Monday, April 6, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: 3

Bhikkhuṇī Manimekalai dari India Selatan ke Jawa

Oleh Āyyā Tathālokā Bhikkhunī
Perkenalan ke segmen ini: Tathālokā Bhikkhunī and Ādhimuttā Bhikkhunī

Gambar 1: Manimekalai membagikan makanan
dari mangkuk ajaibnya kepada yang membutuhkan.
Di lukisan-lukisan India kontemporer, yang banyak
tersebar karena beliau adalah tokoh yang melegenda,
beliau hampir selalu digambarkan dalam wujud
sannyāsinī Hindu modern daripada monastik Buddhis.
Artikel ketiga di seri “Sejarah Wanita dalam Buddhisme” menceritakan kisah hidup yang suciwati Buddhis bernama Manimekalai. Kisahnya dramatis dan menginspirasi, bagaikan Bunda Theresa versi Buddhis dari abad kedua India Selatan. 

Artikel ini menganalisa penanda-penanda status dan mobilitas para monastik wanita Buddhis Asia Selatan dan Tenggara, lingkungan dan etika keadilan sosial mereka, hak-hak mereka, hubungan dengan politik, dan bagaimana Buddhisme secara proaktif dibandingkan dalam hal kesetaraan jender dengan kepercayaan, doktrin dan agama lain di masa itu. 

Hingga kini, diadakan perayaan Bak Poya di bulan purnama April untuk mengenang kedatangan Sang Buddha di pulau Manipallavam (Nagadipa), tempat yang penting dalam perjalanan hidup Manimekalai. 


Diekstrak dari jurnal Ayyā Tathālokā’s paper “Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors,” ini adalah bagian dari seri dalam menyambut Konferensi Sakyadhita Ke-14 di Borobudur, Indonesia.


__

Bagian 3: Bhikkhuṇī Manimekalai dari India Selatan ke Jawa

Gambar 2: Sampul buku Manimekalai
Kisah Yang Mulia Manimekalai dicatat dan dipopulerkan di abad ke-2 dan ke-3. Dari cerita itu, kita menyadari bahwa para bhikkhunī (Sansekerta: bhikṣuṇī) dari India bagian selatan dan negara kepulauan zaman dulu tidak hanya menikmati kebebasan mobilitas internasional, mereka juga mendapatkan penghormatan, dimana banyak diantara mereka yang adalah guru pembimbing monastik, praktisi dengan pencapaian, dan orang suci.

Manimekalai (Maṇimēkalai, Tamil: மணிமேகலை) adalah salah satu puisi Buddhis berbahasa Tamil yang paling terkemuka di antara epik-epik Literatur Tamil. Puisi ini juga adalah satu-satunya yang masih tersisa dari koleksi tulisan Buddhis berbahasa Tamil dari masa itu yang dulunya tersebar luas.

Gambar 3: Kisah epil Tamil kuno di daun lontar

Manimekalai, yang namanya berarti “girdle of maṇi-jewels,” dinamakan mengikuti nama Dewi Laut, Dewi Manimekhala (dikenal dan dicintai oleh orang Buddhis karena menyelamatkan bodhitsatta dalam cerita Mahājanaka Jātaka).[2]

Gambar 4: Perangko Thai 6 Baht merayakan Hari Magha
Puja, dengan gambar dewi Manimekhala (atas kanan)
menyelamatkan bodhisatta Mahajanaka dari laut ganas.
Manimekalai si manusia adalah anak penari istana. Keluarganya punya sejarah sebagai penari istana di pantai India Selatan. Ia, beserta dengan mentornya, berguru kepada seorang guru dan suciwan Buddhis dari India Selatan bernama Bhikkhu Aravaṇa Aḍigal, dan keduanya memasuki ordo Buddhis meskipun mendapatkan banyak tentangan karena mereka adalah penghibur yang populer.

Ketika Manimekalai mencapai usia dewasa, penerus kerajaan Chola yang bernama Pangeran Udaya-kumāra ingin menikahinya. Ini adalah tawaran yang sayang untuk ditolak oleh seorang anak penari. Tetapi meskipun Manimekalai mencintainya karena mereka pernah menjadi pasangan dalam beberapa kehidupan sebelumnya, ia dengan berani memilih untuk meneruskan hidup membiara demi “pengetahuan bercahaya terang,” dan di kemudian hari ditahbiskan secara penuh sebagai monastik Buddhist.[3]

Seperti kisah hidup orang-orang suci, cerita Manimekalai penuh dengan keajaiban-keajaiban bermoral. Bagian dari pertualangannya adalah ketika ia melarikan diri dari kejaran pangeran yang kasmaran, dibantu oleh Dewi Laut dalam perjalanan ini, dan terdampar di pantai Pulau  Manipallavam di dekat Vihara Tempat Buddha yang saat itu terkenal.

Gambar 5: Lukisan di Vihara Kelaniya di Sri Lanka menampilkan kedatangan Sang Buddha, di tahun kelima saat Bak Poya di purnama April, untuk menghentikan perebutan kursi berharga antara dua klan Naga. Mendekati kursi itu, Manimekhalai melafal, “Menghormat di kaki ia yang telah membebaskan para Naga dari penderitaan mereka,” untuk mengenal kejadian ini.
Gambar 6: Mantan presiden Sri Lanka memberikan penghormatan di pagoda Nagadipa. Pagoda dan vihara di pulau Manipallavam (juga dikenal sebagai Nainativu, Nagatheevu, Nagadipa, dan Manithivu) adalah lokasi paling terkenal untuk penghormatan religius. Hingga sekarang, pulau itu dan Dewi Amba (pelindungnya) diasosiasikan dengan kunjungan Manimekhalai dan Kannaki ke sana.
Dikabarkan bahwa ia dituntun oleh seorang dewa untuk menemukan mangkuk derma yang sangat spesial, Amudhasurabhi, yang mampu mengeluarkan makanan sedekah pada semua orang tanpa hingga.

Gambar 7: Seorang artis
menggambarkan adegan
Manimekhalai memegang
mangkuk ajaib, di film
Amurhasurabhi
Kembali ke sebuah kota Tamil bernama Puhar (juga dikenal sebagai Kāveripattanam), Manimekalai menggunakan mangkuk ajaib dengan baik dan ia diberikan suatu penghormatan oleh Sang Raja yang sangat terkesan oleh keluhuran dan pengetahuan Dharma beliau.

Beliau menggunakan penghormatan ini untuk meminta Raja mengubah penjara menjadi aula tempat pemberian dana makanan publik, menitik-beratkan pada rehabilitasi Dharma dengan memberikan bantuan daripada hukuman. Di aula ini, beliau membagikan makanan setiap hari kepada semua orang yang membutuhkan, sambil mengajarkan Dharma di sana.[4]

Kemudian, ketika mendengar kabar tentang kelaparan akibat kekeringan di Jawa (dalam bahasa Tamil dinamai Chava, Chavaka atau Savaka-nadu)[5] ia berangkat ke ibukota Nagapuram, dimana ia mengajari Raja Punyarāja, putra Bhūmicandra. Mereka memiliki hubungan karma. (Mangkuk yang beliau warisi itu dulunya adalah milik Punyarāja di kehidupan lampaunya).

Saat itu, keharuman nama  Manimekalai sudah tersebar luas sehingga saat pertama kali bertemu, menteri raja langsung mengenalinya. Menteri, yang telah berpergian ke luar negeri, telah mendengar tentang  Manimekalai dan memperkenalkannya dengan berkata:

“Tak ada yang menandingi wanita ini di seluruh Jambudvipa. Ia adalah bhikkhuni dengan kesucian dan moral hebat yang datang dari Kāveripattanam, dan memiliki kekuatan luar biasa dan ajaib.”[6]

Ajaran Manimekalai pada Punyarāja di Jawa adalah tentang bentuk-bentuk keadilan sosial dalam kebaikan dan cinta kasih untuk semua, berfokus pada menyediakan kesejahteraan material pada semua rakyatnya. [7] Dalam hal ini,  Manimekalai mendefinisi moral (அறம் or sīla), sebagai kemanusiaan dimana makanan, pakaian dan tempat tinggal tersedia untuk semuanya:

அறமெனப் படுவது யாதெனக்கேட்பின்
மறவாது இதுகேள் மன்னுயிர்க்கு எல்லாம்
உண்டியும் உடையும் உறையளும் அல்லது
கண்ட தில்லை.

“Jika seseorang bertanya apakah bentuk tertinggi dari derma, ingatlah bahwa itu adalah merawat semua makhluk hidup dengan makanan dan pakaian dan tempat untuk tinggal dengan aman.”[8]

Gambar 8: Lambang Asosiasi Kesejahteraan
Manimekhalai saat ini di pulau Nainaitheevu
(Manipallavam), di mana Manimekhalai masih
terus dikenang
Ajaran Manimekalai dan ceritanya menitik-berat pada sebab-akibat kemoralan, dan bahwa moral baik atau buruk tidak hanya diteruskan dari satu kehidupan ke kehidupan selanjutnnya, tetapi juga memiliki manfaat lingkungan atau konsekuensi yang dapat dilihat di alam—suatu pelajaran besar untuk kita hari ini.[9]

Ia juga mengajarkan fundamental ajaran-ajaran Dharma tentang ketidak-kekalan dan berlalunya segala fenomena material dan emosional, penderitaan yang terlibat dalam apapun yang tidak permanen, dan ketiadaan-diri dalam semua hal berkondisi.

Karena kemampuan dan pemahamannya yang telah berkembang, ia mampu melihat dan mengetahui dengan jelas kebenaran dari karma dan kelahiran kembali, dan banyak dari pemahaman, keputusan dan tindakan beraninya, dan ajaran-ajarannya yang disampaikan dalam biografi epiknya bertumpu pada kebenaran-kebenaran ini.

Dalam kisah epiknya, ia pergi sebagai suciwan ke Jawa, pulau Manipallavam di dekat pantai Sri Lanka, dan juga ke kampung halamannya India. Berbagai tulisan dari abad kedua sebelum masehi menyebut tentang bhikkhuni-bhikkhuni lokal di sepanjang rute perdagangan India dan dekat pelabuhan-pelabuhan yang berhubungan aktif dengan Indonesia. Ini, dan dengan tiadanya larangan untuk perjalanan laut bagi monastik Buddhis (dibandingkan penganut Jain), memperkuat dugaan adanya perjalanan dan penyebaran monastik Buddhis pria dan wanita di rute-rute laut dan darat.

Gambar 9: Peta India menunjukkan Bodhgaya dan Kalinga bersama dengan pulau-pulau selatan India dan utara Sri Lanka, termasuk Jaffna, Dambakola Patuna, dan Nagadipa
Vihara Buddhis yang dikunjungi Manimekalai di utara Sri Lanka, yang sangat dekat dengan pelabuhan Jaffna di Dambakola, sudah lama dipercaya sebagai tempat tibanya Sanghamitta Theri di Sri Langka dari India.

Tercatat banyak perjalanan dan pertukaran monastik Buddhis di antara negara-negara ini: India, Sri Lanka, Indonesia, dan China. Diketahui bahwa bhikkhuni India dan Sri Lanka sangatlah aktif secara internasional dan berpergian dan melakukan perjalanan laut untuk kegiatan misionaris Sangha Dharmadhuta, sebagaimana bhikkhuni-bhikkhuni ini melakukan dua perjalana ke China demi kepentingan ordinasi rangkap-dua bagi bhikkhuni-bhikkhuni China, yang telah tercatat dengan baik, dan telah dipublikasikan secara luas belakangan ini. Bhikkuni-bhikkhuni Sri Lanka juga tercatat telah berpergian ke India dan Tibet, dan catatan menunjukkan ada seorang ratu dari Kalinga yang menjadi bhikkhuni (belum terverifikasi apakah itu adalah Kalinga di Indonesia atau Kalinga di India) yang ditahbiskan di Sri Lanka.

Gambar 10: Patung yang menggambarkan kedatangan Sanghamitta Therani dengan kapal di pelabuhan Dambukola. Patung ini ada di wihara Sanghamitta, Jaffna.

Gambar 11: Dambakola Patuna, suatu pelabuhan kuno di Sri Lanka,  tempat Sanghamitta Therani berlabuh saat membawa anak pohon Sri Maha Bodhi ke Anaradhapura

Ketika Manimekalai kembali dari kegiatan misionaris Dhamma dan bantuan luar negeri untuk kembali ke kampung halamannya, India, dengan menyamar sebagai pertapa pria, ia belajar dan menjadi guru bagi berbagai ajaran religius dan spiritual non-Buddhis, filosofi dan praktik di zamannya, seperti apa yang Sang Buddha sendiri lakukan sebelum mengalami pencerahan.

Gambar 12: Manimekhalai digambarkan dalam bentuk dewi feminim dengan mangkuk tanpa-habis, lotus biru, dan latar tempat ibadah Hindu dan Buddha yang diasosiasikan dengannya di Pulau Nagadipa (Manipallavam). Lagi-lagi, lihat tendensi seni pra-modern—saat selama beberapa abad tidak ada Sangha Bhikkhuni di India—untuk menggambarkannya dalam tampilan seorang sannyāsinī, daripada seorang bhikkhunī.
Merefleksikan ajaran-ajaran ini terhadap poin-poin dalam ajaran Buddha yang unik dan mendobrak, ia akhirnya mencapai transmisi akhir dari penahbis dan gurunya Aravaṇa Aḍigal.[10] Dilihat di sini bahwa dogma dan praktek-praktek tradisi agama-agama bukan-Buddhis lainnya memaksanya untuk mengadopsi bentuk pria untuk mendapatkan akses penuh untuk ajaran dan latihan—tapi ini tidak terjadi dalam Buddhisme. Hal ini menjadi poin promosi utama bagi Buddhisme awal yang dipopulerkan di cerita-cerita klasik India selatan sejak awal abad-abad masehi.

Gambar 13: Ilango Adigal (இளங்கோ அடிகள், the “Prince Ascetic”), seorang bhikkhu dari abad kedua dan seorang penulis tentang Manimekhalai bernama Satthanar (சாத்தனார்). Disebutkan bahwa Ilango menarasikan cerita Manimekhalai kepada Satthanar, atau sebaliknya meminta Satthanar menarasikan cerita Manimekhalai kepadanya.
Yang Mulia Manimekalai menghabiskan sisa hidupnya dan meninggal sebagai seorang bhikkhuni, dan meskipun ia hidup beberapa abad setelah Sang Buddha, gelar tertinggi Arachchelvi bagi murid Buddha wanita utama yang tercerahkan disematkan padanya, sebagaimana pada arahat bhikkhuni/bhiksuni.

__

Artikel lainnya mengenai serial "Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia":
1. Bagian 1: 12 Monumen & Situs di Jawa yang Berhubungan dengan Wanita Buddhis & Bhikkhuni
2. Bagian 2: Bhikkhuṇīs dan Pertapa Perempuan Indonesia: Kilasan Sejarah dan Survei Terminologi
3. Bagian 4: Jaringan Buddhis Internasional,  Kepemimpinan  Bhikkhunīs dan Wanita di Laut Indonesia Selatan pada Abad Ke-5 hingga Ke-7
4. Bagian 5: Misteri Dewi Kili Suci – Putri Mahkota Bhikkhuni Petapa Abad Ke-11 dan Goa Selomangleg

__

Image credit:
Gambar 1: sumber dari Eluthu.com: http://eluthu.com/images/poemimages/f15/vzeln_158581.jpg.
Gambar 2: sumber dari Astralint.com: http://www.astralint.com/images/bookimage/9788189233372.jpg
Gambar 3: sumber dari Wikipedia Commons: http://en.wikipedia.org/wiki/Manimekalai#/media/File:Tamil_palm_leaf3%7E300_AD.jpg
Gambar 4: sumber dari http://3.bp.blogspot.com/-novPpiJQw3w/U0jaOm0E70I/AAAAAAAAIJs/JY5sALxDNJE/s1600/scan0005.jpg
Gambar 5: sumber dari:  http://viyaasan.blogspot.com/2013/09/blog-post_715.html.
Gambar 6: sumber dari Sri Lankan Columbo Page:  http://www.colombopage.com/archive_11/Jan18_1295294319CH.php
Gambar 7: sumber dari Chennai 365: http://chennai365.com/tamil/Events/Amudhasurabhi/.
Gambar 8: sumber dari: http://nayinai.com/sites/default/files/Mekalai-1.jpg.
Gambar 9: sumber dari: Chaminda Weerathunga
Gambar 10: sumber dari: Chaminda Weerathunga
Gambar 11: sumber dari blog the Visit Jaffna : http://visit-jaffna.blogspot.com/2011/12/top-10-places-to-visit-in-jaffna.html.
Gambar 12: sumber dari: http://viyaasan.blogspot.com/2013/09/blog-post_715.html.
Gambar 13: sumber dari Wikipedia Commons: http://en.wikipedia.org/wiki/Ilango_Adigal#/media/File:Puhar-ILango.jpg.

Catatan kaki:
[1] Lihat Manimekhalai: Penari dengan Mangkuk Ajaib oleh Saudagar Pangeran Shattan (Chāttanār) 1989.
[2] Lihat http://skn.ac.th/skl/project/chanok92/ki26.htm.
[3] Hisele Dhammaratana 2008 (edisi online, 3. Bhikkhuni Manimekalai)
[4] Dalam gambar-gambar kontemporer India Selatan, Manimekalai sering digambarkan dengan jubah jingga, dengan rambut digulung tinggi dan memakai perhiasan seperti sannyasini India kontemporer. Lihat: http://dosa365.wordpress.com/2012/09/01/24/manimekalai/.
[5] Di Manimekalai dan asosiasi antara tanah-tanah Jawa, Chava, Chavaka dan Savakandu lihat Chattergee 1933 (hal 27), Nandakumar 1987 (hal 7) dan Kanakasabhai (hal 11).
[6] Viswanatha 2009 (hal 177). Terjemahan Viswanatha berbunyi: “Tidak ada yang menyamai gadis ini di seluruh Jambudvipa. Ia adalah seorang biarawati dengan norma dan nilai yang datang dari Kāveripattanam, dan memiliki kekuatan-kekuatan luar biasa dan ajaib.”
[7] Rao 2007 (hal 138)
[8] Seperti yang diterjemahkan oleh Dr. C.R. Krishnamurti dalam bukunya “Tamizh Literature Through the Ages (தமிழ் இலக்கியம் - தொன்று தொட்டு இன்று வரை),” di 4. The Era of the Thamizh Epics - காப்பிய காலம், di web: http://tamilnation.co/literature/krishnamurti/04epic.htm (diakses on 4 April 2015).
[9] Pelajaran ini memperingatkan tentang perilaku bermoral atau tidak bermoral memiliki dampat pada lingkungan, yaitu pada iklim dan cuaca, yang mungkin dipercayai atau tidak dipercayai di masa Manimekalai, tapi sepertinya gampang untuk dilihat dan dimengerti sekarang ini.
[10] Rao 2007 (hal 140)

__

Ayyā Tathālokā Bhikkhuṇī (sans diacritics Ayya Tathaaloka)

Yang Mulia Bhikkhuṇī  Tathālokā adalah seorang bhikkhuṇī  Theravada asal Amerika. Ia adalah cendikiawan dan guru monastik Buddhis. Ia adalah co-founder LSM Dhammadharini (Women Upholding the Dhamma), Asosiasi Bhikkuni Amerika Utara, dan Aranya Bodhi Hermitage. Ia juga dikenal sebagai penasihat monastik senior untuk Sakyadhita USA dan the Alliance for Bhikkhunis. Ia adalah pemenang Penghargaan 2006 Outstanding Women in Buddhism Award dan cendikiawan yang memberikan paparan di 2007 International Congress on Buddhist Women's Role in the Sangha tentang area spesialisasinya: Sejarah Bhikkhuni Sangha dan Bhikkhuni Vinaya. Ayyā Tathālokā melayani sebagai guru penahbis untuk penahbisan bhikkhuni historis yang diadakan di Western Australia dan di Northern California antara tahun 2009 dan 2014. Ia saat ini bekerja dengan Dhammadharini support foundation untuk mendirikan vihara permanen bagi Dhammadharini Bhikkhuni Sangha di Northern California di utara Area San Francisco Bay Area (lihat dhammadharini.net).

No comments:

Post a Comment