Monday, March 23, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: 2

Bhikkhuṇīs dan Pertapa Perempuan Indonesia: Kilasan Sejarah dan Survei Terminologi

Artikel oleh Tathālokā Bhikkhuṇī  
Pengantar oleh Ādhimuttā Bhikkhuṇī

Ini adalah bagian kedua dari seri Sejarah Wanita dalam Buddhisme yang merupakan ekstrak dari jurnal oleh Ayyā Tathālokā’s berjudul“Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors.” Tulisan ini memberikan ringkasan terminologi dan sejarah, mengupas tentang monastik Buddhis wanita dan pertapa wanita zaman dulu di kepulauan Inodnesia yang digali  lewat catatan perjalanan, tradisi oral, prasasti, monumen dan patung-patung yang membawa konteks kultul dan sejarah. 

__

Para Wikuni dan Kili: Rangkuman Terminologi Indonesia untuk Pertapa, Guru dan Orang Suci Wanita 

Kata wikuni dalam Bahasa [1] mempunyai akar bahasa dari kata bahasa India bhikkhuṇī dalam bahasa Pali dan bhikṣuṇī dalam bahasa Sansekerta. Bentuk maskulin dari kata ini adalah wiku,[2] bhikkhu/bhikṣu. Dalam teks-teks bahasa Indonesia, seperti dalam teks India, [3] kata ini juga untuk merujuk pada pertapa monastik pria dan wanita secara kolektif.
Wikuni kini diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai pendeta Buddha (seorang “pandita Buddhis”), yang kali ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “pastor Buddhis” atau “penginjil.”

Photo 1:  Bhikkhuṇī-bhikkhuṇī dipahat di batu
Bahasa Indonesia kuno dan teks-teks kuno penuh dengan kata-kata yang mendeskripsikan pertapa religius wanita. Kata kili mungkin adalah kata yang paling terkenal di antaranya. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata diulang untuk menyatakan bentuk jamaknya, sehingga dikenal sebagai kili-kili.

Beberapa cendikiawan mengatakan bahwa kili adalah murni bahasa Indonesia. Yang lainnya mengatakan mungkin kata ini berasal dari bahasa India giri yang berarti “gunung,” dan juga digunakan dalam bahasa Sansekerta untuk merujuk pada pertapa di India. Gunung, formasi gunung, dan goa-goa punya sejarah panjang sebagai yang disucikan, dan dalam kosmologi kuno, gunung adalah wanita. Kili-kili sering diasosiasikan dengan retret pertapa-pertapa di gunung-gunung, sehingga mereka sering disebut pertapa wanita.

Kata kili-kili juga sering dikombinasikan dengan suci menjadi kata kili-suci. Suci berasal dari bahasa India yang berarti “murni” atau “bersih.”
Kata suci juga dapat berdiri sendiri untuk mendeskripsikan monastik/pertapa. Kili dikombinasikan dengan rara menjadi rara-kili. Rara atau rarā berarti “perempuan muda atau gadis” dengan makna serupa dengan kata India kaññā.

Photo 2: Bhikkhuṇī di goa pertapaan di gunung, sedang dikunjungi bangsawan
Rara-kili adalah salah satu dari dua jenis wanita dan pertapa wanita. Rara-kili mengacu pada orang-orang yang memasuki kehidupan monastik sejak usia muda atau tanpa pernah menikah. Sedangkan orang-orang yang memasuki kehidupan monastik di paruh selanjutnya dalam hidup, setelah menikah, sebagai janda, dan/atau di usia lanjutnya disebut dengan sebutan wṛddhā. Dalam bahasa Jawa Kuno, tetua-tetua di kehidupan monastik, dan juga orang-orang yang memasuki kehidupan monastik di usia tua dipanggil wṛddhā (Sansekerta: vṛddhā, Pali: vuddhā), yang adalah kata hormat yang berarti “senior”, “tua” atau “tetua” dalam bentuk feminim.

Photo 3: Bhikṣuṇī Śaila dengan teman-teman monastik mengajarkan Dharma kepada Raja Rudrāyaṇa dan Ratu Candraprabhā di istana 

Selain itu, wanita-wanita yang adalah guru, pemimpin, atau petinggi keagamaan dipanggil ājar, ājar-ājar or ācārīs, yang dalam bahasa Pāli adalah acariyās, master atau guru yang berkaliber. Mereka berbeda dari acarinīs yang mengacu pada istri dari guru-guru pria (dalam tradisi India non-Buddhis).
Kata guru yang berasal dari bahasa India juga digunakan untuk guru wanita maupun pria dalam bahasa Indonesia kuno. Ia juga dapat dipanggil widyādharī, yaitu kata feminim untuk kata vidyādhāra, “penjunjung pengetahuan” atau “pembawa kebijaksanaan” dalam tradisi Mantranāya Indonesia (yaitu Mahāyāna Mantrayāna, Vajrayāna atau Tantrayāna).

Photo 4: Buddhis Indonesia Bhrikuti (disebutkan di Hevajra Tantra dan Amoghaśa Sadhana)
Photo 4: Buddhis Indonesia Bhrikuti
(disebutkan di Hevajra Tantra
dan Amoghaśa Sadhana)
Pertapa wanita dari berbagai tradisi (sering disebut empat pakśa atau empat sekte dalam bahasa Jawa-India kuno, termasuk Buddhis, Śaivite, Viśnuvite and Ṛśi) juga dikenal dengan sebutan tāps, tāpī-tāpīs or sutāpīs, yang adalah bahasa Indonesia untuk tāpasī, tāpasīn atau tāpaswī, tapaswījana atau pratāpā, atau dalam bahasa Jawa Kuno murni disebut  par-endang. Pa dan para, seperti kata kontemporer dalam bahasa Thai phra dan Laos pha mungkin digunakan sebagai kata hormat secara umum untuk orang-orang religius atau orang-orang suci. 

Para pertapa wanita dari berbagai tradisi, termasuk Buddhis, juga disebut muṇḍīs (wanita yang telah botak), sekhīs (orang-orang yang telah menjalankan latihan—sikkha dalam sila) dan dewī atau devīs (dewi). 
Dalam semua kasus, nama pertapa wanita atau salah satu dari kata-kata diatas dapat diawali dengan kata penghormatan dalam bahasa Indonesia kuno saṅ (sang) dan hyaṅ (hyang), yang digunakan untuk orang-orang yang dihormati dan suci dan diagungkan seperti para buddha, bodhisattva dan dewa-dewi. Contohnya, pertapa wanita dapat dihormati dengan dipanggil saṅ tāpaswī.[4]

Pertapa dan monastik wanita tidak hanya ada di Buddhisme. Ada banyak catatan tentang jaṭī-jaṭī (para wanita pertapa berambut-kusut Jaṭila) dan saṅ ṛṣi tapaswī brāhmaṇī, yang mencakup berbagai jenis wanita pertapa Brahmin. Ada wanita dan pria pertapa, sufi dan orang suci dari Brahmanism, Śaivism dan Buddhism. Kebanyakan pulau-pulau di kepulauan Indonesia—dan dataran Asia Tenggara yang berbagi sejarah budaya panjang dengan Indonesia—memiliki sejarah panjang dan kuno tentang pendeta-pendeta wanita sejak zaman budaya Megalitik asli dan kuno. Kehadiran wanita-wanita religius bukanlah hal baru di bagian dunia ini, bukanlah hal yang diimpor dengan Buddhisme, melainkan budaya yang sudah sangat lama. 


Perkembangan Sejarah Awal Buddhisme di Tanah Indonesia

Photo 5: Pertapa Wanita yang
Sedang Duduk (Saṅ Tapaswī)
Ada catatan tentang hubungan antara India dan kepulauan Indonesia sejak abad ke-7 sebelum masehi [5] melalui jalur perdagangan dengan India melalui Teluk Bengal. Rute-rute perdagangan ini berkembang pesat ketika jalur perairan dibuka oleh Raja China Han Wudi (漢武帝) yang memerintah China di tahun 140-87 sebelum masehi. Rute-rute ini memberikan akses antara China, kepulauan Indonesia, India, dan kerajaan Romawi, karena China mencari pasar luar negeri dan mendirikan hubungan perdagangan internasional, menjadi cikal bakal “Jalan Sutera Laut.”[6]

Tidak diketahui kapan Buddhisme pertama masuk ke Indonesia. Jejak-jejak suci yang berhubungan  dengan Buddha Dīpaṇkara kuno telah ditemukan di Sumatra, tetapi diduga dipahat di zaman Buddha contemporer untuk penghormatan. Sumatra dikenal luas sebagai Suvarṇadvipa (Pulau Emas) dan Suvarṇabhūmi (Tanah Gold), yang menurut catatan telah dikunjungi oleh arahat dharmadhūtas Soṇa & Uttara dari kerajaan Asoka pada abad ke-3 sebelum masehi.[7] Jika Indonesia adalah Suvarṇabhūmi dari misi-misi Buddhis kuno, maka Sangha Bhikkhuṇī [8] mungkin telah didirikan sekitar 2,400 tahun lalu, di abad ke 3 sebelum masehi.

Orang-orang Thai, Myanmar, Laos dan Kamboja juga percaya bahwa Suvarṇabhūmi (Pali: Suvaṇṇabhūmi)  yang dikunjungi misionaris-misionaris arahat kuno ada di negara mereka. Terlepas dari apakah Suvarṇabhūmi mencakup Indonesia atau tidak, banyak prasasti-prasasti dari abad ke-2 sebelum masehi menyebutkan bhikkhuṇī-bhikkhuṇī lokal di sepanjang rute-rute perdagangan India dan dekat pelabuhan-pelabuhan yang berhubungan aktif dengan Indonesia. Hal ini, digabungkan dengan tidak adanya halangan untuk perjalanan laut untuk monastik Buddhis (dibandingkan dengan para Jain), membuat dugaan kuat tentang perjalanan dan peneybaran monastik Sangha wanita dan pria di sepanjang jalan darat dan laut.


Saksi dari Peziarah Monastik Terkenal I-tsing

Pada tahun 671, seorang bhikkhu terkenal dan penulis catatan perjalanan Bhikkhu I-tsing (Yijing, 義淨) tiba di Indonesia dari China. Ia menghabiskan 6 bulan di Indonesia sebelum pergi ke India, dimana ia belajar di Nālanda selama 10 thaun sebelum kembali ke Śrībogha (nama kuno untuk Malayu, yaitu dimana Palembang sekarang berada). Ia tinggal di Indonesia selama 4 tahun untuk menerjemahkan sebelum kembali ke China pada tahun 695.

Photo 6: Bhikṣuṇī Ācārī Śaila (dengan teman monastik)
memberikan "going forth" di kehidupan monastik
(Skt: pravrajyā, Pali: pabbajā) kepada Ratu Candraprabhā
Yijing mencatat bahwa lebih dari 1000 anggota monastik di Bhoga, ibukota Śribhoga, kebanyakan adalah anggota Mūlasarvāstivāda Nikāya, tetapi beberapa adalah anggota Sthavira Nikāya,[9] yang baru saja diperkenalkan.

Ia temukan kebanyakan Buddhis adalah Hinayāna (istilahnya), tetapi beberapa Mahāyāna (penting diketahui bahwa di India dan Indonesia, menurut pengamatan YM I-tshing, untuk belajar Mahāyāna Madhyamika, Yogācāra dan ajaran-ajaran bodhisattva adalah pilihan pribadi monastik, tidak ada hubungan atau ikatan dengan nikāya monastik, ordo, kebiaraan ataupun garis penahbisan mereka).

Selanjutnya, beliau mencatat satu hal lagi yang menarik. I-tsing mengatakan bahwa dari monastik-monastik Buddhis yang beliau amati, “di semua negara di Laut Selatan, para bhikkhuni [10] mengenakan semacam pakaian dalam bagian atas, yang meskipun tidak sesuai dengan gaya India, juga disebut sebagai saṅkakṣikā”.[11] Mereka mengenakan lima jubah bhikṣuṇī, empat pertama (termasuk saṅkakṣikā) juga dikenakan oleh para bhikṣu. Ini mengkonfirmasi tentang penyebaran keberadaan monastik wanita Buddhis di kepulauan-kepulauan Indonesia di akhir abad ke-7.


Pertapa, Guru, dan Guru Pembimbing dalam Dunia Kakawin

Sekarang kita bahas tentang dunia kakawin. Ini adalah dunia pujangga-pujangga yang telah berlangsung berabad-abad, dunia puisi-puisi epik India di kerajaan, dan dunia kerajaan itu sendiri dan orang-orang yang tinggal di sana, termasuk bangsawan, pendeta dan monastik pria dan wanita, pelindung kerajaan tanpa kelamin, penasihat dan menteri, dan semua orang lainnya. Ini termasuk orang-orang yang telah mengundurkan diri dari keduniawian ke biara-biara di gunung dan tempat pertapaan sepi.

Melalui puisi kakawin (Sansekerta: kāvya) dan pujangga mereka kawi (kāvi), kita mendapat banyak informasi tentang peran wanita di level-level tertinggi di masyarakat, serta di pinggiran, seperti yang diekplorasi oleh Helen Creese di bukunya Women of the Kakawin World (2014). Banyak yang bisa kita pelajari dari kakawin oleh seorang bhikkhu, pendeta, menteri, dan pujangga kakawin bernama Mpu Prapanca, yang juga adalah penulis cerita sejarah epik Desawarñana, atau Nagarakṛtāgama.[12]

Photo 7: Mengambil Sila dalam Jalan Buddha

Dari Creese, kita belajar bahwa dari abad ke-7 hingga 15 tahun di Jawa, dan hingga abad ke-19 di Bali, ada guru-guru wanita atau ācārī [13] di pengadilan (161, 271, 290), dan juga pegawai-pegawai religius wanita (161), pendeta wanita (162), dan spesialis ritual wanita. Kita lihat kehadiran wanita-wanita ini sebagai guru dan penasihat di pengadilan, dan ada untuk memfasilitasi fase-fase penting dalam hidup yang berhubungan dengan kelahiran, pernikahan, dan kematian.

Kita membaca kata-kata yang mengapresiasi dan memuji “pria dan wanita bijak, sepenuhnya dapat dipercaya, bersumpah setia, guru-guru spiritual, berpenampilan terhormat, dan teguh dalam etika...” (107, f56). Dan kita belajar tentang betapa normal bagi pria dan wanita untuk masuk ke kehidupan pertapaan di asrama keempat, di tahap akhir dalam kehidupan mereka, atau setelah pasangan mereka menikah, sebagai alternatif terhadap satī.[14] Kita juga membaca tentang orang-orang yang memasuki kehidupan monastik sebelum menikah, sebagai alternatif terhadap kehidupan penikahan. Kita temukan bahwa kedua ideal ini telah terbentuk kuat di budaya saat itu seperti dalam cerita-cerita Raja Airlangga dan Putri Mahkota yang menjadi orang suci wanita yang terkenal dengan nama Devi Kili Suci, yang cerita-ceritanya akan disampaikan di artikel mendatang. Banyak sekali referensi-referensi tentang tempat-tempat pertapaan yang terpencil bagi wanita-wanita di sini, serta peran-peran religius wanita di dalam kehidupan spiritual orang-orang.

__

Artikel lainnya mengenai serial "Sejarah Wanita dalam Buddhisme":
1. Bagian 1: 12 Monumen & Situs di Jawa yang Berhubungan dengan Wanita Buddhis & Bhikkhuni
2. Bagian 3: Bhikkhuṇī Manimekalai dari India Selatan ke Jawa
3. Bagian 4: Jaringan Buddhis Internasional,  Kepemimpinan  Bhikkhunīs dan Wanita di Laut Indonesia Selatan pada Abad Ke-5 hingga Ke-7
4. Bagian 5: Misteri Dewi Kili Suci – Putri Mahkota Bhikkhuni Petapa Abad Ke-11 dan Goa Selomangleg

__

Photo credit:
Photo 1: courtesy of Photodharma.net (or Photodharma.de): http://www.photodharma.de/Indonesia/08-Gandavyuha-Level-2/images/Gandavyuha-Level-2-Original-00001.jpg.
Photo 2: courtesy of Photodharma.net (or Photodharma.de): http://www.photodharma.de/Indonesia/04-Jataka-Level-1-Top/images/Jataka-Level-1-Original-00048.jpg.
Photo 3: courtesy of Photodharma.net (or Photodharma.de): http://www.photodharma.de/Indonesia/06-Divyavadana-Level-1/images/Avadana-Level-1-Slide-00098.jpg, Also in the Huntington Archives at: http://huntington.wmc.ohio-state.edu/public/index.cfm?fuseaction=showThisDetail&ObjectID=30030727&detail=large.
Photo 4: courtesy of The Walters Art Museum: http://art.thewalters.org/detail/15031/the-buddhist-goddess-bhrikuti/.
Photo 5: courtesy of the Met Museum: http://www.metmuseum.org/toah/works-of-art/1997.435.
Photo 6: courtesy of the Huntington Archives: http://huntington.wmc.ohio-state.edu/public/index.cfm?fuseaction=showThisDetail&ObjectID=30030832&detail=large.
Photo 7: courtesy of the Huntington Archives: http://huntington.wmc.ohio-state.edu/public/index.cfm?fuseaction=showThisDetail&ObjectID=30032596&detail=large.

Catatan Kaki:
[1] “Bahasa” adalah kependekan dari “Bahasa Indonesia.” Kata ini berasal dari bahasa India bhāsa yang berarti “berbicara” atau “bahasa.”
[2] Pertanyaan diangkat apakah ada asosiasi kuno antara kata wika (atau wikka) dan kata wiku atau wikuni dengan gerakan Wica atau Wicca saat ini. Penggunaan kata-kata ini dalam gerakan kontemporer diduga berasal dari spiritualistas sebelum-Kristiani di Eropa. 
[3] Lihat Alice Collett dan Bhikkhu Anālayo (2014) “Bhikkhave and Bhikkhu as Gender-inclusive
Terminology in Early Buddhist Texts”. Untuk penggunaan kata wiku untuk kedua jenis kelamin, lihat: http://sealang.net/ojed/search.pl?service=dictionary&query=wiku.
[4] Lihat: http://sealang.net/ojed/search.pl?service=dictionary&query=tāpaswī. Kebanyakan kata-kata Indonesia dan Sansekerta-Indonesia yang disebutkan di dua paragraf di atas dapat ditemukan di teks-teks Indonesia kuno dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno ke Bahasa Inggris: http://sealang.net/ojed/.
[5] Megalithic Culture of Indonesia (pp 3-4)
[6] “The Origins of the Maritime Silk Road,” ChinaCulture.org, 17 Jun 2005 (diaskes 20 Aug 2014 di: http://www.china.org.cn/english/features/zhenhe/132334.htm.
[7] Sebagaimana bahasa pali teks-teksDipavaṁsa, Mahāvaṁsa dan Samantapāsādikā.
[8] Sebagaimana Bhikkhu Anandajoti: ada dua kutub bahasa di Asia Tenggara, Pāli di bagian agak utara dan Sansekerta di bagian agak selatan, sehingga penulisan di area agak selatan, bahasa Sansekerta “bhikṣuṇī” mungkin lebih cocok. (korespondensi pribadi 26 Jan 2015).
[9] Sthavira Nikāya" umumnya dikenal sebagai bahasa Sansekerta untuk “Theriya Nikāya” dalam bahasa Pali, yang di kemudian hari dikenal sebagai Theravāda. Lihat catatan Bhikkhu Anālayo "A Note on the Term Theravāda,” Buddhist Studies Review, 2013, vol. 30 no. 2 pp. 216–235. Namun, di kasus ini, ini juga mungkin nama untuk monastik aliran Abhayagirivihāra, yang juga kemudian dikenal sebagai “Mahāyāna Sthāviras” menurut catatan oleh pengembara monastik Buddhis China dan penulis dari abad ke-7 yang bernama Xuanzang (玄奘, Hsüan-tsang).
[10] Beliau biasanya menggunakan singkatan “ni” (尼), atau “monastik wanita”, yaitu “ni+monastic” (尼眾) untuk “biarawati,” yang biasanya adalah kependekan untuk bhikśunī atau bhikkhunī (T54, p0216a). Jelas beliau mengacu pada bhikkhunī, karena kata-kata dan frase-frase ini digunakan untuk monastik Buddhis di China dan juga India, sebagai tanah-tanah di Laut Selatan (南海諸國).  Beliau menyebutkan bahwa istilah yang tepat bagi mereka adalah “尼有五衣”: “‘Ni’ memiliki lima jubah”. Adalah para bhikkhunī berjubah lima dalam Vinaya yang diacu di sini. Lihat: http://www.buddhist-canon.com/history/T540216a.htm
[11] Samkakṣikā (Pāli: sankacchika) Laut Selatan sepertinya serupa dengan pakaian yang dikenakan biarawati thilashin Myanmar. Dalam “Rules Concerning Nun’s Dress and Funeral,” dari catatan I-tsing “A Record of Buddhist Practices XII:79”, dijelaskan sebagai dua cubit (cubit adalah sistem pengukuran kuno) di setiap sisi, dengan pinggirnya yang dijahit bersama dan sudut-sudutnya dijahit masuk satu inci. “Untuk memakainya, seseorang memegangnya dan memasukkan kepala dan pundaknya melaluinya, dan seluruh pundak kanannya terlihat. Jika seseorang tidak mengenakannya, ia seharusnya memakai samkakṣikā biasa seperti yang dikenakan oleh para bhikṣu.. Di kamar sendiri dan di biara, sudah cukup dengan mengenakan kusūlaka dan samkakṣikā. Kusūlaka adalah istilah lain untuk jubah mandi yang dalam teks-Pali disebut udakasātikā bath-robe sebagai bagian kelima dari lima jubah bhikśunī. Panjang kusūlaka adalah empat cubit dan lebarnya dua cubit, dan dua ujungnya dijahit bersama. Panjang ini menutupi paling pendeknya hingga pusar, atau panjangnya hingga empat jari diatas pergelangan kaki. I-tsing mengamati bahwa empat jubah pertama juga biasa dikenakan para bhikṣu. (78)
[13] Kata yang digunakan untuk ācārya wanita dalam genre Kakawin, secara spesifik tapi tidak hanya untuk merujuk para kili dan wṛddha. Menariknya, kita temukan frase deskriptif “wiku wṛddhācārī,” yang sepertinya mengatakan bahwa kata (bhikkhu) juga diaplikasikan untuk guru wanita; yaitu kata wiku mungkin digunakan untuk merujuk monastik wanita dan pria. Lihat: sealang.net/ojed/search.pl?service=dictionary&query=ācārī
[14] Satī (atau sutee), adalah pembakaran diri sukarela oleh janda di dalam api kremasi suaminya, yang menjadi sangat populer di Hinduisme. Terkadang, tidak hanya jandanya, melainkan seluruh anggota keluarga termasuk pembantu dan budaknya.  

__

Ayyā Tathālokā Bhikkhuṇī (sans diacritics Ayya Tathaaloka)



Yang Mulia Bhikkhuṇī  Tathālokā adalah seorang bhikkhuṇī  Theravada asal Amerika. Ia adalah cendikiawan dan guru monastik Buddhis. Ia adalah co-founder LSM Dhammadharini (Women Upholding the Dhamma), Asosiasi Bhikkuni Amerika Utara, dan Aranya Bodhi Hermitage. Ia juga dikenal sebagai penasihat monastik senior untuk Sakyadhita USA dan the Alliance for Bhikkhunis. Ia adalah pemenang Penghargaan 2006 Outstanding Women in Buddhism Award dan cendikiawan yang memberikan paparan di 2007 International Congress on Buddhist Women's Role in the Sangha tentang area spesialisasinya: Sejarah Bhikkhuni Sangha dan Bhikkhuni Vinaya. Ayyā Tathālokā melayani sebagai guru penahbis untuk penahbisan bhikkhuni historis yang diadakan di Western Australia dan di Northern California antara tahun 2009 dan 2014. Ia saat ini bekerja dengan Dhammadharini support foundation untuk mendirikan vihara permanen bagi Dhammadharini Bhikkhuni Sangha di Northern California di utara Area San Francisco Bay Area (lihat dhammadharini.net).

No comments:

Post a Comment