Monday, April 13, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia: 4

Jaringan Buddhis Internasional,  Kepemimpinan  Bhikkhunīs dan Wanita di Laut Indonesia Selatan pada Abad Ke-5 hingga Ke-7

Ayyā Tathālokā Bhikkhunī

Ini adalah artikel keempat dari seri “Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia.” Kali ini kita melihat bagaimana jaringan Buddhis internasional telah berkembang dengan mantap antara India, Indonesia, Sri Lanka dan China. 

Kita akan membahas periode ketika Buddhisme tumbuh di Indonesia, dan jaringan dan pembelajaran Buddhis internasional tumbuh pesat. Pemimpin-pemimpin wanita yang berkuasa telah menyokong beasiswa Buddhis dan Sangha Bhikkhunī tersebar luas dan berdiri kokoh. 

Diekstrak dari jurnal Ayyā Tathālokā’s paper “Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors,” ini adalah bagian dari seri dalam menyambut Konferensi Sakyadhita Ke-14 di Borobudur, Indonesia. 

__

Jaringan Buddhis Internasional,  Kepemimpinan Bhikkhunīs dan Wanita di Laut Indonesia Selatan pada Abad Ke-5 hingga 7

Meskipun sangat besar kemungkinan bahwa ajaran-ajaran Buddhis dan anggota-anggota monastik telah mencapai kepulauan Indonesia hampir 1,000 tahun sebelumnya—karena Jalur Sutera Laut yang aktif dan diketahui bahwa para anggota monastik Buddhis berpergian sepanjang jalur-jalur ini dengan laut—tapi kita baru menemukan bukti visual tentang hal ini yang berpenanggalan dari abad ke-2 hingga ke-5 dari Era Umum dalam bentuk patung-patung dan benda-benda arkeologis Indonesia yang masih ada hingga hari ini.

Gambar 1: Buddha Tembaga dari
Sulawesi Barat dalam gaya Amaravati
atau Anuradhapura dari abad
kedua dan kelima
Patung-patung Buddha yang terbuat dari tembaga dari masa abad ke-2 hingga ke-5 ditemukan di Pulau Sulawesi, yang diduga adalah gaya Amaravati India atau gaya Anuradhapura Sri Lanka.

Patung-patung ini mengilustrasikan dengan lebih jelas hubungan antara Indonesia dengan India Selatan dan Sri Lanka di masa awal, seperti yang disebutkan dalam cerita “Bhikkhuni Manimekhalai Pergi ke Java ” yang sudah kita posting sebelumnya. Tak sulit untuk disadari ketika melihat peta-peta Jalan Sutera Laut, bahwa Indonesia punya hubungan aktif dengan India Selatan, Barat dan Timur Laut, serta Sri Lanka, China dan Korea.

Menurut catatan autobiografi bikshu peziarah dari China bernama Fa-hsien (Fǎxiǎn, 法顯/法显), ketika ia mendarat di suatu tempat di kepulauan Indonesia di awal abad kelima, saat kapalnya keluar jalur akibat tiuapn angin hingga teralihkan dari perjalanan Ceylon (Sri Lanka) dan China, ia hanya bertemu dengan beberapa orang Buddhis—ada tapi tidak banyak. Tidak diketahui pasti pulau mana ia berlabuh, tetapi diduga kemungkinan adalah suatu tempat di Pulau Jawa. Ia mungkin tidak bertemu dengan kerajaan Jawa bernama Tarumanegara (Dharmanagara)[1], yang berdiri sejak abad ketiga hingga kelima di Baturaja (bagian timur Jakarta), dimana ditemukan struktur-struktur berbentuk stupa dan lempeng-lempengan Buddhis.[2]

Gambar 2: Jalur Sutra Laut oleh Bhikkhu Ānandajoti menunjukkan jalur-jalur laut antara Indonesia, China, Sri Lanka, India dan lebih jauh lagi, dari tahun 200 hingga 800
Namun, hanya dalam kurun beberapa tahun, di pertengahan abad kelima, Buddhisme telah menjadi fenomena nasional yang terkenal hingga di luar negeri, yang dicatat di tulisan-tulisan sejarah hingga hari ini. Pada tahun 431, Guru Besar Tipitaka Sarvāstivādin[3] (atau Mūlasarvāstivādin) yang bernama Yang Mulia Guṇavarman tiba di Jawa dari Kashmir. Ia ditahbiskan menjadi bhikkhu di Sri Lanka dan belajar Vinaya di Abhayagirivihāra. Melalui catatan-catatan dan contoh mengenai kehidupan Yang Mulia Guṇavarman yang luar biasa, kita dapat melihat jelas adanya interkoneksi kuat antara orang Buddhis di India, Indonesia, Sri Lanka dan China. Kita juga dapat melihat betapa para guru-guru besar di negara-negara Buddhis saat itu menjunjung tinggi kepentingan dan imperatif penahbisan bhikkhunī .

Gambar 3: Candi Jiwa dari Batujaya, Tarumanagara, ditemukan pada tahun 1980-an. Candi ini dianggap sebagai suatu stupa Buddhis. Menurut Dr Tony Djubiantoro, kepala Agensi Archeology Bandung, Candi Jiwa dibangun di abad ke-2. Tulisan-tulisan prasasti yang ditemukan bertanggalan hingga sebaru-barunya abad ke-5 dan ke-6. Ini menunjukkan perkembangan selama beberapa ratus tahun. Sudah ditemukan 30 momumen kuno di area Baturajay ini. Karena tidak ada batu volkanik untuk construksi seperti ini, stupa-stupa ini dibuat dari batu bata yang mengandung sekam padi
Ratu Jawa adalah orang pertama yang secara formal menjadi Buddhis. Kemudian, dengan dorongan Sang Ratu, anaknya Sang Pangeran serta Sang Raja menjadi Buddhis lewat kehadiran dan ajaran Guru Besar  Guṇavarman. Sebuah  vihāra didirikan dan didanakan oleh keluarga raja ini kepada Yang Mulia  Guṇavarman. Ketenarannya menyebar dan ia sering diundang untuk mengajar. Dikeluarkan satu keputusan raja bahwa Yang Mulia  Guṇavarman tak hanya menjadi penahbis bagi keluarga ningrat, tetapi bagi seluruh rakyat. Sebagai seorang Guru Besar Nasional Jawa, keharuman nama Tripiṭakadhara Guṇavarman menyebar.

Gambar 4: Patung bergaya vihara China menggambarkan Guru Besar Tripitakadhara Gunavarman yang adalah nasional orang Jawa, yang mendukung dan memungkinkan penahbisan penuh bagi wanita di China, digambarkan sedang duduk bersama dengan patung 16 arahat

Dukungan Internasional oleh Guru Besar Nasional Jawa untuk Penahbisan Bhikkhunī

Dari Jawa, Yang Mulia Guṇavarman berpergian ke Sri Lanka dan China dimana ia banyak mengajar ke mana-mana, menerjemahkan Lima Sila dan Dua-puluh-dua Praktek Umat Awam, Disiplin untuk Monastik Pemula, Dharmaguptaka-bhikṣuṇī-karman (四分比丘尼羯磨法), serta sutra-sutra lain yang berhubungan dengan penahbisan bhikkhunī.

Gambar 5: Terjemahan bahasa China kuno tulisan tangan dengan teks Dharmaguptaka Vinaya

Gambar 6: Digital kontemporer CBETA
Dharmaguptaka-bhiksuni-karman
(四分比丘尼羯磨) teks ada di
http://www.cbeta.org/result2/normal/
T22/1434_001.htm


Dengan menaiki kapal saudagar Nandi,[4] Yang Mulia Guṇavarman membentuk platform penahbisan (戒壇) di Biara Hutan Selatan Nan Lin Ssu (南林寺) di Chien-k’ang (建康, Nanking) China untuk penahbisan ganda bagi para bhikkhuṇī di China. Ia meninggal di China sebelum para bhikkhunī dari Sri Lanka tiba untuk memenuhi kuorum penahbisan; namun sebelum meninggal, ia memimpin penahbisan bhikkhunī dengan Bhikkhu Sangha saja.[5] Ketika para bhikkhunī Sri Lanka akhirnya tiba, bhikkhu Tripiṭaka India Guru Besar Sanghavarman menjadi bhikkhu penahbis menggantikannya.[6]












Gambar 7: Bhikkhunī-bhikkhunī di Nan Lin Southern Forest Monastery (南林寺) di Taiwan modern saat sedang menyambut kedatangan seorang guru besar Vinaya (律師)
Di abad ke-6, muncul satu komposisi yang berisi kumpulan biografi atau hagiografi dari bhikkhuni-bhikkuni yang dihormati, mungkin yang pertama setelah karya Kanon dan Komentar yang berhubungan dengan kehidupan para pendahulu. Komposisi ini adalah Buddhist Canon Taishō Tripitaka (大正新脩大藏經:T 2063) yang berjudul Biquiuni Zhuan alias Pi-ch’iu-ni Chuan (比丘尼傳 or 尼傳) oleh bhiksu Baochang (Pao-ch’ang, 寳唱). Yang Mulia Baochang melakukan riset dan mengkompilasi lebih dari 65 biografi dari bhikkhunī-bhikkhunī  terhormat yang hidup di abad ke-4 hingga ke-6. Di dalamnya dapat kita lihat bahwa monastik wanita Buddhis memegang posisi yang dihormati di masyarakat Dinasti-dinasti Selatan.

Memasuki abad ke-7, kita terus melihat hubungan antara Indonesia dan dunia Buddhis lainnya yang kemudian dikenal dengan nama “Asia,” dan kita terus melihat kehadiran bhikkhunī-bhikkhunī.  Di Sumatra, Dharmakīrti, seorang pangeran Śrīvijayan dari Dinasti Śailendra, ditahbiskan sebagai monastik Buddhis dan mencapai posisi sebagai cendikiawan Buddhis di Śrīvijaya. Orang-orang Śailendra adalah dinasti yang penting yang muncul di Indonesia; Śailendra (śaila+indra) berarti "Tuan dari Gunung-gunung.” Śrīvijaya menjadi jaringan penting dan kuat dalam hubungan antar negara. Dharmakīrti pergi ke India dimana ia menjadi guru di Universitas Nālanda yang terkenal, dan ia membangun pengetahuan tentang Dignāga dalam logika Buddhis.[7] Kehadiran para bhikkhunī dicatat oleh para peziarah di Nālanda, dan masih dapat dilihat berbagai tulisan pahat donasi di beberapa vihara bhikkhuni di Valabhi, yang serupa dengan Nalanda adalah pusat pembelajaran Buddhis yang terkenal dan ramai di Gujarat.[8] Gujarat juga adalah daerah yang mempunyai koneksi-koneksi maritim dengan Indonesia melalui pelabuhan Sopora (lihat peta). .

Ratu Shima menyokong beasiswa Buddhis

Gambar 8: Ratu Sima yang melegenda
dikenal adil, teguh dan kuat, bagaikan
seorang ibu bagi semua rakyatnya.
Ia masih diingat dan sering dikenang
melalui tarian, balet, drama, parade
dan berbagai bentuk seni lainnya.
Pada tahun 664-667, seorang bhikkhu China bernama Hui Ning dan seorang lokal bernama Jñānabhadra menerjemahkan Sutra Mahāparinirvāna di Holing (訶陵) yaitu Kalinga di area Kota Keling modern, suatu negara di bagian pantai utara Jawa yang dipimpin oleh Ratu Sima.[9] Ratu Sima (Ratu Shima, Skt: Siṃha) dari Kalinga menjadi legenda internasional karena keadilan dan kebijaksanaannya yang luar biasa. Beberapa kebijakannya terus menginspirasi hukum dan pemerintahan di Singapura (Siṃhapura) masa kini.

Ratu Sima diketahui telah membangun empat kompleks vihara yang tertua yang ditemukan di Indonesia. Letaknya di Dataran Tinggi Dieng and Gedung Songo (di puncak bukit di atas stasiun Ambarawa dari masa Belanda). Ia mendukung beasiswa Buddhis internasional di kepemimpinannya, dan Hui Ning adalah salah satu dari 56 monastik yang diketahui telah melakukan perjalanan laut ke negaranya pada masa itu.[10]


Gambar 9: Patung Buddha Kalinga dari masa Ratu Sima
Gambar 10: Kompleks candi di dataran tinggi dieng di daerah Jawa Tengah yang di persembahkan kepada Ratu Shima,
terdiri dari struktur batu berdiri tertua di Jawa, lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut. "Dieng"=di+hyang berarti "Rumah Tinggal Tuhan"
Menjelang akhir abad ke-7, Dharmapāla, seorang bhikkhu terkenal—dari Kancipuram di India Selatan dan telah mendirikan Sekolah Yogācāra (Vijñānavāda/Citramatra)—bertandang ke  Suvarṇadvīpa (dalam hal ini berarti di Jawa dan Sumatra), setelah ia mengajar di Nālanda selama 30 tahun. Pada masa ini pula, pada tahun 671, seorang bhikkhu peziarah terkenal sekaligus penulis catatan perjalanan bernama Bhikkhu I-tsing (Yijing, 義淨) juga tiba di kepulauan Indonesia dari China. Ia menghabiskan enam bulan di Indonesia sebelum pergi ke India, dimana ia belajar di Nālanda selama satu dekade dan kemudian kembali ke  Śrībogha (nama kuno untuk Melayu, yaitu kota Palembang di Sumatra Selatan saat ini). Ia terus tinggal di Indonesia selama empat tahun untuk menerjemahkan, lalu kembali ke China pada tahun 695.

Gambar 11: Lukisan oleh artis masa kini mengenai seorang cendikiawan monastik peziarah dari China kuno. Ini adalah hadiah dari Duta Besar China untuk Pahangala, Sri Lanka

Bhikṣuṇī-Bhikṣuṇī Mūlasarvāstivāda di Indonesia Abad Ke-7

Yijing mencatat adanya leibh dari 1,000 monastik mulia di Bhoga, ibukota Śribhoga, yang saat itu yang paling banyak adalah anggota Mūlasarvāstivāda Nikāya, tetapi ada beberapa anggota Sthavira Nikāya.[11] Yijing mengatakan tentang anggota monastik Buddhis yang ia amati, “di semua negara-negara di Laut Bagian Selatan, bhikṣuṇī-bhikṣuṇī [12] mengenakan pakaian dalam bagian atas yang khusus, yaitu, meskipun tidak sesuai dengan gaya India, pakaian ini juga dinamai saṅkakṣikā”.[13] Mereka mengenakan lima jubah  bhikṣuṇī. Dari lima jubah ini, empat diantaranya (termasuk saṅkakṣikā) juga dikenakan oleh para bhiksu. Catatan ini mengkonfirmasi bahwa kehadiran monastik wanita Buddhis tersebar luas di pulau-pulau Indonesia di tanah Srivijaya pada akhir abad ke-7.

Pemberkatan

Di awal abad kedelapan, guru besar Śantideva bernama Bodhicaryāvatāra memberikan pemberkatan pada para bhiksuni:

Lābhinyaḥ santu bhikṣuṇyaḥ kalahāyāsavarjitāḥ
bhavantv akaṇdaśīlāś ca sarve pravrajitās tathā

Semoga para bhiksuni sejahtera, bebas dari perselisihan dan bahaya;
Semoga mereka dan semua wanita yang adalah pravrajitā (termasuk śrāmaṇerīkā) menjaga sila kemoralan tanpa henti

Gambar 12: Para biarawati dari tradisi Theravada di Indonesia masa kini. Wanita-wanita muda yang merupakan pravrajitā (Pali: pabbajitā), yaitu yang telah “maju” ke dalam kehidupan monastik, atau śrāmaṇerīkās (Pali: sāmanerīs), di foto di sini dengan jubah berwarna coklat

__

Artikel lainnya mengenai serial "Sejarah Wanita dalam Buddhisme":
1. Bagian 1: 12 Monumen & Situs di Jawa yang Berhubungan dengan Wanita Buddhis & Bhikkhuni
2. Bagian 2: Bhikkhuṇīs dan Pertapa Perempuan Indonesia: Kilasan Sejarah dan Survei Terminologi
3. Bagian 3: Bhikkhuṇī Manimekalai dari India Selatan ke Jawa
4. Bagian 5: Misteri Dewi Kili Suci – Putri Mahkota Bhikkhuni Petapa Abad Ke-11 dan Goa Selomangleg

__

Image credit:
Gambar 1: Sumber New York Public Library’s Digital Gallery. Web: http://images.nypl.org/index.php?id=1128493&t=w.
Gambar 2: Peta sumber Ven. Ānandajoti. For more maps of the ancient Buddhist world see.
Gambar 3: Courtesy of trrusty.com “When the Lotus Bloom in Batujaya.” web: http://1.bp.blogspot.com/-s0cg0fneAB0/Unnxvs1sykI/AAAAAAAAE44/2xCXg3wmr_w/s1600/Candi-Jiwa-1.jpg.
Image 4: Sumber uhdmm.com, weblink: http://new500arhat.files.wordpress.com/2013/09/421-e5ae9ae88ab1e887b3e5b08ae88085.jpg.
Gambar 5: Sumber baohuasi.org, web: http://www.baohuasi.org/UploadFile2011/ea_201136202537.jpg.
Gambar 6: Sumber http://www.cbeta.org/result2/normal/T22/1434_001.htm.
Gambar 7: Sumber nanlin.org, web: http://www.nanlin.org/html/07/show.aspx?num=56&kw=.
Gambar 8: Sumber ratushima567.wordpress.com, web: https://ratushima567.wordpress.com/2014/03/05/amazing-shima-show-2/aah26/.
Gambar 9: Sumber: ruanasagita.blogspot.com. Web: http://1.bp.blogspot.com/-J8VqQIAP74g/UWyYB1k0Q_I/AAAAAAAAAnk/V-fA43vODbg/s640/Ratu+Sima+dari+Kerajaan+Kaling.jpg
Gambar 10: Sumber republiktravel.com, web: http://republiktravel.com/wp-content/uploads/2014/11/dieng-plateau-1024x625.jpg.
Gambar 11: Sumber s.dhammika.blogspot.com, web: http://sdhammika.blogspot.com/2014/05/fa-heins-cave-making-of-myth.html.
Gambar 12: Sumber takazawa-2nd.blogspot.com, web: http://1.bp.blogspot.com/_gB_9ZSWkejg/S-wvF4xjZSI/AAAAAAAAAAM/yqoAw6-HjSk/s320/blogger.jpg.

Catatan Kaki:
[1] Ada pertanyaan apakah nama ini sama dengan “Dharmanagara” di sumber-sumber lain. Ini mungkin adalah kerajaan India Tamil, di bawah kepemimpinan raja Purnawarman yang disebut-sebut di semua tujuh momumen Pallava/ prasasti Sansekerta, menurut Ida Indawati Khouw (2000): http://www.oocities.org/tamilhindu/indonesia1.html (accessed 28 Nov 2014)
[2] “The oldest Buddhist structure in Indonesia probably is the Batujaya stupas at Karawang, West Java, dated from around 4th century. ” Wikipedia’s Buddhist Art “Indonesia”: http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_art (accessed 28 Nov 2014)
[3] Menurut Takukusu (1959:57), “Rangkulan geografis dari sekolah (aliran) Sarvāstivādan jauh lebih luas daripada sekolah-sekolah lain karena aliran ini ditemukan di India, di bagian utara India, Persia, Asia Tengah, serta Sumatra bagian Selatan, Jawa, Cochin-China dan seluruh China...[Aliran ini] erat berkaitan dengan Aliran Theravāda; aliran  Sarvāstivādan kemungkinan pertama-tama terpisah dari aliran Theravāda sebelum Konsili Asoka...Teks Abhidharma dari aliran ini...kemungkinan dikompilasi seawal-awalnya pada tahun 200 Masehi.”
[4] Yang Mulia Guṇavarman menaiki kapal saudagar Nandi untuk perjalanan-perjalanannya. Kapal-kapal saudagar Nandi telah menjadi terkenal di tahun-tahun itu karena telah menjadi moda transportasi para  bhikkhuṇī dari Sri Lanka ke China untuk membentuk Penahbisan Ganda bagi para bhikkhuṇī China.
[5] Dignity and Discipline, Appendix, “Can An Extinct Bhikkhunī Sangha Be Revived,” oleh The Original Mingun Jetawan Sayadaw dari Myanmar, diterjemahkan oleh Bhikkhu Bodhi, catatan akhir 29: “Seorang ahli Vinaya di masa lampau dari Kashmir, bernama Guṇavarman, yang pada abad kelima memimpin penahbisan bhikkhuṇī-bhikkhuṇī oleh hanya bhikkhu sangha, mengekspresikan opini: “as the bhikṣuṇī ordination is finalized by the bhikṣu sangha, even if the ‘basic dharma’ (i.e., the ordination taken from the bhikṣuṇī sangha) is not conferred, the bhikṣuṇī ordination still results in pure vows, just as in the case of Mahāprajāpatī.”
[6] Rosen, bagian. 25, p 22 re p. 1070 b 3-4
[7] Menurut Peter Skilling dalam tulisannya pada tahun 1997 “Dharmakīti’s Durbhāloka and the Literature of Srīvijaya,” penalar Dharmakīrti dan penulis dari Durbodhāloka bukanlah orang yang sama.
[8] Lihat tulisan Skilling “A Note on the History of the Bhikkhunī Saṅgha (II): The Order of Nuns After the Parinirvaṅa, ” p 32, WFB Review, Vol. XXX, no. 4 - Vol. XXXI, no. 1.
[9] Kalinga dikatakan telah dinamakan berdasarkan imigran-imigran India yang melarikan diri dari Kalinga, India, yang berada di daerah pinggir laut Odisha (Orissa) dan Andhra di Andhra Pradesh. Orang-orang India terkadang dipanggil kalinga di Malaysia. Ada pertanyaan apakah Ratu Sima telah dicampurkan dengan cerita Arab tentang Ratu Sheba. Ada juga pertanyaan mengenai hubungannya dengan kalyāṇamitra bhikṣuṇī “Sima of the Lion’s Roar” yang mengajar di taman raja di Hutan Kalinga dari Gandhavyūha “Entering the Dharma Realm” dari satu bab di Avataṁsaka Sūtra.
[10] Didirikan oleh imigran Vengian dari Salunkayana (Andhra Pradesh) di India pada abad keempat, yang melarikan diri dari kehancuran dinasti mereka.
[11] “Sthavira Nikāya" umumnya diduga adalah nama Sansekerta dari bahasa Pali “Theriya Nikāya,” yand di kemudian hari dikenal dengan nama Theravāda. Lihat tulisan Bhikkhu Anālayo "A Note on the Term Theravāda,” Buddhist Studies Review, 2013, vol. 30 no. 2 pp. 216–235. Namun, dalam kasus ini, ini mungkin juga nama dari monastik aliran Abhayagirivihāra, yang juga kemudian dikenal sebagai “Mahāyāna Sthāviras” menurut penulis dan peziarah monastik abad ketujuh lainnya yaitu Xuanzang (玄奘, Hsüan-tsang).
[12] Ia biasanya menggunakan kependekan “ni” (尼); atau “monastik wanita” yaitu “ni+monastik” (尼眾), kata-kata kependekan umum untuk bhikśunī atau bhikkhunī (T54, p0216a). Jelas ia merujuk pada para bhikkhunī, karena kata-kata dan istilah-istilah ini digunakan untuk bhikkhunīs Buddhis China dan India, serta untuk daerah Laut Selatan (南海諸國). Istilah yang tepat bagi mereka, katanya, adalah “尼有五衣”: “‘Ni’ dengan lima jubah”. Ia mengacu pada lima jubah bhikkhunīs dalam Vinaya. Lihat : http://www.buddhist-canon.com/history/T540216a.htm.
[13] Samkakṣikā (Pāli: sankaccika) dari Laut Selatan sepertinya serupa dengan pakaian biarawati thilashin di Myanmar saat ini. Dalam “Peraturan Mengenai Pakaian Biarawati dan Pemakaman,”dari catatan I-tsing “A Record of Buddhist Practices XII:79,” dideskripsikan ada dua cubit di setiap sisi, yang pinggirnya dijahit bersama dan sudutnya dijahit masuk satu inci. “Untuk memakainya, seseorang mengangkatnya, memasukkan kepala dan satu bahu melaluinya, memperlihatkan seluruh bahu kanan. Jika seseorang tidak mengenakannya, orang itu seharusnya memakai samkakṣikā biasa yang serupa dengan yang dipakai para bhikṣu. Di kamar sendiri dan di biara, cukup mengenakan kusūlaka dan samkakṣikā. Kusūlaka adalah istilah lain dari teks-Pali pakaian-mandi udakasātikā sebagai jubah kelima dari lima-jubah bhikśunī. Panjang kusūlaka adalah empat cubit dan lebarnya dua cubit, dan ujungnya dijahit bersama. Panjangnya paling pendek hingga ke pusar atau paling panjang hingga empat jari di atas lutut. I-tsing mengamati bahwa empat jubah pertama biasanya dikenakan oleh para bhikṣu. (78)

__

Ayyā Tathālokā Bhikkhuṇī (sans diacritics Ayya Tathaaloka)

Yang Mulia Bhikkhuṇī  Tathālokā adalah seorang bhikkhuṇī  Theravada asal Amerika. Ia adalah cendikiawan dan guru monastik Buddhis. Ia adalah co-founder LSM Dhammadharini (Women Upholding the Dhamma), Asosiasi Bhikkuni Amerika Utara, dan Aranya Bodhi Hermitage. Ia juga dikenal sebagai penasihat monastik senior untuk Sakyadhita USA dan the Alliance for Bhikkhunis. Ia adalah pemenang Penghargaan 2006 Outstanding Women in Buddhism Award dan cendikiawan yang memberikan paparan di 2007 International Congress on Buddhist Women's Role in the Sangha tentang area spesialisasinya: Sejarah Bhikkhuni Sangha dan Bhikkhuni Vinaya. Ayyā Tathālokā melayani sebagai guru penahbis untuk penahbisan bhikkhuni historis yang diadakan di Western Australia dan di Northern California antara tahun 2009 dan 2014. Ia saat ini bekerja dengan Dhammadharini support foundation untuk mendirikan vihara permanen bagi Dhammadharini Bhikkhuni Sangha di Northern California di utara Area San Francisco Bay Area (lihat dhammadharini.net).

No comments:

Post a Comment