Pendahuluan
Meditasi kewaspadaan (sati dalam bahasa Pāli; smṛti dalam bahasa Sansekerta) adalah satu dari metode meditasi utama yang memainkan peranan menonjol dalam banyak praktek meditasi Buddhis tradisional dan modern. Penyebaran teknik-teknik meditasi Buddhis akhir-akhir ini di seluruh dunia telah memudahkan pengenalan akan [meditasi] kewaspadaan ke dalam berbagai lingkungan baru, baik dalam peran tradisionalnya juga dalam peran barunya: sebagai suatu jalan menuju pembebasan spiritual dan pencerahan, sebagai suatu perangkat terapi, sebagai suatu teknik relaksasi dalam industri kesehatan, dll.
Walaupun Buddhisme modern, setidaknya hingga titik tertentu, telah mempertahankan aspek etis dan soteriologicalnya dalam praktek kewaspadaan, ada penekanan yang berkembang pada fungsi psikoterapisnya. Artikel ini menelusuri interpretasi baru mengenai kewaspadaan yang telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir ini dalam cara-ara radikal dalam praktek radikal, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Buddhisme.
Sejak akhir abad ke-19, meditasi telah diposisikan di barisan terdepan dari perkembangan baru dalam Buddhisme yang terjadi sebagai suatu respon terhadap kolonisasi di Asia, menghadapi Kristiani, ilmu pengetahuan, rasionalisme, romantisisme, dan wacana-wacana lain dari modernisme—istilah ini digunakan di sini sebagai istilah yang memayungi spektrum luas dari doktrin, filosofi, ritual dan praktek yang muncul selama lebih dari 150 tahun terakhir (Lopez 2002, ix–xliii; McMahan, 2008).
Pada abad ke-21, Buddhisme telah lebih jauh merespon keadaan-keadaan baru seperti pasar kapitalis global, konsumerisme, moda-moda komunikasi baru melalui ekspansi cetakan, media dan jaringan virtual, dan alhasil telah mengalami transformasi, menjadi agama transnasional yang tidak lagi hanya terikat pada budaya Asia dimana ia berasal, tetapi dengan cepat beradaptasi pada dan menggabungkan paradigma-paradigma baru.
Ekspansi dan adaptasi yang cepat atas beragam bentuk Buddhisme yang kita lihat di dunia global saat ini bukanlah sepenuhnya fenomena baru. Sejak awal mulanya di India, sekitar 25 abad yang lalu, Buddhisme menyebar ke seluruh Asia dengan relatif mudah, berkat fitur-fitur spesifiknya seperti penekanan soteriologisnya dan pendekatan pragmatis pada praktek yang memungkinkan penyesuaian cepat terhadap budaya dan lingkungan baru. Penyebaran Buddhisme adalah proses adaptasi yang berkesinambungan dengan lingkungan budaya baru, modifikasi doktrin dan prakteknya, pengembangan interpretasi baru, integrasi aspek-aspek tersebut dimana budaya baru bisa menanggapinya, dan menolak atau menghindari unsur-unsur yang tidak beresonansi dalam budaya baru itu (McMahan 2008, 61–63).
Dalam proses perubahan, modifikasi, dan integrasi terus-menerus, ada aspek-aspek Buddhisme yang tampaknya telah dianut bersama oleh kebanyakan tradisi Buddhis dan yang telah diidentifikasi serta diposisikan di garis depan sebagai "esensi" Buddhisme oleh kaum reformis dan sarjana pada abad ke-19—saat ketika Buddhisme modern mulai berkembang. “Esensi utama" Buddhisme ini, yang berkembang dalam Buddhisme modern, sebagian besar diambil dari catatan tekstual paling awal dalam bahasa Pāli, didasarkan pada Empat Kebenaran Mulia, doktrin tanpa-diri, dan hukum sebab musabab yang saling bergantungan dengan penekanan kuat pada meditasi sebagai esensi latihan Buddhis.
Fokus dan penekanan baru dalam Buddhisme modern termasuk keterlibatan sosial yang bertujuan untuk menghubungkan meditasi Buddhis—yang secara tradisional dipandang sebagai praktisi soliter dari Saṅgha monastik dan pertapa, sebagaimana yang diinformasikan dalam teks-teks terawal—dengan aktivitas sosial dan perjuangan bagi keadilan sosial. Contoh dari arah baru ini mencakup gerakan seperti "Buddhisme terapan (“engaged Buddhism”) yang dikembangkan oleh Thich Nhat Hanh (King 2000, 321–363) atau Buddhisme Humanistik (Humanistic Buddhism), yang dimulai di China pada awal abad ke-20 serta berkembang di Taiwan dan tempat-tempat lain (Guruge 2003; Pacey 2005).
Gerakan-gerakan ini menafsirkan dan menemukan kembali meditasi dalam konteks keterlibatan aktif dalam masyarakat, di kehidupan sehari-hari, di dalam kegiatan yang didedikasikan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat serta lingkungan. Dalam konteks ini, konsep baru dari Saṅgha awam telah mulai muncul, terutama di Amerika Serikat, yang terdiri dari orang-orang awam yang berada di jalan Buddhis, mempraktekkan meditasi dan bertujuan untuk mengintegrasikannya ke dalam kehidupan duniawi, dalam keterlibatan aktif di masyarakat (Bodhi 2008).
Gerakan-gerakan keterlibatan sosial baru ini sebagian besar mengambil dari dan menafsir kembali doktrin dari hukum sebab musabab yang saling bergantungan dan konsep tanpa-diri, menekankan keterkaitan di antara semua makhluk hidup dan lingkungan alam (apa yang disebut Thich Nhat Hanh sebagai "interbeing"). Buddhisme modern telah muncul dalam banyak wacana baru, menanggapi masalah-masalah dunia saat ini, yang terus-menerus didekontekstualisasikan dan dikontekstualisasikan kembali; semua penyesuaian dan inovasi yang kuat ini tercermin dalam interpretasi baru, konteks baru, dan makna baru dari meditasi Buddhis.
Meditasi Buddhis
Tradisi-tradisi tekstual menunjukkan bahwa meditasi telah menjadi terpusat dalam doktrin Buddhis sejak masa sangat awal, lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Meditasi disajikan dalam sebagian besar tradisi Buddhis sebagai komponen penting dari praktek Buddhis, yang utama di jalan menuju pencerahan (nibbāna), [1] pembebasan akhir dari penderitaan dan kelahiran kembali (saṃsāra). Meditasi, khususnya kewaspadaan (mindfulness), dipandang sebagai landasan yang tak tergantikan dalam pengembangan moral, etika, dan spiritual, menjadi parameter penting dalam pengembangan keadaan mental yang baik (kusaladhammā) dan munculnya kebijaksanaan serta welas kasih. Kewaspadaan adalah komponen integral dari Empat Kebenaran Mulia yang mewakili fondasi struktural doktrin Buddhis dalam kebanyakan tradisi Buddhis, mengintegrasikan aspek etika, soteriologis, dan pragmatis dalam satu unit pengajaran:
(1) ketidakmemuaskannya kelahiran (dukkha) yang dipahami dan dilampaui melalui pandangan terang yang dikembangkan oleh kebijaksanaan dan kewaspadaan;
(2) penyebab penderitaan adalah kemelekatan (taṇhā) darinya seseorang terlindungi dan terjaga melalui pengembangan kewaspadaan;
(3) akhir penderitaan, pencerahan (nibbāna), yang direalisasikan sebagai hasil latihan meditasi, pengembangan faktor pencerahan, di mana kewaspadaan menempati urutan pertama;
(4) jalan menuju kebebasan dari penderitaan, yaitu Jalan Mulia Beruas Delapan (ariyoaṭṭhaṅgikomaggo), yang terdiri dari komponen yang saling terkait, meliputi kebijaksanaan (paññā), etika (sīla) dan meditasi (samādhi) - dan kembali, kewaspadaan merupakan salah satu dari delapan komponen.
Meskipun seluruh delapan komponen itu saling terkait dan saling terhubung itu, kewaspadaan memiliki peran khusus dalam pengembangan kebijaksanaan, dimana kebijaksanaan disajikan dalam Buddhisme sebagai faktor mental yang muncul bersama-sama dengan kewaspadaan. Menurut Abhidhamma Theravāda, baik kewaspadaan dan kebijaksanaan adalah faktor mental yang baik (kusaladhammā), yang timbul hanya dengan keadaan mental etis yang baik, yaitu mereka bebas dari kebodohan, keserakahan, dan kebencian. Ini adalah kebijaksanaan dalam kapasitasnya untuk menghasilkan pemahaman atas sifat alami sejati dari semua fenomena fisik dan mental (yaitu ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa-diri) yang merupakan hal yang mutlak untuk pembebasan dari kebodohan, untuk merealisasi nibbāna. Selain itu, melalui kebijaksanaanlah delusi dan keadaan mental negatif terkait dapat dilampaui, menghasilkan kondisi mental yang sehat yang berujung pada tindakan yang dimotivasi kemurahan hati, empati, dan kebijaksanaan. Oleh karena itu kewaspadaan secara terpusat ditampilkan dalam kerangka etika dan soteriologis dari ajaran Buddha.
Banyak teks-teks dan panduan Buddhis tradisional (misalnya Visuddhimagga) memberikan deskripsi dan penjelasan meditasi. Meskipun cukup banyak perhatian diberikan kepada praktek kewaspadaan, justru pengembangan meditasi konsentrasi (samatha) dalam berbagai tahapnyalah yang mendapat pengkajian dan diskusi lebih mendalam, terutama dalam sumber-sumber Buddhis pada masa awal.
Buddhisme modern acapkali dengan tajam membedakan dua jenis meditasi, yaitu meditasi mengembangkan konsentrasi pada objek yang dipilih misalnya napas (samatha) dan meditasi pandangan terang (vipassanā) yang memfokuskan pada kewaspadaan terhadap semua fenomena tubuh dan pikiran ketika mereka muncul dari waktu ke waktu. Teks-teks Buddhis pada masa awal mencatat bahwa kedua jenis meditasi ini erat terhubung (misalnya Sujato 2005); keduanya membutuhkan pengembangan konsentrasi dan kewaspadaan. Seperti diklaim oleh para sarjana modern Buddha dan praktisi (misalnya Harvey 1990, 253–255; Anālayo 2006, 42, 52–53) — dan didukung oleh bukti-bukti tekstual yang solid) — pengembangan kewaspadaanlah maka pandangan terang terhadap sifat sesungguhnya dari semua fenomena dan kondisinya muncul, yang akhirnya mengarah pada nibbāna.
Asal Mula Kewaspadaan
Semua teks-teks Buddhis meletakkan kewaspadaan sebagai bagian integral dari jalan Buddhis; kewaspadaan adalah salah satu dari lima kecakapan dan kekuatan, yang pertama dari tujuh faktor pencerahan, salah satu komponen dari Jalan Mulia Beruas Delapan, dan salah satu elemen kunci praktek meditasi Buddhis. Dalam catatan Pāli awal, kata kewaspadaan (sati) tampaknya ada dalam dua makna yang luas yang berbeda dan tumpang tindih (Gethin 2011). Jarang, kata sati menunjukkan makna "memori, ingatan" atau faktor mental yang memunculkan memori (Analayo, 2006: 46); paling umum, istilah sati itu mengacu pada kewaspadaan sebagai kesadaran atau observasi, seringkali disertai dengan pemahaman jelas tentang proses mental dan fisik yang berlangsung dari waktu ke waktu. Teks-teks mendefinisikan dan menggambarkan kesadaran paling sering melalui atribut dan fungsinya seperti menjaga (pintu masuk indria), kehadiran, pencerahan, tanpa batas, dan kognisi yang kuat (misalnya Buddhaghosa 1956, XIV, 141).
Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan kewaspadaan dalam Buddhisme yang perlu dibedakan dari itu. Istilah sati sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai perhatian (attention), kesadaran (awareness), atau kesadaran tanpa memilih (choiceless awareness); istilah-istilah ini kadang digunakan sesekali untuk kewaspadaan (mindfulness). Istilah perhatian atau kesadaran juga merupakan terjemahan Inggris umum dari konsep manasikāra, yang menurut Abhidhamma, adalah faktor mental (cetasika) yang hadir di setiap saat pikiran dan yang bertindak sebagai kognisi dasar dari suatu obyek sebelum itu diidentifikasi dan dikonseptualisasikan (Bodhi 1993, 81).
Ketika kognisi berkembang bersama dengan pemahaman tentang apa yang baik (kusala) atau tidak baik (akusala), itu disebut perhatian bijaksana (yoniso manasikāra ) yang memfasilitasi pengembangan kewaspadaan dan kebijaksanaan—dua faktor yang penting di jalan menuju pembebasan akhir (Anālayo 2006: 58). Ketika kewaspadaan (sati) disertai dengan kebebasan dari keinginan dan penolakan (vinneyaabhijjhâdomanassa), pemahaman jernih (sampajâna), dan ketekunan (ātāpī), itu disebut perhatian benar (samma sati) yang merupakan komponen dari Jalan Mulia Beruas Delapan.
Kewaspadaan benar dibahas di banyak contoh dalam teks-teks kanonik, misalnya itu berulang dalam bait-bait Satipaṭṭhânasutta (Anālayo 2006, 49). Catatan tekstual mencatat dengan jelas bukti bahwa kewaspadaan benar sangat terkait dan terhubung dengan aspek etis dan soteriologis dari doktrin Buddha: melindungi pikiran dari bereaksi dengan keinginan dan penolakan; hal itu mengkondisikan pengembangan akan pemahaman mengenai apakah keadaan mental itu baik atau tidak; dan bersama-sama dengan pemahaman jernih, membangun dasar kebijaksanaan untuk berkembang, dan akibatnya, itu adalah unsur yang sangat diperlukan di jalan menuju nibbāna.
Penyebutan mengenai kewaspadaan terdapat di banyak teks-teks Buddhis kanonik dan pasca-kanonik, misalnya, di banyak wacana dalam Nikāya, dalam Agama berbahasa China, dan dalam beberapa teks-teks Buddhis berbahasa Sansekerta dan Tibetan. Di antaranya yang paling menonjol adalah teks-teks kanonik mengenai meditasi adalah Satipāṭṭhānasutta ("Wacana mengenai Pengembangan Kewaspadaan") [2] yang telah diacu dalam Buddhisme modern sebagai teks seminal mengenai kewaspadaan, yang paling mendasar tentang meditasi kewaspadaan (misalnya Ñāṇapoṇika 1962, 11). Sebagaimana argumen Ajahn Sujato (2005, 113), penghormatan pada teks mulai "di era kolonial karena aliran Buddhisme berusaha untuk menanggapi tantangan zaman modern," yang bertujuan untuk mengotentikasi dan melegitimasi metode baru meditasi pada saat itu (misalnya metode yang dikembangkan oleh Sayadaw Mahasi atau U Ba Khin).
Pembentukan Buddhisme modern, dengan ditandai penekanan baru pada meditasi dan khusus pada kewaspadaan, telah menyebabkan ekspansi latihan meditasi secara luas di antara penduduk awam sejak awal abad ke-20, khususnya di Myanmar, sehingga dibangun pusat-pusat meditasi dan lingkungan meditasi yang kebanyakan mengakomodasi praktisi awam—suatu fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Buddhis. Kejadian baru ini memiliki implikasi besar untuk pengembangan lebih lanjut Buddhisme modern dan terutama untuk kepopuleran kewaspadaan yang berkembang jauh melampaui batas-batas monastiknya, dan dekade-dekade selanjutnya, telah berkembang dalam konteks dan pengaturan yang sama sekali baru.
Interpretasi Baru Mengenai Kewaspadaan
Beberapa dekade terakhir menjadi saksi suatu ekspansi eksponensial dari ajaran praktek kewaspadaan; dengan pencarian Google cepat dengan kata kunci "kewaspadaan," survei singkat terhadap sumber-sumber cetak atau berbagai media membuktikan keberadaannya di mana-mana yang menakjubkan dan pesat. Kewaspadaan tidak lagi hanya merupakan komponen utama dari meditasi Buddhis, tetapi dengan cepat memasuki konteks baru, mengembangkan peran dan fungsi baru, yang paling cepat dan tepat sebagai perangkat terapi, yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk psikoterapi seperti terapi untuk gangguan kecemasan, depresi, penanganan nyeri, konseling hubungan, dukungan saat seseorang berdukacita, dan seterusnya. Dalam domain-domain baru ini, makna dan fungsi kesadaran telah ditafsirkan dan diciptakan kembali secara signifikan.
Dalam konteks baru, kewaspadaan (sati) sering disajikan sebagai kesadaran dasar terhadap atau perhatian pada saat sekarang yang tidak dilibatkan dalam, dan tidak turut campur dalam arus fenomena mental dan fisik yang terjadi dari waktu ke waktu. Seperti yang ditunjukkan oleh Gethin (2011, 267), adalah buku seminal Ñāṇapoṇika, The Heart of Buddhist Meditation (1962) yang memberikan kontribusi terbesar dalam memposisikan kewaspadaan ke dalam tengah agama Buddha modern. Pemahamannya dan penyajiannya mengenai kewaspadaan sebagai perhatian jernih mempengaruhi secara luas interpretasi baru mengenai kewaspadaan. Dalam definisi modern mengenai kewaspadaan, sering dinyatakan bahwa itu harus dipraktekkan dengan cara tidak-menghakimi—atribut "tidak-menghakimi" tidak berasal dari tradisi Buddhis; itu diciptakan, sejauh yang saya tahu, oleh Kornfield (2012, 2).
Definisi tradisional tentang kewaspadaan menghubungkan kewaspadaan dengan pemahaman yang membedakan apakah keadaan mental yang terjadi itu baik atau tidak baik, dan karenanya [definisi tradisional] sering menggambarkan kewaspadaan sebagai perlindungan dari munculnya keadaan tidak baik. Banyak contoh di Kitab suci Buddhis yang memperlihatkan kesadaran dalam peran ini; misalnya, perumpamaan yang sering dikutip mengumpamakannya sebagai penjaga pintu kota (SaṃyuttaNikāya IV, 194) yang mengenal siapa yang boleh diizinkan masuk ke kota dan merujuk kewaspadaan dalam fungsinya menjaga pintu masuk indria dan mengenali keadaan mental yang baik, dan alhasil memperbolehkan mereka masuk dan tidak mempersilakan mereka yang tidak [baik] masuk.
Adalah Kabat-Zinn yang berkontribusi besar terhadap perkembangan kewaspadaan dalam terapi dengan program awal yang ia lakukan, "Pengurangan stres berbasis kewaspadaan," di Stress Reduction Clinic, University of Massachusetts Medical Center pada tahun 1970-an; sejak itu, program ini dan banyak lainnya telah dikembangkan dan diperluas di seluruh dunia. Penelitian awal telah menunjukkan manfaat dari kewaspadaan (Kabat-Zinn 1986); telah diikuti oleh banyak penelitian lebih lanjut yang menunjukkan manfaat dari terapi berbasis kewaspadaan (misalnya Eifert dan Forsyth 2005) dan efek positif pada otak dan sistem kekebalan tubuh (Davidson 2003).
Kewaspadaan paling sering direpresentasikan dalam fungsi psikoterapi barunya sebagai "kewaspadaan yang muncul melalui memperhatikan secara sengaja, pada momen saat ini, dan tanpa menghakimi" (Kabat-Zinn 2003, 145); hal itu dianggap sebagai alat terapi, membantu masalah dan gangguan dalam spektrum luas. Sebagai contoh, Baer (2006, 10) menyatakan bahwa kewaspadaan membawa ke "kemampuan untuk membuat keputusan adaptif dalam menangani situasi sulit dan bermasalah ketika mereka muncul, serta meningkatkan kegembiraan dari saat-saat yang menyenangkan." Tujuan-tujuan ini secara signifikan berbeda dari perspektif Buddhis yang berusaha mencari kebebasan dari keinginan ataupun kebebasan dari kemelekatan terhadap kesenangan.
Dengan demikian kewaspadaan telah dibawa keluar dari konteks Buddhis dan dipisahkan dari hubungan yang kuatnya terhadap aspek soteriologis dan aspek etis. Tradisi Buddhis mengenali pentingnya niat dan tujuan untuk latihan meditasi serta konsekuensinya; tujuan praktek kewaspadaan adalah pengembangan pandangan terang, yang mengarah pada kebijaksanaan dan welas asih serta pembebasan akhir, nibbāna. Orang tercerahkan dilihat dalam Buddhisme sebagai seseorang yang telah benar-benar melenyapkan delusi, nafsu keinginan dan kebencian, dan dengan demikian merupakan kesempurnaan etika serta puncak dari kesehatan mental, sedangkan orang yang tidak tercerahkan dianggap sebagai terdelusi, sebagaimana dinyatakan dalam Visuddhimagga (XVII 261): ummattakoviya hi puthujjano, "Manusia biasa [yang tak tercerahkan] itu seperti orang gila" (Buddhaghosa 1956, 663).
Sebaliknya, praktek kewaspadaan dalam konteks terapi dan konteks non-Buddhis lainnya umumnya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan yang lebih besar, keseimbangan, kemampuan beradaptasi, meningkatkan kegembiraan dan kebahagiaan. Tujuan-tujuan ini mencerminkan tujuan masyarakat modern dan nilai-nilai seperti kepuasan pribadi, pengurangan stres, pengungkapan-diri secara individu, pemenuhan diri, perawatan diri, dan mengejar kebahagiaan, untuk menyebut beberapa. Meskipun makna dari konsep kebahagiaan dalam berbagai konteks dari masa lalu dan sekarang memerlukan penyelidikan lebih lanjut (yang terletak di luar lingkup makalah ini), dapat dikatakan bahwa dalam tradisi Buddhis mengejar kebahagiaan dan meningkatkan kegembiraan tidak diposisikan menjadi tujuan dari latihan meditasi; keadaan kebahagiaan, sukacita, dan ketenangan yang menyertai berbagai tahapan di meditasi samatha dan vipassanā adalah efek samping dari praktek, tetapi bukan tujuan.
Kesimpulan
Kewaspadaan akhir-akhir ini telah berubah serta ditransplantasikan ke paradigma-paradigma dan konteks baru masyarakat konsumtif global. Meskipun metode-metode meditasi gampang beradaptasi sepanjang sejarah Buddhisme, proses belakangan ini yang mengeluarkan kewaspadaan dari akar Buddhisnya telah menyebabkan penyebaran luasnya, yang belum pernah terjadi sebelumnya, menjadi semakin banyak dipandang dan digunakan sebagai salah satu komoditas baru yang tak terhingga dalam pasar spiritual dan kesejahteraan global.
Kontruksi baru mengenai kewaspadaan menimbulkan dilema dan memerlukan pemeriksaan lebih dekat tentang kondisi dan konsekuensinya. Bisa dikatakan, adalah mungkin untuk mendekati penafsiran dan fungsi baru kesadaran dari berbagai sudut; seperti ditunjukkan oleh Gethin (2011, 268–269), mencopot kewaspadaan dari konteks Buddhis dapat dilihat sebagai interpretasi keliru atas meditasi Buddhis tradisional; atau sebagai mengambil komponen penting dari kewaspadaan dan melepaskan konteks-konteks tradisional yang tidak perlu; atau sebagai integrasi modern antara komponen penting meditasi Buddhis yang bermanfaat dengan ilmu pengetahuan modern. Namun demikian, menempatkan kewaspadaan sebagai alat untuk mencapai peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan mengurangi lingkupan dan kedalamannya dalam mengembangkan penyelidikan yang lebih dalam mengenai etika dan pandangan terang ke dalam kesadaran manusia dan potensinya, yang merupakan tujuan tradisi Buddhis dan adalah sesuatu yang mungkin perlu dirujuk dan dieksplorasi oleh dunia saat ini.
[1] Interpretasi dari kewaspadaan yang telah berevolusi dalam Buddhisme modern yang sangat sering merujuk kembali ke sumber Theravada, maka gambaran mengenai akar kewaspadaan ditarik dari Kitab Suci Theravada Buddhis dan akibatnya, istilah-istilah teknis untuk kewaspadaan dan konsep terkait yang diberikan (dalam kurung) dalam bahasa Pāli .
[2] Dua versi dari sutta ini ditemukan di Kitab suci Theravāda; yang lebih pendek di Majjhima Nikāya (MI 55-63) dan satu lagi di Dīgha Nikāya (D II 305-315).
Daftar Pustaka:
Anālayo. 2006. Satipṭṭhāna: The Direct Path to Realization. Selangor: Buddhist Wisdom Centre.
Baer, Ruth A., ed. 2006. Mindfulness-Based Treatment Approaches: Clinician’s Guide to Evidence Base and Applications. Burlington, MA, Academic Press.
Bodhi, trans. 1993. AbhidhammatthaSangaha: A Comprehensive Manual of Abhidhamma: Pali Text, Translation and Explanatory Guide. Kandy: Buddhist Publication Society.
Bodhi. 2008. “The Challenge of the Future: How Will the Sangha Fare in North American Buddhism?” UrbanDharma.org, accessed 20 May 2013, <http://www.urbandharma.org/udharma13/challenge.html>
Buddhaghosa. 1956. The Path of Purification (Visuddhimagga). Trans. by Ñāṇamoli. Singapore: Singapore Buddhist Meditation Centre.
Davidson, R., et al. 2003. “Alterations in Brain and Immune Functions Produced by Mindfulness Meditation.” Psychosomatic Medicine 65: 564–570.
Eifert, Georg and Forsyth, John P. 2005. Acceptance and Commitment Therapy for Anxiety Disorders. Oakland, CA, New Harbinger Publications.
Gethin, Rupert. 2011. “On some definitions of mindfulness.” Contemporary Buddhism: An Interdisciplinary Journal 12 (1): 263–279.
Guruge, Ananda. 2003. Humanistic Buddhism for Social Well-Being: An Overview of Grand Master
Hsing Yun's Interpretation. Taipei, Buddha's Light Publishing.
Harvey, Peter. 1990. An Introduction to Buddhism. Cambridge, Cambridge University Press.
Kabat-Zinn, J., Lipworth, L., Burney, R., and Sellers W. 1986. “Four-Year Follow-Up of a Meditation-Based Program for the Self-Regulation of Chronic Pain: Treatment Outcomes and Compliance.” The Clinical Journal of Pain 2: 159–173.
Kabat-Zinn, J. 2003. “Mindfulness-Based Interventions in Context: Past, Present, and Future.” Clinical Psychology: Science and Practice 10 (2): 144–156.
King, Sallie B. 2000. “ThichNhatHanh and the Unified Buddhist Church: Nondualism in Action”. In Queen, Christopher, ed., Engaged Buddhism in the West. Somerville, MA, Wisdom Publications, 321–363.
Kornfield, Jack. 2012. Bringing Home the Dharma: Awakening Right Where You Are. Boston and London: Shambala.
McMahan, David L. 2008. The Making of Buddhist Modernism. Oxford: Oxford University Press.
Lopez, Donald. 2002. Modern Buddhism: Readings for the Unenlightened. London: Penguin Books.
Ñāṇapoṇika. 1962. The Heart of Buddhist Meditation, London: Rider.
Pacey, Scott. 2005. A Buddhism for the Human World: Interpretations of RenjianFojiao in Contemporary Taiwan. Asian Studies Review 61-77
Sujato. 2005. A History of Mindfulness: How Insight Worsted Tranquility in the SatipatthanaSutta Taipei: The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation.
Tamara Ditrich: Dosen
Dr Tamara Ditrich telah mengajar selama lebih dari tiga puluh tahun tentang berbagai mata pelajaran akademis yang berhubungan dengan agama dan bahasa-bahasa Asia (Buddhisme, meditasi di agama-agama timur, Hinduisme, Sansekerta) di universitas-universitas di seluruh Eropa dan Australia (Australian National University, University of Queensland) dan menjabat sebagai honorary associate di University of Sydney. Pada Agustus 2012, ia bergabung dengan Nan Tien Institute sebagai kepala Program Studi Buddhis Terapan.
No comments:
Post a Comment