Ayyā Tathālokā Bhikkhunī
Ini adalah artikel keempat dari seri “Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia.” Kali ini kita melihat bagaimana jaringan Buddhis internasional telah berkembang dengan mantap antara India, Indonesia, Sri Lanka dan China.
Kita akan membahas periode ketika Buddhisme tumbuh di Indonesia, dan jaringan dan pembelajaran Buddhis internasional tumbuh pesat. Pemimpin-pemimpin wanita yang berkuasa telah menyokong beasiswa Buddhis dan Sangha Bhikkhunī tersebar luas dan berdiri kokoh.
Diekstrak dari jurnal Ayyā Tathālokā’s paper “Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors,” ini adalah bagian dari seri dalam menyambut Konferensi Sakyadhita Ke-14 di Borobudur, Indonesia.
__
Jaringan Buddhis Internasional, Kepemimpinan Bhikkhunīs dan Wanita di Laut Indonesia Selatan pada Abad Ke-5 hingga 7
Meskipun sangat besar kemungkinan bahwa ajaran-ajaran Buddhis dan anggota-anggota monastik telah mencapai kepulauan Indonesia hampir 1,000 tahun sebelumnya—karena Jalur Sutera Laut yang aktif dan diketahui bahwa para anggota monastik Buddhis berpergian sepanjang jalur-jalur ini dengan laut—tapi kita baru menemukan bukti visual tentang hal ini yang berpenanggalan dari abad ke-2 hingga ke-5 dari Era Umum dalam bentuk patung-patung dan benda-benda arkeologis Indonesia yang masih ada hingga hari ini.
![]() |
Gambar 1: Buddha Tembaga dari Sulawesi Barat dalam gaya Amaravati atau Anuradhapura dari abad kedua dan kelima |
Patung-patung ini mengilustrasikan dengan lebih jelas hubungan antara Indonesia dengan India Selatan dan Sri Lanka di masa awal, seperti yang disebutkan dalam cerita “Bhikkhuni Manimekhalai Pergi ke Java ” yang sudah kita posting sebelumnya. Tak sulit untuk disadari ketika melihat peta-peta Jalan Sutera Laut, bahwa Indonesia punya hubungan aktif dengan India Selatan, Barat dan Timur Laut, serta Sri Lanka, China dan Korea.
Menurut catatan autobiografi bikshu peziarah dari China bernama Fa-hsien (Fǎxiǎn, 法顯/法显), ketika ia mendarat di suatu tempat di kepulauan Indonesia di awal abad kelima, saat kapalnya keluar jalur akibat tiuapn angin hingga teralihkan dari perjalanan Ceylon (Sri Lanka) dan China, ia hanya bertemu dengan beberapa orang Buddhis—ada tapi tidak banyak. Tidak diketahui pasti pulau mana ia berlabuh, tetapi diduga kemungkinan adalah suatu tempat di Pulau Jawa. Ia mungkin tidak bertemu dengan kerajaan Jawa bernama Tarumanegara (Dharmanagara)[1], yang berdiri sejak abad ketiga hingga kelima di Baturaja (bagian timur Jakarta), dimana ditemukan struktur-struktur berbentuk stupa dan lempeng-lempengan Buddhis.[2]
![]() |
Gambar 2: Jalur Sutra Laut oleh Bhikkhu Ānandajoti menunjukkan jalur-jalur laut antara Indonesia, China, Sri Lanka, India dan lebih jauh lagi, dari tahun 200 hingga 800 |
Dukungan Internasional oleh Guru Besar Nasional Jawa untuk Penahbisan Bhikkhunī
Dari Jawa, Yang Mulia Guṇavarman berpergian ke Sri Lanka dan China dimana ia banyak mengajar ke mana-mana, menerjemahkan Lima Sila dan Dua-puluh-dua Praktek Umat Awam, Disiplin untuk Monastik Pemula, Dharmaguptaka-bhikṣuṇī-karman (四分比丘尼羯磨法), serta sutra-sutra lain yang berhubungan dengan penahbisan bhikkhunī.
![]() |
Gambar 5: Terjemahan bahasa China kuno tulisan tangan dengan teks Dharmaguptaka Vinaya |
![]() | ||
Gambar 6: Digital kontemporer CBETA Dharmaguptaka-bhiksuni-karman (四分比丘尼羯磨) teks ada di http://www.cbeta.org/result2/normal/ T22/1434_001.htm |
![]() |
Gambar 7: Bhikkhunī-bhikkhunī di Nan Lin Southern Forest Monastery (南林寺) di Taiwan modern saat sedang menyambut kedatangan seorang guru besar Vinaya (律師) |
Memasuki abad ke-7, kita terus melihat hubungan antara Indonesia dan dunia Buddhis lainnya yang kemudian dikenal dengan nama “Asia,” dan kita terus melihat kehadiran bhikkhunī-bhikkhunī. Di Sumatra, Dharmakīrti, seorang pangeran Śrīvijayan dari Dinasti Śailendra, ditahbiskan sebagai monastik Buddhis dan mencapai posisi sebagai cendikiawan Buddhis di Śrīvijaya. Orang-orang Śailendra adalah dinasti yang penting yang muncul di Indonesia; Śailendra (śaila+indra) berarti "Tuan dari Gunung-gunung.” Śrīvijaya menjadi jaringan penting dan kuat dalam hubungan antar negara. Dharmakīrti pergi ke India dimana ia menjadi guru di Universitas Nālanda yang terkenal, dan ia membangun pengetahuan tentang Dignāga dalam logika Buddhis.[7] Kehadiran para bhikkhunī dicatat oleh para peziarah di Nālanda, dan masih dapat dilihat berbagai tulisan pahat donasi di beberapa vihara bhikkhuni di Valabhi, yang serupa dengan Nalanda adalah pusat pembelajaran Buddhis yang terkenal dan ramai di Gujarat.[8] Gujarat juga adalah daerah yang mempunyai koneksi-koneksi maritim dengan Indonesia melalui pelabuhan Sopora (lihat peta). .
Ratu Shima menyokong beasiswa Buddhis
Ratu Sima diketahui telah membangun empat kompleks vihara yang tertua yang ditemukan di Indonesia. Letaknya di Dataran Tinggi Dieng and Gedung Songo (di puncak bukit di atas stasiun Ambarawa dari masa Belanda). Ia mendukung beasiswa Buddhis internasional di kepemimpinannya, dan Hui Ning adalah salah satu dari 56 monastik yang diketahui telah melakukan perjalanan laut ke negaranya pada masa itu.[10]
![]() |
Gambar 9: Patung Buddha Kalinga dari masa Ratu Sima |
![]() |
Gambar 11: Lukisan oleh artis masa kini mengenai seorang cendikiawan monastik peziarah dari China kuno. Ini adalah hadiah dari Duta Besar China untuk Pahangala, Sri Lanka |
Bhikṣuṇī-Bhikṣuṇī Mūlasarvāstivāda di Indonesia Abad Ke-7
Yijing mencatat adanya leibh dari 1,000 monastik mulia di Bhoga, ibukota Śribhoga, yang saat itu yang paling banyak adalah anggota Mūlasarvāstivāda Nikāya, tetapi ada beberapa anggota Sthavira Nikāya.[11] Yijing mengatakan tentang anggota monastik Buddhis yang ia amati, “di semua negara-negara di Laut Bagian Selatan, bhikṣuṇī-bhikṣuṇī [12] mengenakan pakaian dalam bagian atas yang khusus, yaitu, meskipun tidak sesuai dengan gaya India, pakaian ini juga dinamai saṅkakṣikā”.[13] Mereka mengenakan lima jubah bhikṣuṇī. Dari lima jubah ini, empat diantaranya (termasuk saṅkakṣikā) juga dikenakan oleh para bhiksu. Catatan ini mengkonfirmasi bahwa kehadiran monastik wanita Buddhis tersebar luas di pulau-pulau Indonesia di tanah Srivijaya pada akhir abad ke-7.
Pemberkatan
Di awal abad kedelapan, guru besar Śantideva bernama Bodhicaryāvatāra memberikan pemberkatan pada para bhiksuni:
Lābhinyaḥ santu bhikṣuṇyaḥ kalahāyāsavarjitāḥ
bhavantv akaṇdaśīlāś ca sarve pravrajitās tathā
Semoga para bhiksuni sejahtera, bebas dari perselisihan dan bahaya;
Semoga mereka dan semua wanita yang adalah pravrajitā (termasuk śrāmaṇerīkā) menjaga sila kemoralan tanpa henti
bhavantv akaṇdaśīlāś ca sarve pravrajitās tathā
Semoga para bhiksuni sejahtera, bebas dari perselisihan dan bahaya;
Semoga mereka dan semua wanita yang adalah pravrajitā (termasuk śrāmaṇerīkā) menjaga sila kemoralan tanpa henti
__
Artikel lainnya mengenai serial "Sejarah Wanita dalam Buddhisme":
1. Bagian 1: 12 Monumen & Situs di Jawa yang Berhubungan dengan Wanita Buddhis & Bhikkhuni
2. Bagian 2: Bhikkhuṇīs dan Pertapa Perempuan Indonesia: Kilasan Sejarah dan Survei Terminologi
3. Bagian 3: Bhikkhuṇī Manimekalai dari India Selatan ke Jawa
4. Bagian 5: Misteri Dewi Kili Suci – Putri Mahkota Bhikkhuni Petapa Abad Ke-11 dan Goa Selomangleg
__
Image credit:
Gambar 1: Sumber New York Public Library’s Digital Gallery. Web: http://images.nypl.org/index.php?id=1128493&t=w.
Gambar 2: Peta sumber Ven. Ānandajoti. For more maps of the ancient Buddhist world see.
Gambar 3: Courtesy of trrusty.com “When the Lotus Bloom in Batujaya.” web: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjicGMdhgukQ77Ze7a7oONkdDcgDTWbUv2S4RQt9ZJzllZkUx-gijZYmK5h5FgJQC_C8jVtJ-U-NUhM56-fxMHSZrn3aqsLY6HjW_Hys_YOpPiq0l8V9CQc7DZpasLkcQdX3BdTbmeE21w/s1600/Candi-Jiwa-1.jpg.
Image 4: Sumber uhdmm.com, weblink: http://new500arhat.files.wordpress.com/2013/09/421-e5ae9ae88ab1e887b3e5b08ae88085.jpg.
Gambar 5: Sumber baohuasi.org, web: http://www.baohuasi.org/UploadFile2011/ea_201136202537.jpg.
Gambar 6: Sumber http://www.cbeta.org/result2/normal/T22/1434_001.htm.
Gambar 7: Sumber nanlin.org, web: http://www.nanlin.org/html/07/show.aspx?num=56&kw=.
Gambar 8: Sumber ratushima567.wordpress.com, web: https://ratushima567.wordpress.com/2014/03/05/amazing-shima-show-2/aah26/.
Gambar 9: Sumber: ruanasagita.blogspot.com. Web: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkiMWJMABRFtDPFVOofMNh2cpelkPHR9sbnNhcQVkFbinXlEx8zn4iFMK4l6fH7L9y_Aa-AwRHCe6XOmSikIKpBOZ3vDospmE4dSFsujYb-uqnzffPuC_9zZaqa7at-P7WxEmD7HdAhCWK/s640/Ratu+Sima+dari+Kerajaan+Kaling.jpg
Gambar 10: Sumber republiktravel.com, web: http://republiktravel.com/wp-content/uploads/2014/11/dieng-plateau-1024x625.jpg.
Gambar 11: Sumber s.dhammika.blogspot.com, web: http://sdhammika.blogspot.com/2014/05/fa-heins-cave-making-of-myth.html.
Gambar 12: Sumber takazawa-2nd.blogspot.com, web: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg23qacIZeAqWbyzcDCT_ahlRJjd4xZ9otLTFb4Av8-yg9J3QRUGHM6BKmUPRzyshjWQjCvuG0n5Vq03acUQ9VsmpxyjaiFGEXwedkPRyzM-5WHhTafgPHsroSICo2EGK91fBM4DHA0nNv8/s320/blogger.jpg.
Catatan Kaki:
[1] Ada pertanyaan apakah nama ini sama dengan “Dharmanagara” di sumber-sumber lain. Ini mungkin adalah kerajaan India Tamil, di bawah kepemimpinan raja Purnawarman yang disebut-sebut di semua tujuh momumen Pallava/ prasasti Sansekerta, menurut Ida Indawati Khouw (2000): http://www.oocities.org/tamilhindu/indonesia1.html (accessed 28 Nov 2014)
[2] “The oldest Buddhist structure in Indonesia probably is the Batujaya stupas at Karawang, West Java, dated from around 4th century. ” Wikipedia’s Buddhist Art “Indonesia”: http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_art (accessed 28 Nov 2014)
[3] Menurut Takukusu (1959:57), “Rangkulan geografis dari sekolah (aliran) Sarvāstivādan jauh lebih luas daripada sekolah-sekolah lain karena aliran ini ditemukan di India, di bagian utara India, Persia, Asia Tengah, serta Sumatra bagian Selatan, Jawa, Cochin-China dan seluruh China...[Aliran ini] erat berkaitan dengan Aliran Theravāda; aliran Sarvāstivādan kemungkinan pertama-tama terpisah dari aliran Theravāda sebelum Konsili Asoka...Teks Abhidharma dari aliran ini...kemungkinan dikompilasi seawal-awalnya pada tahun 200 Masehi.”
[4] Yang Mulia Guṇavarman menaiki kapal saudagar Nandi untuk perjalanan-perjalanannya. Kapal-kapal saudagar Nandi telah menjadi terkenal di tahun-tahun itu karena telah menjadi moda transportasi para bhikkhuṇī dari Sri Lanka ke China untuk membentuk Penahbisan Ganda bagi para bhikkhuṇī China.
[5] Dignity and Discipline, Appendix, “Can An Extinct Bhikkhunī Sangha Be Revived,” oleh The Original Mingun Jetawan Sayadaw dari Myanmar, diterjemahkan oleh Bhikkhu Bodhi, catatan akhir 29: “Seorang ahli Vinaya di masa lampau dari Kashmir, bernama Guṇavarman, yang pada abad kelima memimpin penahbisan bhikkhuṇī-bhikkhuṇī oleh hanya bhikkhu sangha, mengekspresikan opini: “as the bhikṣuṇī ordination is finalized by the bhikṣu sangha, even if the ‘basic dharma’ (i.e., the ordination taken from the bhikṣuṇī sangha) is not conferred, the bhikṣuṇī ordination still results in pure vows, just as in the case of Mahāprajāpatī.”
[6] Rosen, bagian. 25, p 22 re p. 1070 b 3-4
[7] Menurut Peter Skilling dalam tulisannya pada tahun 1997 “Dharmakīti’s Durbhāloka and the Literature of Srīvijaya,” penalar Dharmakīrti dan penulis dari Durbodhāloka bukanlah orang yang sama.
[8] Lihat tulisan Skilling “A Note on the History of the Bhikkhunī Saṅgha (II): The Order of Nuns After the Parinirvaṅa, ” p 32, WFB Review, Vol. XXX, no. 4 - Vol. XXXI, no. 1.
[9] Kalinga dikatakan telah dinamakan berdasarkan imigran-imigran India yang melarikan diri dari Kalinga, India, yang berada di daerah pinggir laut Odisha (Orissa) dan Andhra di Andhra Pradesh. Orang-orang India terkadang dipanggil kalinga di Malaysia. Ada pertanyaan apakah Ratu Sima telah dicampurkan dengan cerita Arab tentang Ratu Sheba. Ada juga pertanyaan mengenai hubungannya dengan kalyāṇamitra bhikṣuṇī “Sima of the Lion’s Roar” yang mengajar di taman raja di Hutan Kalinga dari Gandhavyūha “Entering the Dharma Realm” dari satu bab di Avataṁsaka Sūtra.
[10] Didirikan oleh imigran Vengian dari Salunkayana (Andhra Pradesh) di India pada abad keempat, yang melarikan diri dari kehancuran dinasti mereka.
[11] “Sthavira Nikāya" umumnya diduga adalah nama Sansekerta dari bahasa Pali “Theriya Nikāya,” yand di kemudian hari dikenal dengan nama Theravāda. Lihat tulisan Bhikkhu Anālayo "A Note on the Term Theravāda,” Buddhist Studies Review, 2013, vol. 30 no. 2 pp. 216–235. Namun, dalam kasus ini, ini mungkin juga nama dari monastik aliran Abhayagirivihāra, yang juga kemudian dikenal sebagai “Mahāyāna Sthāviras” menurut penulis dan peziarah monastik abad ketujuh lainnya yaitu Xuanzang (玄奘, Hsüan-tsang).
[12] Ia biasanya menggunakan kependekan “ni” (尼); atau “monastik wanita” yaitu “ni+monastik” (尼眾), kata-kata kependekan umum untuk bhikśunī atau bhikkhunī (T54, p0216a). Jelas ia merujuk pada para bhikkhunī, karena kata-kata dan istilah-istilah ini digunakan untuk bhikkhunīs Buddhis China dan India, serta untuk daerah Laut Selatan (南海諸國). Istilah yang tepat bagi mereka, katanya, adalah “尼有五衣”: “‘Ni’ dengan lima jubah”. Ia mengacu pada lima jubah bhikkhunīs dalam Vinaya. Lihat : http://www.buddhist-canon.com/history/T540216a.htm.
[13] Samkakṣikā (Pāli: sankaccika) dari Laut Selatan sepertinya serupa dengan pakaian biarawati thilashin di Myanmar saat ini. Dalam “Peraturan Mengenai Pakaian Biarawati dan Pemakaman,”dari catatan I-tsing “A Record of Buddhist Practices XII:79,” dideskripsikan ada dua cubit di setiap sisi, yang pinggirnya dijahit bersama dan sudutnya dijahit masuk satu inci. “Untuk memakainya, seseorang mengangkatnya, memasukkan kepala dan satu bahu melaluinya, memperlihatkan seluruh bahu kanan. Jika seseorang tidak mengenakannya, orang itu seharusnya memakai samkakṣikā biasa yang serupa dengan yang dipakai para bhikṣu. Di kamar sendiri dan di biara, cukup mengenakan kusūlaka dan samkakṣikā. Kusūlaka adalah istilah lain dari teks-Pali pakaian-mandi udakasātikā sebagai jubah kelima dari lima-jubah bhikśunī. Panjang kusūlaka adalah empat cubit dan lebarnya dua cubit, dan ujungnya dijahit bersama. Panjangnya paling pendek hingga ke pusar atau paling panjang hingga empat jari di atas lutut. I-tsing mengamati bahwa empat jubah pertama biasanya dikenakan oleh para bhikṣu. (78)
__
No comments:
Post a Comment