Monday, March 16, 2015

Apakah Kewaspadaan Membuatmu Lebih Welas Asih?

Shauna Shapiro

Aku mengikuti retreat meditasi pertamaku 17 tahun yang lalu di Thailand. Saat tiba, aku kurang memahami tentang kewaspadaan dan tentunya aku tidak bisa berbahasa Thai.

Di vihara, aku samar-samar memahami ajaran bhikkhu Thai yang indah, yang mengajarkanku untuk memperhatikan nafas yang masuk dan keluar melalui lubang hidung. Tampaknya cukup mudah. Maka aku duduk dan mencoba memperhatikan, [dengan target] enam belas jam sehari, dan dengan cepat aku mendapatkan realisasi besar pertama: aku tidak dapat mengendalikan pikiranku.

Aku putus asa dan agak terganggu dengan banyaknya pikiran yang mengembara tersebut. Aku perhatikan satu, dua atau tiga nafas – lalu pikiranku pergi, melamun, meninggalkan tubuhku duduk di sana, dalam kerangka kosong. Putus asa dan tidak sabar, aku mulai bertanya-tanya, “Mengapa aku tidak dapat melakukannya? Orang lain tampaknya sedang duduk dengan tenang. Apa yang salah denganku?”


Di hari ke empat, aku bertemu seorang bhikkhu dari London. Beliau menanyakan keadaanku. Untuk pertama kalinya aku berbicara setelah empat hari berdiam, dan keluarlah dari mulutku kekhawatiran-kekhawatiran yang telah kubawa selama ini. “Aku adalah meditator yang payah. Aku tidak dapat melakukannya. Aku telah berusaha mencobanya, semakin berusaha malah semakin kusut. Meditasi pastinya untuk orang yang lebih tenang, lebih spiritual. Aku tidak yakin ini adalah jalan yang benar untukku.”

Beliau melihatku dengan cinta kasih kasih dan binar lucu di matanya. “Aduh, sayang, kamu bukan melatih kewaspadaan,” katanya. “Kamu sedang melatih ketidaksabaran, menghakimi, frustrasi, dan berupaya keras”. Kemudian beliau mengucapkan lima kata yang sungguh mempengaruhi kehidupanku: “What you practice becomes stronger (Apa yang kau latih menjadi lebih kuat).” Kebijaksanaan ini sekarang didokumentasikan dengan baik oleh ilmu plastisitas otak, yang menunjukkan bahwa pengalaman yang berulang membentuk otak kita.

Bhikkhu tersebut menjelaskan bahwa kewaspadaan bukan sekedar memperhatikan, melainkan bagaimana kita memperhatikan. Beliau menggambarkan perhatian yang baik dan welas asih, di mana alih-alih menjadi frustrasi karena pikiran yang mengembara tersebut, aku bisa tertarik pada apa yang pikiran ini sedang lakukan,  memegang pengalaman ini dalam kesadaran yang penuh welas asih. Daripada marah pada pikiranku, atau tidak sabar dengan diriku, aku bertanya dengan lembut dan murah hati kepada apa yang terasa sebagai frustrasi dan tidak sabar.

Dengan demikian, aku mulai mengembangkan kebaikan terhadap diri sendiri, juga minat dan rasa ingin tahu terhadap pengalaman hidupku. Aku mulai berlatih memasukkan keperdulian dan welas asih ke dalam perhatianku, sama seperti orang tua yang memperhatikan anak kecilnya, dengan mengatakan kepada diri sendiri, “Aku perduli padamu. Aku tertarik. Ceritakan padaku tentang pengalamanmu.”

Memahami hubungan antara kewaspadaan dan welas asih ini telah mentransformasi dan membantuku merangkul diriku sendiri dan pengalamanku dengan kebaikan dan keperdulian yang lebih besar. Hal ini juga mempengaruhi pekerjaan klinik dan akademikku. Dalam tulisan dan penelitianku, aku menyuarakan dengan jelas suatu model kewaspadaan yang meliputi sikap bagaimana memperhatikan. Daripada mencoba untuk mengendalikan atau menghakimi pengalaman kita, kita memberi perhatian padanya dengan sikap welas asih dan keterbukaan. Kita mengembangkan kesadaran, ya, tetapi yang penting adalah mengenali dimensi manusia dari kewaspadaan itu. Ini bukan kesadaran mekanik yang steril, melainkan kesadaran welas asih, yang baik dan penuh rasa tertarik.

Penelitian telah mulai mencatat bukti empiris mengenai hubungan antara kewaspadaan dan welas asih, dan dalam dua puluh tahun terakhir secara konsisten menemukan bahwa kewaspadaan meningkatkan empati dan welas asih untuk orang lain dan diri sendiri.

Misalnya, dalam publikasi penelitian pertamaku yang diterbitkan dalam Journal of Behavioral Medicine pada tahun 1998, kami menemukan bahwa program 8-Minggu Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) oleh Jon Kabat-Zinn meningkatkan rasa empati dalam diri siswa kedokteran.

Studi lain yang kolega dan aku lakukan, yang dipublikasikan dalam International Journal of Stress Management pada tahun 2005, menyimpulkan bahwa latihan MBSR meningkatkan welas asih terhadap diri sendiri dalam diri professional kesehatan. Baru-baru ini, kami telah menguji pengaruh latihan kesadaran terhadap siswa konseling psikologi dan menemukan bahwa hal tersebut meningkatkan welas asih secara signifikan–dimana juga menuju pada berkurangnya stres dan emosi negatif dan meningkatkan emosi positif.

Pada dasarnya, penelitian menunjukkan bahwa kewaspadaan meningkatkan empati dan welas asih terhadap orang lain dan diri sendiri, dan sikap demikian baik untuk Anda. Bagiku, hal ini memperkuat bahwa ketika kita melatih kewaspadaan, secara bersamaan kita juga memperkuat keterampilan welas kasih kita–bukti bahwa kewaspadaan bukan sekedar menajamkan perhatian.

Tetapi ketika kita belum mengetahui dengan tepat bagaimana kewaspadaan menghasilkan pengaruh-pengaruh positif ini. Menjawab pertanyaan ini merupakan langkah penting berikutnya terhadap penelitian dan eksplorasi masa depan, sehingga kita dapat lebih memahami  unsur-unsur yang sebenarnya dan dan unsur-unsur aktif yang penting terhadap latihan kewaspadaan.

Meskipun tidak banyak penelitian yang berfokus secara khusus pada bagaimana kewaspadaan menolong kita mengembangkan welas asih dan empati, aku dapat memberikan beberapa pendapat, berdasarkan penelitian dan latihan tahunanku dan diskusi-diskusi dengan para meditator yang berpengalaman.

Pertama, seperti yang telah kujelaskan di atas, aku benar-benar yakin bahwa melatih kesadaran membantu kita belajar untuk menjadi lebih welas asih terhadap diri sendiri–di mana bukti menunjukkan, juga terkait dengan lebih welas asih terhadap orang lain. Salah satu studi yang sering kukutip, khususnya ketika mengajar psikoterapis dan siswa yang berlatih untuk menjadi terapis, menunjukkan bahwa bagaimana kita memperlakukan diri sendiri sangat berkorelasi dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Ketika terapis-terapis diukur tingkat welas asih mereka terhadap diri sendiri terhadap seberapa kritis dan menyalahkan diri sendiri, ukuran mereka sangat berkorelasi bagaimana mereka berhubungan dengan pasien.

Hal ini sama seperti yang diajarkan bhikkhu bijaksana dari London itu beberapa tahun yang lalu. Apa yang kita latih menjadi lebih kuat. Jika Anda merenungkannya, kita berhubungan dengan diri sendiri selama dua puluh empat jam sehari – kita melatih cara untuk berhubungan ini terus-menerus. Jadi jika kesadaran benar-benar seperti yang Aku yakini, meliputi sikap ingin tahu, terbuka, dan baik terhadap diri sendiri, ini membangun welas asih yang membantu mengembangkan welas asih terhadap orang lain. Itulah sebabnya kukatakan pada para siswa, “Kembangkan welas asih pada diri sendiri – lakukan hal tersebut demi pasien-pasienmu berikutnya!”

Kupikir hal ini penting untuk dijelaskan bahwa welas asih bukan berarti kita selalu dipenuhi dengan kebahagiaan dan cinta kasih. Singkatnya, apa yang dimaksud adalah bahwa kewaspadaan kita terhadap apa yang terjadi selalu penuh kebaikan, selalu welas asih. Maka bahkan jika aku marah atau frustrasi, aku menyambut pengalaman itu dengan kewaspadaan penuh welas asih. Ketika kita mulai menyambut pengalaman kita dengan cara demikian, kita dapat lebih mampu melakukannya, melihatnya dengan jelas, dan meresponnya dengan tepat–dan, seperti yang dinyatakan penelitian, kita sedang menguatkan keterampilan yang dapat membantu kita mengembangkan welas asih terhadap orang lain.

Demikianlah aku menganggap kewaspadaan seperti panci masak yang besar. Aku memasukkan seluruh pengalamanku dalam panci ini. Panci ini selalu baik, menyambut, bahkan saat aku memasukkan barang yang tidak baik (kemarahan, kesedian, dan kekacauan). Aku memasak semuanya–rasa sakit, kekacauan, kemarahan, kebahagiaan–secara tekun, konsisten melakukannya seperti ini, panci kewaspadaan yang penuh welas asih. Dengan berhubungan dengan pengalaman-pengalamanku dengan cara ini, aku lebih mampu mencerna dan menerima gizi dari mereka, seperti anda memasukkan kentang mentah ke dalam panci dan memasaknya selama berjam-jam, kentang itu menjadi lezat dan menyehatkan.

Cara lain kewaspadaan mengembangkan welas asih adalah bagaimana ia membantu kita melihat keterkaitan. Misalnya, katakan tangan kiri tertusuk serpihan. Tangan kanan secara alamiah akan mengeluarkan serpihan tersebut, bukan? Tangan kiri tidak akan mengatakan kepada tangan kanan, “oh, terima kasih banyak! Kamu begitu welas asih dan baik hati!” Tangan kanan yang mengeluarkan serpihan merupakan respon yang tepat–begitulah tangan kanan bertindak, karena kedua tangan adalah bagian dari tubuh yang sama.

Semakin kita berlatih kewaspadaan, semakin kita melihat bahwa kita adalah bagian dari tubuh yang sama–seperti yang Anda rasakan tentang tangan kanan, rasa sakit di tangan kiri, dan secara alamiah aku ingin membantu. Kewaspadaan mengembangkan keterkaitan ini dan melihat dengan jelas, yang mengarah pada welas asih yang lebih luar dan pemahaman jaringan misterius di mana kita semua ditenun.

Alasan ketiga kewaspadaan kelihatannya mengembangkan empati dan welas asih adalah kewaspadaan menjaga terhadap perasaan stres dan kesibukan yang membuat kita lebih fokus pada diri sendiri dan berkurang pada kebutuhan orang lain.

Hal ini didemonstrasikan pada pengalaman klasik orang Samaritan (orang baik) yang dilakukan oleh John Darley dan Daniel Batson di sekitar tahun 1970. Darley dan Batson menugaskan mahasiswa seminari di Universitas Princeton untuk menyampaikan pidato tentang Samaritan yang baik. Saat akan melakukan presentasi, mahasiswa melewati seseorang (yang bekerja dengan para peneliti) yang terjatuh dan mengerang. Para peneliti mengetes semua jenis variabel untuk melihat apakah mahasiswa akan berhenti untuk menolong, tetapi hanya satu variabel yang penting: apakah mahasiswa terlambat untuk pidato atau tidak. Hanya 10 persen mahasiswa yang berhenti untuk menolong ketika mereka terlambat; 6 kali lebih banyak orang yang menolong ketika mereka tidak terburu-buru.

Studi ini menunjukkan bahwa orang-orang tidaklah tidak sensitif secara moral, tetapi ketika kita stres, takut, tergesa-gesa, maka  mudah untuk kehilangan sentuhan dengan nilai-nilai kita yang terdalam. Dengan membantu kita tetap selaras terhadap apa yang terjadi di sekitar kita di saat ini, tanpa menimbang waktu, kesadaran membuat kita berhubungan dengan apa yang paling penting. Seperti yang diajarkan bhikkhu Zen Suzuki Roshi, “Hal yang paling penting adalah mengingat hal yang paling penting”.

Bagiku hal yang terpenting adalah terus mengeksplorasi, dengan hati dan batin terbuka, apa kesadaran itu sebenarnya, dan membantu menerangi bagaimana hal tersebut menjadi keuntungan terbesar. Kita tentunya belum memiliki semua jawabannya: Aku pikir apa yang paling menarik adalah menanyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Seperti yang dikatakan Rilke, “Memiliki kesabaran dengan segala sesuatu yang tidak terselesaikan dalam hatimu dan cobalah mencintai pertanyaan-pertanyaan tersebut.”

Eksplorasi tentang kewaspadaan membutuhkan sensitifitas yang besar dan sejumlah kacamata metodologi. Ilmu pengetahuan–dan hidup kita –akan memperoleh manfaat dengan melihat melalui hal tersebut, menyinari kekayaan dan kekompleksan kewaspadaan.

Dicetak ulang dengan izin. Artikel ini awalnya diterbitkan di Greater Good: The Science of a Meaningful Life dan blog Sakyadhita. http://greatergood.berkeley.edu/article/item/does_mindfulness_make_you_compassionate

Penerjemah: Suhu Shi Xiang Xin
Editor: Mariani Dewi

Shauna Shapiro: Profesor, Psikolog, Ahli Kewaspadaan

Shauna Shapiro, PhD, adalah seorang professor, psikolog klinis, dan ahli kewaspadaan internasional. Selama dua puluh tahun berlatih meditasi di Thailand, Nepal, dan juga barat, Shapiro membawa kesadaran pada pekerjaan ilmiahnya. Beliau mempublikasikan lebih dari 100 jurnal, menjadi penulis The Art and Science of Mindfulness, seperti buku barunya, Mindful Discipline: A Loving Approach to Setting Limits and Raising an Emotionally Intelligent Child. Dr. Shapiro adalah penerima American Council of Learned Societies teaching award, Contemplative Practice fellow of the Mind dan Life Institute yang dipelopori oleh Dalai Lama.

Dr. Shapiro diundang oleh Raja Thailand, pemerintah Denmark, dan World Council for Psychotherapy di Beijing China untuk memberikan kuliah. Karyanya difiturkan pada Wired, USA Today, Oxygen, Yoga Journal, dan the American Psychologist.

No comments:

Post a Comment