meski hanya untuk beberapa saat saja? Saya kira ketika pikiran saya berfokus pada apa yang ada di hati, bukannya pada ketakutan-ketakutan dari masa lalu saya, maka saya dapat memposisikan diri saya sebagai mahkluk yang tidak menderita dan tanpa beban.

Bagaimana kita dapat terus melepaskan teror ini? Tentunya, tidak bisa dengan mencoba membuang seluruh ketakutan yang ada di dalam sekaligus. Kita dapat melepaskan teror ini dari waktu ke waktu dan sedikit demi sedikit. Di dalam meditasi kita belajar untuk mengkultivasi dan memperpanjang momen-momen tanpa beban, yaitu tempat-tempat tanpa-penderitaan. Kita dapat mengalami keadaan tanpa-penderitaan itu dalam setiap nafas, dari moment ke momen, menarik nafas dan menghembuskan nafas. Dalam meditasi kita merasakan rasa takut kita tanpa harus berbuat apapun terhadapnya di saat itu. Kita hanya bernafas. Tidak ada masa lalu, tidak ada masa depan. Kita tidak menyakiti atau disakiti. Teror di dalam diri diperhatikan dengan cara lembut. Mungkin ada air mata atau gemetaran. Kita hidup.

Ketika saya melafalkan Heart Sutra (Sutra Hati), saya terkesan dengan satu frasa di dalamnya yang menyatakan “tanpa rintangan (hindrance) tidak ada rasa takut.” Kata-kata ini mengatakan pada saya bahwa ada sesuatu di dalam pikiran saya yang memberikan bensin pada ketakutan. Tentunya, saya mengenal pengalaman-pengalaman eksternal tetapi saya ingin tahu kondisi-kondisi mental internal apakah yang telah menjadi bahan bakar ketakutan dalam hidup saya, dan saya merasa bahwa rasa takut juga menjadi bahan bakar kondisi-kondisi mental tertentu. Dalam ajarannya tentang lima rintangan (five hindrances), Buddha mengajarkan bahwa ada lima kondisi mental utama yang dapat merintangi praktek meditasi atau kewaspadaan kita. Studi saya mengenai kondisi-kondisi ini telah menyinari ketakutan yang tak saya kenali dalam hidup saya. Saya dapat melihat bahwa rasa takut tertanam dalam tiap rintangan:

1. Nafsu keinginan. Hidup bersama orang tua yang dapat dibilang miskin, saya berjanji pada diri sendiri bahwa saya tak akan miskin. Sehingga, keinginan saya yang intens untuk meraih keuntungan material terekspresikan dalam pengorbanan kebahagiaan sejati saya. Rasa takut “tidak memiliki,” dan berupaya untuk “memiliki,” menjadi bahan bakar ketakutan ilusi terhadap tidak memiliki hidup yang memuaskan. Pencarian kekayaan yang berlebihan telah berkontribusi pada kemiskinan internal dan rasa kesepian yang menakutkan saya. Dalam meditasi, baik gangguan dalam bentuk nafsu keinginan dan ketidakpuasan yang hadir dapat diakses dengan mudah. Dengan satu nafas, kita dapat menyadari rasa takut yang muncul bersama nafsu keinginan. Dengan nafas keluar, ketakutan itu dapat dilepaskan dengan penuh perhatian dan kelembutan. Dengan setiap nafas, intensitas ketakutan berkurang.

2. Niat buruk. Pengucilan berdasarkan ras, gender dan orientasi seksual membangkitkan rasa marah hampir sepanjang sebagian besar hidup saya. Setidaknya, saya hampir selalu menjadi orang yang tidak terpilih. Selama bertahun-tahun saya temukan lebih mudah untuk mengamuk daripada masuk ke bawah rasa marah itu menuju rasa takut yang mana di sana bukanlah tempat saya atau saya tidak cocok dengan yang lain. Rasa marah yang saya wujudkan telah  memisahkan saya dari yang lainnya dan menyebabkan lingkaran ketakutan, pengucilan, dan marah yang lebih besar lagi. Dengan memberikan perhatian pada nafas dalam meditasi, saya dapat memberikan jeda pada siklus itu. Yang saya lihat dalam diri saya dalam masa jeda itu adalah saya telah memeluk luka emosional saya sebagai identitas saya—sebagai sifat asli saya. Rasa takut yang terperangkap dalam wujud saya dapat berubah menjadi amukan. Ketika saya terus menarik dan menghembuskan nafas, saya tahu bahwa tubuh ini bukanlah perangkap tetapi suatu wadah dimana saya dapat menyembuhkan luka dan bertransformasi. Identifikasi saya dengan luka itu menipis, bersamaan dengan berkurangnya rasa takut dan marah.

3. Kemalasan dan kelesuan (tak berenergi). Dalam kondisi mental yang tumpul, hampir tidak mungkin untuk mendeteksi rasa takut yang terjalin dalam ketumpulan itu. Dalam awan yang disebut orang-orang Buddhis sebagai kemalasan dan kelesuan, sering kali ada rasa takut mengambil tindakan atau rasa takut akan kegagalan jika seseorang mengambil tindakan. Selama bertahun-tahun, sayangnya saya bekerja untuk orang lain karena takut tidak mampu mewujudkan impian-impian dan visi-visi saya sendiri. Saya tinggal bersama pekerjaan-pekerjaan meskipun merasa bosan dan selalu merasa “letih”. Dalam kondisi yang lebih lambat dan berdiam diri pada meditasi, saya melihat rasa takut yang tidak saya ketahui. Saya dapat melihat bahwa saya takut orang lain tidak akan tertarik pada apa yang ingin saya berikan. Dalam nafas masuk dan nafas keluar, saya mulai melepaskan ilusi bahwa saya makhluk yang inferior (atau di sisi lain superior). Dengan melepaskan ilusi tersebut, rasa takut yang terjadi di dalam ketidakhidupan saya terlepas, memberi jalan bagi antusiasme dan visi yang jelas bagi hidup saya.

4. Kegelisahan dan penyesalan. Ketika saya gelisah, saya berhadapan dengan ketakutan bahwa ada bahaya di depan sana, seakan-akan segalanya adalah krisis dan sesuatu yang terjadi di luar kotrol saya. Ketakutan terjalin di dalam kegelisahan dan penyesalan. Jika saya bertindak atas dasar kegelisahan, maka penyesalan, ditumpuk dengan sesal dan benci-diri, adalah hal yang pasti. Ketika saya berbicara pada saat gelisah, dimana kecemasan untuk mencegah bahaya yang saya imajinasikan untuk terjadi, atau saya telah mengatakan kata-kata yang terkadang membahayakan orang lain; saya temukan bahwa saya tidak dapat menjadi keduanya sekaligus--gelisah dan terampil. Dalam meditasi, kita diundang untuk menenangkan air dalam kehidupan kita. Kita menenangkan pikiran, melepaskan cerita-cerita dan fantasi yang kita karang. Ketika air itu sudah cukup tenang, kita melihat refleksi kita. Begitu di dalam meditasi saya telah melihat diri saya yang penuh kegelisahan dan rasa penyesalan, saya dapat mulai melepaskan kegelisahan dan ketakutan yang terjalin di dalamnya, [sehingga] mengurangi kemungkinan untuk penyesalan di waktu kemudian.

5. Keraguan. Keraguan adalah tidak percaya pada apa yang kita rasakan dalam hidup. Ketidakpercayaan ini menciptakan ketakutan. Ketika saya pertama kali menghadiri pertemuan tradisi Nichiren, saya ragu bahwa Buddhisme dapat memenuhi kelaparan spiritual saya. Tapi ketika saya mulai berlafal, saya begitu terharu sebagaimana saya dulu ketika saya bernyanyi di gereja. Meskipun ada rasa di tubuh yang mengatakan, “Engkau di rumah,” saya masih meragukan jalan Nichiren. Selama bertahun-tahun, saya terus melafal dan mempraktekkan Buddhisme, merasakan ketegangan antara rasa keraguan dengan rasa benar-benar di rumah. Akhirnya, saya menyadari kebebasan terjadi dalam hidup saya dan ketakutan akan jalan baru saya ini tersapu bersih. Begitu saya mengerti dan mempercayai ajaran-ajaran ini, saya memiliki sesuatu yang membangun keyakinan—sesuatu yang berdiri tegak ketika gelombang-gelombang ketakutan yang tak terhindarkan menghantam kehidupan.

Ketika bekerja dengan rintangan-rintangan, kita mungkin tidak menghilangkan ketakutan. Tetapi adalah mungkin menguranginya dengan pertama-tama mengenalinya sebagai bagian dari makhluk hidup. Di dalam kehidupan saya sendiri, begitu saya mengerti bahwa tidak apa-apa untuk merasa takut, proses penyembuhan mulai. Kebijaksaaan di dalam tulang belulang saya bangkit dan saya mulai menyadari bahwa di tengah ketakutan dan kegelisahan itu, pikiran dan tubuh sedang memohon untuk membersihkan teror di dalam. Dengan kesadaran ini, air di dalam pikiran saya mulai berhenti bergolak dan saya mulai, akhirnya, melihat refleksi saya sendiri. Saya mulai mengekspresikan rasa takut melalui proses kreatif menulis sebagaimana ayah saya membuat simbol-simbol untuk kata-kata di pelajaran sekolah minggunya. Saya yakin bahwa sesudah dua puluhan tahun berada di sekolah minggu yang sama, orang-orang tentu sudah tahu ayah saya buta huruf. Namun, mereka mengerti bahwa  Lawrence Manuel Jr sedang tegap menghadapi rasa takutnya terhadap tidak pernah belajar, atau lebih tepatnya, tidak pernah diizinkan membaca sebagai anak seorang petani gurem. Ia adalah seorang Kristiani sejati dan ia akan menjadi murid Zen Buddhis yang hebat.

Enam tahun sesudah kematian ayah saya, saya memasuki jalan Buddha. Saya berjalan di jalan ini dengan membawa seluruh emosi-emosi saya sebagai manusia. Meditasi membantu saya melihat akar dari emosi-emosi itu, dan bahwa semua emosi-emosi itu sudah tua. Ketika saya melihat teror merebak ke permukaan, saya melihat, “Saya sedang berada di masa lalu.” Kemudian, saya bertanya, “Apa yang sedang terjadi di sini, saat ini?” Ketika saya marah atau mengamuk, saya tahu untuk berkata, “Saya sedang takut terhadap sesuatu.” Saya menahan diri dari rasa malu karena merasakan emosi-emosi ini. Hanya dengan mengakui dan melepaskan emosi-emosi buta ini maka saya dapat mengalami keberadaan internal yang tanpa-beban dan harmoni, selalu ada di saat ini meskipun dalam penderitaan.

Kita tidak dapat sepenuhnya mempraktekkan apa yang disebut pembebasan tanpa mengekspos kehidupan kita sepenuhnya. Tidak ada penyembunyian.

Dicetak ulang dengan izin dari Inquiring Mind, Fall 2012 (Vol. 29 #1). © 2013 by Inquiring Mind.

Zenju Earthlyn Manuel: Penulis, Seniman, dan Pendeta Soto Zen Buddhist



Zenju Earthlyn Manuel adalah seorang penulis, seniman, dan pendeta Soto Zen Buddhist dari garis Shunryu Suzuki Roshi di San Francisco Zen Center. Ia adalah guru pembimbing di Still Breathing Meditation Center di Oakland, California. Informasi mengenai buku dan ajaran-ajarannya, yang memadukan Dharma dengan kebijaksanaan dalam tradisi spiritual Afrika dan Indian Amerika dapat dilihat di www.zenju.org.

No comments:

Post a Comment