Monday, April 20, 2015

Sejarah Wanita dalam Buddhisme Indonesia : 5

Misteri Dewi Kili Suci – Putri Mahkota Bhikkhuni Petapa Abad Ke-11 dan Goa Selomangleg

Bhikkhunī Ayyā Tathālokā

Image 1: Putrī Sanggramawijaya/
Devi Kili Suci
Di posting kelima dari seri ini, kita menuju ke Borobudor di abad ke-11, di masa ketika adalah hal umum bagi keluarga ningrat melepaskan tahta demi kehidupan monastik, dan pertapaan-pertapaan dan gua-gua di pegunungan Indonesia sering didatangi oleh pertapa pria dan wanita dari berbagai kepercayaan. Buddhisme Mantranāya/Vajrayāna telah tersebar di Jawa sejak akhir abad ke-7 dan berkembang pesat. Mari kita lihat cerita legenda tentang seorang putri yang menjadi kili/wiksuni/bhikkhunī/mahāsiddhā, dan kita kunjungi gua dimana ia tinggal, berlatih dan menghilang secara misterius dari dunia.

Diekstrak dari dari jurnal oleh Ayyā Tathālokā’s berjudul“Light of the Kilis: Our Indonesian Bhikkhuni Ancestors,” ini adalah bagian kelima dari mini-seri dalam menyambut Konferensi Sakyadhita Ke-14 di Borobudur, Indonesia.

__

Misteri Dewi Kili Suci – Putri Mahkota Bhikkhuni Penyendiri Abad Ke-11 dan Goa Selomangleg

Meskipun dalam catatan-catatan sejarah telah jarang ditemukan cerita-cerita tentang biarawati-biarawati Buddhis di India sejak abad ke-8 dan langka di Sri Lanka setelah abad ke-10, catatan-catatan semacam ini terus ditemukan di Indonesia di abad ke-11.

Gambar2: Prasasti Pucangan atau
"Batu Kalkuta" ditulis dalam bahasa
Jawa Kuno dan Sansekerta
Ada cerita tentang Airlangga yang adalah buah perkawinan ningrat antara dinasti kerajaan Bali dan kerajaan Medang di Jawa Timur. Airlangga (yang namanya berarti Ia yang Melewati Air) diasuh oleh Ibunda Ratu di Bali, dan pulang ke Jawa ketika remaja saat perkawinannya sudah disiapkan. Prasati “Batu Kalkuta” mencatat bahwa pada usia enam belas, di hari pernikahannya, saat pesta sedang berlangsung, adik ibundanya yaitu raja Dharmawamsa dari Medang dan seluruh keluarganya diserang mendadak dan dibunuh, dan istananya dijarah dan dibakar. Entah bagaimana, Airlangga berhasil lolos tanpa luka. Ia menghabiskan beberapa tahun di retret di Pertapaan Hutan Vanagiri, dan kemudian muncul kembali untuk berdamai dengan Srivijaya dan membentuk kerajaan Jawa baru bernama Kahuripan.

Airlangga menikah dengan seorang putri Sriwijaya yang melarikan diri ke Jawa Timur setelah ayahnya dipenjara dan kerajaan mereka dijarah oleh kerajaan Cholas dari India. Menurut prasasti Baru, ia menamai putri ini sebagai Parameśwari—Permaisuri


Gambar 3: Patung kontemporer yang
menggambarkan putri mahkota kerajaan
Kahuripan bernama Putrī Sanggramawijaya
sebelum ia melepaskan tahta untuk
menjalankan kehidupan pertapaan
Putri dari Parameśwari diberi gelar Rakryan Mahāmantri–Perdana Menteri, dan kemudian diangkat sebagai pewaris tahta, meskipun sang raja mempunyai dua anak laki-laki. Putri sulung ini bernama Putrī Sanggramawijaya, dan gelar lengkapnya adalah Rakrayan Mahāmantri i Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Uttunggadewi (atau pengejaan lainnya: Dharmaprasadottunggadewi) seperti yang tertulis di prasasti Cane dan Turun Hyang 1.

Kepemimpinan kerajaan ini terkenal karena toleransi mereka; mereka ada suporter bagi kepercayan Viśṇuvite, Śaivite dan Buddhis. Pada tahun 1035, Airlangga membangun dan mendedikasikan satu biara Buddhis kerajaan yang megah yang dinamai Śrīvijāyāśrama, untuk menghormati Śrī Dharmaprasada Uttunggadewi.

Mereka mengembangkan teknologi baru di bidang irigasi dan perkapalan, dan adalah penyokong seni dan literatur. Kerajaan baru ini menyebar ke Jawa Tengah dan Bali ke daerah yang vakum karena runtuhnya kerajaan Śrīvijāya lama.

Gambar 4: Gunung Klotok, dimana Gua Selomangleng berada
Airlangga berharap untuk menyerahkan tahta kepada Putri Mahkota/ Perdana Menteri, tapi Sanggramawijaya malah memutuskan untuk menjadi pertapa Buddhis wiksuni/bhikkhunī, daripada memimpin kerajaan.

Menurut sejarah oral dan Babad Tanah Jawi, putri mahkota menjadi seorang kili dan pergi ke Goa Selomangleng di kaki Gunung Klothok, yang berjarak lima kilometer di sebelah barat kota Kediri. Ia lalu terkenal dengan nama Dewi Kilisuci (lihat bagian dua di seri ini untuk mengenal arti kata “kili” dan “suci” dalama bahasa dan kultur Indonesia). Cerita Panji menyebutnya sebagai figur mulia, suci dan sangat dihormati.

Gambar 5: Tangga batu menyusuri gunung ke gua biara Selomangleng.

Kompleks Goa Selomangleng, meskipun tidak sebesar dan sedetil kompleks gua batu di barat India, mungkin dikembangkan dengan dukungan kerajaan untuk beberapa waktu sebagai tempat untuk pertapaan terpencil. Selo adalah kata lain dalam bahasa Pali sela dan Sansekerta sela—gunung, mangleng means “lereng gunung.”

Gambar 6: Gua Selomangleng tempat Dewi Kili Suci

Meskipun ada berbagai grafiti dan terjadi pemujaan popular aktif, gambar buddha samadhi dalam postur meditasi masih dapat dilihat jelas di goa utama, dimana dinding-dindingnya awalnya ditutupi dengan tulisan-tulisan inspirasi.

Gambar 7: Gambar Buddha di dalam gua Selomangleng. Gua ini dipahat dari formasi batu andesit. 

Meskipun saat ini sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai agama, gua-gua itu kelihatannya pernah menjadi tempat yang sangat sesuai untuk tempat tinggal seorang bhikkhuni kili di goa hutan yang terpencil, dan gua-gua ini memberikan gambaran seperti apa kehidupan saat itu.

The Putrī Kederi Dewi Kili Suci has become something of a local cult heroine; she is very much remembered. The National Hindu Association has recognized her as a goddess and hosted a parade for her as a local cultural event.   There are Dewi Kili Suci t-shirts, and several life-size local statues.

Gambar 8: Departement Kesenian dan Turisme dan Asosiasi Hindu Indonesia melakukan parade sejarah di Kederi lama, menampilkan Putri Mahkota Sanggramawijaya (Dewi Kili Suci) yang digambarkan dalam aspek Hindunya
sebagai seorang dewi
Gambar 9: Desain t-shirt yang menggambarkan Dewi Kili Suci, didesain oleh Revelation Firmanto

Kembali ke rumah lamanya, Airlangga juga memutuskan untuk melepaskan tahta setelah kematian permaisuri di tahun 1042, dan menjalankan kehidupan pertapaan sebagai seorang rishi. Ia dikenal dengan nama Rsi Gantau.
Untuk menghindari perang saudara antara kedua putranya (dan mungkin juga yang lainnya), ia meminta seorang pendeta Buddhis bernama Bharada untuk membagi kerajana menjadi dua, dan memberikan satu sisi untuk masing-masing pangeran. Ketika ia meninggal di tahun 1049, dibuat patung Wisnu yang didedikasikan untuknya, duduk bermeditasi di atas seekor Garuda, yaitu simbol negaranya.

Gambar 10: Airlangga duduk bermeditasi di atas garuda, simbol negaranya. 

Abunya diperkirakan telah disebar di kolam mandi suci (tirtha) di Candi Belahan, dimana patung Wisnu di atas Garuda disebutkan dulunya diletakkan di antara para pengiring Wisnu, dewi Śrī dan dewi Laksmī.

Gambar 11: Kolam di Candi Belahan atau tirtha dari Airlangga, ayah Dewi Kili Suci, dengan dewi Sri dan Laksmi di dalam genggaman kedua tangannya. Ada pertanyaan tentang identitas patung pasangan di sini, apakah istri dan putrinya, atau dua istrinya. 

Dewi Kili Suci memilih meninggal dengan cara biasa, disebutkan telah mengarahkan tubuhnya ke asimiliasi-diri ke Buddha-loka melalui latihan meditasi Buddhis dan/atau batin-nya. Ia dikenang oleh Buddhis di Indonesia sebagai mahāsiddhā vajradhārā.

Gambar 12: Dewi Kilisuci digambarkan dengan patung emas sebagai yogini yang berdiri di atas landasan bunga teratai. Ditemukan pada tahun 1978 di pinggir Sungai Brantas. 

Gambar 13: Penataran candi Kilisuci saat ini terletak di dekat Gua Selomangleng

Gambar 14: Patung tembaga antik menggambarkan Dewi Kilisuci
As no teaching or verses by Devi Kilisuci have been passed down to us, we end with this dedication attributed to her greatly renowned near-contemporary, another royal turned renunciate ascetic known as Bhikṣuṇī Candrikāntā in Nepal and as Gelongma Palmo in Tibet:

“[Homage to] that infinite form-body, the One Thus Gone,
the Noble One, the Holder of Wisdom…
Supreme among beings, you are victorious in battle over the armies of Mara...
Whether male or female, in this life or future lives,
In this world or in the world beyond, all your spiritual aims are accomplished..." [10]

__

Artikel lainnya mengenai serial "Sejarah Wanita dalam Buddhisme":
1. Bagian 1: 12 Monumen & Situs di Jawa yang Berhubungan dengan Wanita Buddhis & Bhikkhuni
2. Bagian 2: Bhikkhuṇīs dan Pertapa Perempuan Indonesia: Kilasan Sejarah dan Survei Terminologi
3. Bagian 3: Bhikkhuṇī Manimekalai dari India Selatan ke Jawa
4. Bagian 4: Jaringan Buddhis Internasional,  Kepemimpinan  Bhikkhunīs dan Wanita di Laut Indonesia Selatan pada Abad Ke-5 hingga Ke-7

__

Sumber gambar:
Gambar 2: Courtesy of Museum Volkenkunde, web: http://volkenkunde.nl/sites/default/files/71-MNI-D70-photo-MNI_0.jpg
Gambar 5: Courtesy of: the Directorate General of Culture, web: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbtrowulan/wp-content/uploads/sites/22/2014/06/selomangleng1.jpg
Gambar 10: Courtesy: Indonesian Heraldry, web: http://www.hubert-herald.nl/IndonesiaHeraldry_bestanden/image051.jpg.
Gambar 11: Courtesy of: Nusantaraku Milik Indonesia, web: http://www.indonesiadiscovery.net/images/photos/real/SITUS_SUMBER_TETEK_MAMUKweb.jpg
Gambar 14: Antique bronze statuary image of Dewi Kilisuci Courtesy of: http://www.olx.co.id/iklan/patung-dewi-kilisuci-perunggu-92564584.html

Catatan kaki:
[1] Saya mengikuti artikel Wikipedia yang menyebutnya sebagai seorang bhikkuni: “Pewaris, putri mahkota Sanggramawijaya, memutuskan untuk menjadi bhikkhuni Buddhis daripada menjadi penerus Airlangga sebagai ratu. Sanggramawijaya adalah putri dari ratu permaisuri Dharmaprasadottunggadewi.” http://en.wikipedia.org/wiki/Airlangga (diakses 24 Agustus 2014). Ia juga dinamakan sebagai seorang wiksuni, “Saat itu pusat kerajaan sudah pindah ke Daha dan Dewi Sanggramawijaya telah berkenan mengundurkan diri menjadi seorang wiksuni di Gunung Pucangan,” here: https://edwindramora.wordpress.com/2014/07/20/dewi-sanggramawijaya-sosok-mahasiddha-nusantara/ (diakses 18 April 2015).
[2] Ada banyak foto-foto gua-gua dan sekitarnya di berbagai blog. Kelihatannya tempat-tempat itu adalah lokasi turis yang terkenal, misalnya di blog http://swetadwipa.blogspot.com/2014/04/goa-selomangleng-kadiri-pertapaan-dewi.html.
[3] Foto parade tuan putri/pertapa/dewi: http://kiranamega.blogspot.com/2013_12_01_archive.html
[6] Gambar yang tidak teridentifikasi dari seorang pemimpin wanita duduk di atas garuda juga ditemukan di Candi Kidal dekat magelang: http://www.hubert-herald.nl/IndonesiaHeraldry_bestanden/image054.jpg. Di patung ini, wanita ini adalah ibunda dari Garuda yang ia pulang setelah berhasil menemukan amrita, yaitu cairan anti-kematian, dan membebaskannya dari perbudakan. 
[8] Mengenai hal menghilang secara gaib atau penghancuran-diri, Thubten Chodron berkomentar: “Kedengarannya ia adalah yogini yang mencapai tubuh pelangi. Praktisi seperti ini hanya meninggalkan kuku dan rambut; tubuh mereka berhenti dan mereka “lahir” di alam suci Akanista. Akanista ini berbeda dengan alam-alam anagami. Ini adalah tanah suci Vajra Yogini. Ini tidak berada dalam samsara, dan makhluk-makhluk yang pergi ke sana setelah meninggal mencapai pencerahan sempurna, yaitu Kebuddhaan, di sana. Buku berjudul Highest Yoga Tantra oleh Daniel Cozart adalah referensi yang bagus. (Koresponden pribadi: 1 Desember 2014)
[9] “Mahasiddha atau pertapa suci di Jawa dikenal sebagai penghayat Budhitantra Java, suatu istilah untuk orang yang telah sepenuhnya merealisasi dan mengembangkan siddhi dengan sempurna,” teks  sumber: “Mahasiddha atau para pertapa suci di Jawa adalah dikenal sebagai penghayat Budhitantra Jawa, adalah sebuah istilah yang untuk seseorang yang telah berhasil sepenuhnya mewujudkan dan memupuk siddhi yang sempurna.” Dari Bhumi Dharma Nusantara: https://edwindramora.wordpress.com/2014/07/20/dewi-sanggramawijaya-sosok-mahasiddha-nusantara/
(diakses 18 Apr 2015).
[10] From the Avalokiteśvara-stotra (Lokiteśvara-stotra) attributed to Bhikṣuṇī Candrikāntā, which, according to Skilling in his “Note on the History of the Bhikkhunī Saṇgha (II)” p 38, “is recited during the midday pujā by Newar Buddhists at the Jana Baha at Kathmandu up to the present day. According to Hemrāj Śākya, Candrikāntā lived in the Kaccapālagiri Vihara in the 10th century and [also] attained siddhi… Five texts on Avalokiteśvara dPal-mo Bhikṣuṇī [aka Gelongma Palmo] are preserved in the Tanjur, the Tibetan collection of non-Canonical texts translated (mostly) from Sanskrit. The first of these, entitled simply Lokiteśvara-stotra, is the same text as that attributed in Nepal to Candrikāntā (I cannot explain the difference in names).” Verse text here in consultation with and adapted from Wangchen Rinpoche (2009) pp 136-146.

__

Ayyā Tathālokā Bhikkhuṇī (sans diacritics Ayya Tathaaloka)


Yang Mulia Bhikkhuṇī  Tathālokā adalah seorang bhikkhuṇī  Theravada asal Amerika. Ia adalah cendikiawan dan guru monastik Buddhis. Ia adalah co-founder LSM Dhammadharini (Women Upholding the Dhamma), Asosiasi Bhikkuni Amerika Utara, dan Aranya Bodhi Hermitage. Ia juga dikenal sebagai penasihat monastik senior untuk Sakyadhita USA dan the Alliance for Bhikkhunis. Ia adalah pemenang Penghargaan 2006 Outstanding Women in Buddhism Award dan cendikiawan yang memberikan paparan di 2007 International Congress on Buddhist Women's Role in the Sangha tentang area spesialisasinya: Sejarah Bhikkhuni Sangha dan Bhikkhuni Vinaya. Ayyā Tathālokā melayani sebagai guru penahbis untuk penahbisan bhikkhuni historis yang diadakan di Western Australia dan di Northern California antara tahun 2009 dan 2014. Ia saat ini bekerja dengan Dhammadharini support foundation untuk mendirikan vihara permanen bagi Dhammadharini Bhikkhuni Sangha di Northern California di utara Area San Francisco Bay Area (lihat dhammadharini.net).

No comments:

Post a Comment