Monday, March 2, 2015

Ketakutan Terhadap Dunia: Menyalahartikan Welas-asih dengan Keputus-asaan

Bhiksuni Thubten Chodron

Banyak sekali berita akhir-akhir ini, yang mengarahkan orang-orang yang peduli untuk merefleksi keadaan dunia saat ini. Namun umumnya kita tidak melakukannya dengan cara yang bijak. Bagi banyak orang, refleksi ini menciptakan penderitaan mental, dan pikiran kita menjadi ketat dan ketakutan.

Di dalam ketakutan itu terdapat banyak “I-grasping” atau “kemelekatan-saya”, yang kadang-kadang kita salah-artikan sebagai welas-asih. Kita pikir, “Ketika saya melihat dunia, dan melihat begitu banyak penderitaan [artinya] saya merasa welas-asih pada orang-orang.” Tapi sebenarnya kita sengsara, kita merasakan suatu rasa putus asa, takut, depresi dan sebagainya. Ini bukanlah welas-asih sungguhan. Dengan tidak mengenali ini, ada orang yang takut merasa welas-asih karena mereka menyangka welas-asih hanya membuat kita merasa sengsara. Ini adalah pemikiran yang berbahaya karena dapat membuat kita menutup hati terhadap orang lain.

Welas-asih berfokus pada penderitaan orang lain, tetapi kita merasa putus-asa dan ketakutan, kita berfokus pada penderitaan kita sendiri. Oleh karena itu, merasa depresi ketika melihat penderitaan di dunia bukanlah indikasi dari welas asih. Melainkan kita jatuh dalam kesengsaraan pribadi. Sangat berguna untuk menyadari hal ini ketika kita sepertinya masuk ke dalam kondisi putus-asa.

Pandangan Tak Simetris

Ketika Yang Mulia Dalai Lama ada di Seattle pada tahun 1993, dan banyak jurnalis datang ke ceramah publiknya, ia mengatakan pada mereka, “Kalian melakukan banyak hal baik. Kadang kalian punya hidung yang tajam. Kalian mencari semua hal nakal yang dilakukan orang dan menunjukkannya. Itu bagus.” Dengan kata lain, pres membongkar skandal dan lainnya, dan dengan itu menyetop mereka.

Lanjutnya, “Tetapi terkadang anda terlalu berfokus pada yang negatif. Berapa orang yang terbunuh di satu kota setiap hari? Kadang tak seorang pun; kadang satu orang. Tapi apa yang terjadi ketika satu orang terbunuh di satu kota? Itu masuk ke halaman utama, di semuanya. Semua orang menjadi sedih tentang hal itu! Tetapi hal-hal baik yang dilakukan orang pada yang lainnya jarang muncul di halaman utama.”

Benar, bukan? Kadang-kadang ada pendonor yang menyumbangkan uang kepada badan sosial di surat wasiatnya, dan itu masuk ke halaman utama. Tapi lebih seringnya adalah media menitikberat pada hal-hal yang membuat kita takut. Ketika kita membaca koran atau menonton berita, kita mendapat pandangan yang melenceng tentang dunia, karena kita hanya melihat hal-hal buruk yang dilakukan orang pada yang lain. Berita tidak melaporkan hal-hal baik, dan ada begitu banyak kejadian baik itu.

Melihat Kebaikan Orang Lain

Jika anda melihat satu kota, dalam sehari, berapa orang yang ditolong oleh petugas medis? Sangat banyak! Berapa banyak orang yang mendapat bantuan dari guru-guru hari itu? Begitu banyak orang dewasa dan anak-anak! Berapa orang yang membantu orang dengan memperbaiki mobil mereka, telpon mereka, komputer mereka? Jika kita melihat kota atau desan manapun, orang-orang senantiasa membantu yang lainnya. Kita tidak menghargai ini dan tidak menyadarinya. Kita perlu meluangkan lebih banyak waktu merefleksi tentang kebaikan yang kita terima dari orang lain setiap hari, serta kebaikan yang kita lihat secara umum. Dunia kita bisa berjalan hanya karena orang-orang saling membantu. Tak satupun dari kita bisa bertahan sendirian.

Menjaga Pandangan yang Seimbang

Saran saya adalah jika kita menderita ketakutan dan keputus-asaan mengenai kondisi dunia, kita punya pandangan yang tak simetris dan tak seimbang tentang apa yang tengah terjadi. Tentu saja ini tak berarti kita bilang, “Oh, segalanya indah dan cerah. Tidak ada masalah apapun.” Itu tidak benar. Tetapi kita dapat melihat bahwa ada landasan kemurahan-hati dan kebaikan di dunia ini. Kita dapat memberikan perhatian padanya, terinspirasi olehnya, dan menggunakannya untuk memotivasi diri kita untuk meningkatkan kebaikan kita kepada orang lain.
Kita dapat juga menunjukkan pada orang-orang di sekitar kita cara menolong orang lain. Dengan begini, kita akan juga melihat kebaikan kita sendiri yang menginspirasi mereka. Kita juga dapat menceritakan kebaikan yang kita terima dari orang tak dikenal. Semua ini menginspirasi. Dengan kata lain, bukannya berfokus hanya pada masalah dan penderitaan di dunia, kita melatih pikiran kita untuk juga melihat kebaikan dan bantuan yang orang berikan pada satu sama lain.

Ketika kita ketakutan tentang keadaan dunia saat ini, kita dapat bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya melihat dengan jernih? Apakah hanya kekerasan yang sedang terjadi?” Bahkan di tengah tragedi, orang-orang saling menolong. Mari buat pikiran kita lebih seimbang. Kita akui bahwa situasinya mungkin buruk, tapi kita juga mengingat masih banyak kebaikan pula. Dengan mengenali bahwa masih ada kebaikan di dunia, kita mungkin punya kesempatan untuk mengubah hal-hal yang buruk.

Ketika kita hanya berfokus pada apa yang buruk, kita terbenam dalam putus-ada. Ketika kita dikuasai oleh putus-ada, kita bahkan tidak mencoba mengubah apapun. Jadi sangat penting untuk melihat kebaikan. Kemudian melepaskan ketakutan itu, dan rangkul orang lain dengan hati yang terbuka.

Diprint ulang dengan ijin. Artikel ini dipublikasikan di http://thubtenchodron.org/2015/01/compassion-despair/
Untuk informasi lebih lanjut mengenai Yang Mulia dan aktivitas nya, bisa mengunjungi: www.thubtenchodron.org dan www.sravasti.org

Yang Mulia Bhiksuni Thubten Chodron

Lahir pada tahun 1950, Yang Mulia Thubten Chodron besar di dekat Los Angeles. Ia lulus S1 di bidang Sejarah dari University of California di Los Angeles pada tahun 1971. Setelah melanglang buana di Eropa, Afrika Utara dan Asia selama 1,5 tahun, ia mendapatkan izin mengajar dan melanjutkan S2-nya di University of Southern California di bidang edukasi sembari bekerja sebagai guru di Los Angeles City School System.

Pada tahun 1975, ia menghadiri kelas meditasi yang diberikan oleh Yang Mulia Lama Yeshe dan Yang Mulia Zopa Rinpoche, lalu pergi ke Kopan Monastery di Nepal untuk terus belajar dan berlatih ajaran Buddha. Pada tahun 1977, ia ditahbiskan sebagai biarawati Buddhis oleh Kyabje Ling Rinpoche di Dharamsala, India, dan pada tahun 1986, ia menerima penahbisan penuh sebagai bhikshuni di Taiwan.

Ia belajar dan berlatih Buddhisme dalam tradisi Tibet selama bertahun-tahun di India dan Nepal di bawah bimbingan Yang Mulia Dalai Lama, Tsenzhap Serkong Rinpoche, Zopa Rinpoche dan guru-guru Tibet lainnya. Ia memimpin program spiritual di Lama Tzong Khapa Institute di Italia selama hampir dua tahun, belajar tiga tahun di Dorje Pamo Monastery di Perancis, dan adalah guru tetap di Amitabha Buddhist Center di Singapura. Selama 10 tahun, ia adalah guru tetap di Dharma Friendship Foundation di Seattle.

Venerable Thubten Chodron adalah co-organizer dari Life sebagai seorang Bhikshuni Barat, dan menghadiri konferensi-konferensi guru-guru Buddhis Barat bersama Y.M. Dalai Lama pada tahun 1993 dan 1994. Sangat tertarik pada dialog antar-agama, ia hadir ketika delegasi Yahudi mengunjungi Dharamsala, India, pada tahun 1990, dimana kunjungan ini dijadikan dasar bagi The Jew in the Lotus oleh Rodger Kamenetz, dan menghadiri Second Gethsemani Encounter pada tahun 2002. Ia juga hadir di beberapa Konferensi Mind-Life dimana Y.M Dalai Lama berdialog dengan ilmuwan-ilmuwan Barat, dan secara rutin menghadiri Western Buddhist Monastic Gatherings tahunan. Ia aktif dalam merangkul orang-orang yang dipenjara.

Venerable Thubten Chodron berpergian ke seluruh dunia untuk mengajarkan Dharma: Amerika Utara, Amerika Latin, Israel, Singapura, Malaysia, India dan negara-negara bekas Uni Soviet. Melihat penting dna perlunya suatu vihara untuk latihan para orang Barat dalam tradisi Buddhis Tibet, ia mendirikan Sravasti Abbey, komunitas monastik Buddhis di Washington, Amerika, dan saat ini adalah kepala biara di sana.

Bukunya termasuk Open Heart, Clear Mind; Taming the Mind; Buddhism for Beginners; Working with Anger; Guided Meditations on the Stages of the Path (with CD); Cultivating a Compassionate Heart: The Yoga Method of Chenrezig; dan How to Free Your Mind: Tara the Liberator. Ia juga mengedit beberapa buku untuk guru-gurunya, diantaranya adalah Transforming Adversity into Joy and Courage oleh Geshe Jampa Tegchok; Choosing Simplicity oleh Bhikshuni Master Wu Yin; A Chat about Heruka and A Chat about Yamantaka, oleh Kyabje Zopa Rinpoche. Banyak ceramahnya dapat ditemukan di website ini dalam bentuk tulisan dan audio.

Venerable Thubten Chodron menitik-beratkan pada aplikasi praktis dari ajaran Buddha bagi kehidupan sehari-hari dan sangat terampil dalam menjelaskannya dengan cara yang gampang dimengerti dan dipraktekkan orang Barat. Ia terkenal dengan kehangatan, rasa humor, dan ajaran yang menarik.

Photo credits:
Photo 1: Sravasti Abbey
Photo 2: Infinite Food via Compfight cc
Photo 3: GHNI Pics via Compfight cc
Photo 4: Sravasti Abbey

No comments:

Post a Comment